Thursday, 29 June 2006

Pemilu Belanda 1946

Pada tanggal 17 Mei 1946 di Belanda dilaksanakan pemilihan umum untuk Staten General, sejak pukul 8 pagi hingga pukul 17.00 sore. Hasilnya : Partai Buruh mendapatkan 29 korsi, Partai Katholik 32 korsi, Partai Antirevolusioner 13 korsi, Partai Kristen 8 korsi, Partai Kemerdekaan 6 korsi, Partai Komunis 10 korsi dan Staatkundige Gereformeerde Partij mendapat 2 korsi. Dengan demikian kali ini juga terjadi kekuatan berimbang terutama antara partai besar, partai buruh (PVdA) dan partai Katholik (KVP). Sesuai tatakrama pemilu dinegara demokrasi, pada tanggal 18 Mei 1946, Kabinet Schermerhorn berhenti. Seperti biasa pembentukan kabinet baru di Belanda memakan waktu lama, apalagi pada waktu itu kabinet harus menghadapi persoalan pertikaian dengan Indonesia. Tapi karena partai Katholik unggul sudah bisa diperkirakan kabinet koalisi yang muncul, perdana menterinya berasal dari KVP. Yang ditunjuk adalah LJM Beel, yang sebelumnya menjabat menteri dalam negeri dalam kabinet Schermerhorn. Karena ada perbedaan yang amat mendasar untuk penyelesaian dekolonisasi Indonesia antara partai Katholik dan partai buruh, itulah masalah yang akan dihadapi kedua bangsa dan negara Belanda dan Indonesia. Dalam sejarah terpilihnya Beel, menimbulkan politik yang amat kaku, yang tentunya mendatangkan kesukaran baru bagi Letnan Gubernur Jenderal van Mook pada hari-hari mendatang ditahun 1946 dan awal 1947. Bukan hal yang mengada-ngada, terjadilah kompromi antara kedua partai ini untuk mencari jalan keluar menangani masalah Indonesia ini, Maka muncullah ide untuk mendirikan sebuah lembaga yang diberi tugas untuk melanjutkan perundingan Indonesia-Belanda. Lembaga ini dinamakan "Komisi Jenderal". Dalam rapat kabinet tanggal 15 Juli 1946, dibicarakanlah upaya membuat undang-undang untuk pembentukan Komisi Jenderal. Sebagai calon ketua atas usul Ratu, mantan Perdana menteri Schermerhorn lah yang ditunjuk. Hal ini menimbulkan perdebatan yang keras dalam parlemen, karena parrtai Katholik amat keberatan. Rupanya hal ini bisa selesai karena Ratu ikut campur tangan. Akibatnya nanti ketika Persetujuan Linggajati telah diparaf dan akan ratifikasi parlemen Belanda, KVP adalah unsur yang banyak menghambat sehingga memunculkan embel-embel adanya tambahan penjelasan sehingga memunculkan penafsiran secara baru. Sehingga Persetujuan Linggajati yang kembali ke Indonesia dikenal sebagai "Aangeklede Linggajati" atau Linggajati yang diberi baju. Pada tanggal 3 Juli 1946, resmi diumumkan nama-nama menteri kabinet Beel. Yaitu Beel sebagai Perdana Menteri, merangkap menteri dalam negeri. Baron van Boetselaer sebagai men.lu, Jonkman menteri seberang lautan, Fievez sebagai me.pen, Gieben sebagai mentari pendidikan, Drees sebagai men.sos, Mansvelt sebagai menteri pertanian dan perikanan, van Maarsseveen sebagai menteri kehakiman, Lieftinck menteri keuangan, Vos menteri PU, Ringers menteri pembinaan dan van Klefens sebagai menteri negara. Tampak dalam foto Beel (kiri) mengulum senyum tanggung dan Schermerhorn yang memandang masa depan dengan serius karena bertanggung jawab mengemban misi Komisi Jenderal. Disebelahnya van Mook, berusaha mengimbangi sedemikian rupa agar Den Haag adem-adem saja.......(diambil dari berbagai sumber dokumen,)

Saturday, 10 June 2006

HUKUM MILITER

Sementara Westerling merasa jiwanya tenang dengan adanya pasifikasi di Sulawesi Selatan. “Kalau saya melakukan pengepungan wilayah, maka saya pisahkan fihak wanita dan anak-anak dari para laki-laki. Sering kali kita atur sendiri agar para laki-laki antri untuk berbaris. Pada pertemuan tersebut biasanya mereka dengan bahasa setempat menyebut saya sebagai sitopi merah (maksudnya baret merah dari pasukan komando Inggris) sebagai orang yang menentukan rencana pelaksanaan. Kemudian kepada orang-orang ektrimis yang tampa baju itu berdasar Qur’an kita suruh mereka mengucapkan sumpah dengan kata-kata : bahwa saya adalah sesungguhnya seorang Nasionalis yang selalu setia. Selanjutnya para ekstrimis dipisah-pisahkan mana yang akan ditembak mati dan mana yang tidak. Dalam kesempatan seperti diatas kita selalu berhitung dengan menyertai pimpinan adat setempat. Para ahli hukum militer selalu mencoba mengatakan bahwa gambaran ini merupakan suatu usaha kontra teror. Itu tidak benar. Tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Saya selalu bersikap keras pada anak buah saya agar mereka menjaga tingkah laku mereka. Para prajurit dilarang berjalan diatas kebun penduduk. Mereka harus dapat membuat masyarakat respek.
Di Sulawesi tidak seorangpun dari anak buah saya yang bertingkah laku buruk kecuali apa yang terjadi disebelah utara (dekat Galoeng-galoeng-PS) Hal ini terjadi semata-mata karena kepanikan .Dibawah para opsir ada seorang yang berasal dari DST (Depot Speciale Troepen). Pangkatnya adalah pembantu letnan. Dia tak secara langsung dikeluarkan dari DST , tapi dikirim kembali ke Jawa. Kejadiannya adalah ketika 3 orang anak buah pasukan yang bersenjata lengkap dihadang–mereka merupakan pemuda masih hijau tampa pengalaman-dan mereka ditembak mati. Kemudian terjadilah pembalasan dendam. Hal tersebut tidak mungkin akan terjadi atau tidak akan terjadi lebih lanjut kalau saja saya pimpinan komandonya”.
Pada tgl 17 Januari 1947 oleh Oditur Militer di Makasar tuan A.G.Veldhuis dikirimlah surat kepada seorang procureur general bernama Felderhof di Batavia. Dia menceritrakan bahwa upaya pemulihan kemanan dan ketertiban yang dilakukan oleh Kapten Westerling dapat diartikan kejahatan. Hal itu tidak dapat diteruskan dan demi keadilan, KNIL harus menanggapinya dengan menjatuhkan sangsi hukum kepadanya, selama ini artinya fihak angkatan tertidur.
Veldhuis punya pengalaman lain tentang seorang Kapten bernama Horsthuis yang menggunakan cara yang sama seperti halnya yang dipakai Westerling, tetapi dia sudah diperingatkan lebih dahulu bahwa tindakannya akan menimbulkan ekses dan pelakunya bisa dihukum. Kemudian Felderhof memberi jawaban nasihat awalnya kepada Veldhuis . Reaksinya adalah dia sangat khawatir bahwa kejadian dimaksud sudah benar-benar terjadi. Felderhof mengirim Veldhuis sebuah telegram. Dia harus tetap mengamati perkembangan dari pelaksanaan hukum militer tersebut yang dilihat dari sudut pandang lain dan tidak dapat dipertahankan lagi, karena itu berarti suatu aksi militer, dan itu tidak dibenarkan. Felderhof prihatin terhadap masalah ini dan segera mengkontak pimpinan militer setempat.
Sementara itu masalahnya sekarang berita tentang hukum militer ini sudah cepat sampai ketelinga Letnan Gubernur Jenderal H.J.van Mook dan sejumlah departemen terkait. Van Mook mengetahui perihal dimaksud melalui tuan Tadjoeddin Noor, ketua perlemen Pemerintahan Negara Indonesia Timur. Kemudian van Mook meneruskannya lagi kepada dr P.J.A Idenburg, direktur jenderal urusan umum. Dalam jawabannya Idenburg menggaris bawahi tindakan yang dilakukan Westerling itu dapat dilihat dari arah kepentingannya. Penjelasannya ini dianggap lebih penting ketimbang penjelasan Felderhof.
Dalam suratnya kepada van Mook, Idenburg menjelaskan bahwa usul dari Lambers tentang hukum militer semata-mata berdasarkan dasar hukum . Dia harus menyadari bahwa hal ini terjadi terutama bukan untuk pengorbanan dari orang yang terbunuh pada saat aksi militer. Penjelasan dari Felderhof kepada van Mook terjadi pada tanggal 27 Januari. Hal tersebut tidak berlebihan dan berarti suatu pendapat yang tidak berlawanan dan merupakan cara lain dari Westerling yang dipraktekkannya. Dia bertahan pada argumennya-yang dinamakannya “semacam jalousie de metier”-bahwa orang-orang KNIL ini tidak dapat dituntut untuk menahan diri. Tetapi rupanya Westerling dan kelompoknya mungkin mendapat izin untuk melanjutkan pelaksanaan hukum militer tersebut .
Tadjuddin Noer menyebutkan dalam suratnya kepada van Mook, menurut temanya ex-datoe dari Soeppa, sorang anak raja Sulawesi , bahwa hukum militer itu harus ditarik. Dan Westerling harus ditangkap serta harus dibawa ke Batavia. Berdasarkan surat Noer itulah van Mook kemudian mengeluarkan keputusan untuk mengahiri aksi militernya Westerling. Dia menulis surat kepada Idenburg yang cukup panjang dengan kesimpulan bahwa “Depot Speciale Troepen harus bertindak bijaksana untuk secepatnya mengahiri” .Inti dari suratnya adalah : “Untuk jelasnya, cara ini hampir tidak ada bedanya dengan yang dilakukan fihak Nazi-Jerman dan Fasis-Jepang, dan tidak cukup hanya melakukan desakan untuk berdiam diri tapi untuk membebaskan”.
“Berdasarkan laporan yang masuk saya tidak dapat memutuskan (laporan yang mana yang dimaksud, tidak jelas PS) bahwa dirinya telah tiba pada batas kewenangan yang berlawanan, berkaitan dengan aksi yang dilakukan DST dirinya diperhitungkan terlalu tinggi. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa secara bijaksana, tidak ada ekstrimis, yang ada hanya Nasionalis yang fanatik, sehingga oleh karena itu harus dipisahkan terutama faktor semangat perjoangannya .

STRUKTUR MASYARAKAT ASIA TENGGARA SEBELUM KEDATANGAN BANGSA BARAT

J.C.van Leur, adalah ahli Indologi dari Leiden yang pada tahun 1934 sampai dengan tahun 1940 tidak jemu-jemunya mengkritik Historiografi Kolonial. Anggapannya antara lain bahwa sejarah kolonial memandang Indonesia sejak abad ke 17 dari atas geladak kapal, tembok benteng dan kantor dagang. Dia telah tiba pada pendapatnya yang disebut “Sejarah Otonom”. Dalam ruang lingkup pendapat tersebutlah Van Leur mengatakan bahwa kedatangan VOC untuk berdagang didaerah Asia tidak membawa perubahan apa-apa. Perubahan sosial di Asia atau Asia Tenggara atau di Indonesia, baru terjadi sejak abad ke 19, berkaitan dengan industrialisasi di Eropah, atau setelah VOC dibubarkan dan perannya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pandangan van Leur ini sebagaimana tulisan De Jong dalam bukunya “De Waaier van het fortuin” (terbit tahun 1998) sangat mempengaruhi jalan fikiran banyak sarjana setelah perang dunia ke II. Misalnya pakar dari Amerika Serikat yang ingin memahami gejolak nasionalisme dan munculnya negara baru di Asia Tenggara menulis salah satu bukunya “In Search of Southeast Asia : A Modern History” diilhami pemikiran Van Leur tentang sejarah Asia. Namun disamping itu, sejak tahun 1980 telah muncul sejumlah studi yang membantah pendapat van Leur. Misalnya sarjana Australia, Anthony Reid dalam 2 jilid bukunya “ Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680” (1992) mengatakan bahwa VOC membawa dampak yang cukup besar dalam bidang politik dikerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Sedangkan dibidang perdagangania dia menyimpulkan bahwa dengan munculnya hegemoni VOC dalam bidang ini sejak pertengahan abad ke 17, maka dinamika perdagangan di Asia Tenggara (khususnya Indonesia) beralih sama sekali ketangan VOC.
Tulisan ini akan membahas bagaimanakah struktur masyarakat Asia tenggara sebelum kedatangan bangsa barat dengan pola pertanian dan perdagangannya.

A. Pola pertanian
Air dan hutan merupakan dua unsur dominan di Asia tenggara yang menggambarkan kesuburan tanah didaerah ini. Ditambah musim tropis yang sangat nyaman dan kecilnya peluang terjadinya bencana, memungkinkan alam berbaik hati kepada para petani. Pola pertanian yang terdapat di Asia Tenggara antara lain dimaksudkan untuk menggarap tanah dengan tujuan hasil pertanian paling pokok yaitu kebutuhan makan sehari-hari. Bahan makanan pokok utama sehari-hari adalah Beras. Pada abad ke 15 padi sudah menjadi tanaman yang disukai dan dimana-mana tumbuh dengan baik kecuali didaerah pulau-pulai ditimur Indonesia yang gersang seperti Timor, Maluku Selatan, kepulauan Aru, Buton, selayar dll. Disana mereka membudi dayakan sagu untuk makanan pokoknya. Padi terdapat hampir disemua daerah Asia tenggara mulai dari Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunai, Filipina. Pembajakan tanah yang ditarik binatang, cara menanam, memotong (menggunakan ani-ani), menumbuk dan menuai padi sehingga menghasilkan beras dapat dikatakan hampir sama disenua tempat, meskipun disana-sini ada sedikit perbedaan. Termasuk pula sistim pengairan maupun penanam padi ladang, serta pertanian berpindah. Disamping tanaman pokok tersebut diatas masyarakat Asia Tenggara juga menanam berbagai jenis tanaman yang kemudian menentukan jalannya sejarahnya. Salah satu komoditi tanaman melimpah yang membawa Asia Tenggara kedalam sistim perdagangan dunia adalah rempah-rempah. Jenis rempah-rempah utama yang ditanam adalah cengkeh, pala, lada. Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, rempah-rempah ini sudah diperdagangkan secara luas di Asia yang kemudian menembus Eropah. Diluar rempah-rempah para peneliti asing tidak menemui sayur-sayuran yang melimpah kecuali dijawa. Dalam jumlah yang terbatas juga ditanam berbagai jenis tanaman yang dipakai untuk obat seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, calamus. Cabai baru ditemukan belakangan setelah dibawa dari Amerika Selatan. Buah-buahan yang banyak jenisnya banyak ditemukan cukup melimpah seperti kelapa, durian, pepaya, manggis, jeruk besar, rambutan dan sebagainya.
b. Perdagangan.Sebelum kedatangan bangsa barat, baik dizaman sebelum Islam maupun sesudah Islam, sistim perdagangan Asia Tengagara telah dibangun atas dua jalur perdagangan. Yaitu jalur sutera yang merupakan jalur darat yang berawal dari Cina melintas Asia Tenggara dan berahir dilaut tengah. Perjalanan ke Eropah dilanjutkan dengan kapal. Jalur kedua adalah jalur laut yang dimulai dari Cina, melalui Asia Tenggara dan berahir di Asia Timur. Motor dari jalur laut ini adalah hembusan angin yang berganti arah secara teratur sebagai angin musim setiap tahun. Akibat dari jalur laut ini muncullah kota-kota dagang penting (emporium) seperti Aden, Bandar Abas, Kalikut, Malaka, Kanton dan sebagainya. Malaka merupakan pelabuhan besar yang penting di Asia Tenggara yang diperkirakan sudah berdiri sekitar tahun 1400 dan merupakan bandar dagang yang memiliki gudang-gudang besar. Komoditi yang diperdagangkan terutama adalah rempah-rempah dari maluku, lada dari Sumatera, beras dari Jawa. Selain itu terdapat pula pelabuhan penting lainnya seperti Banten, Tuban, Gresik, Surabaya. Para penguasa pelabuhan berdiam didalam kota yang dikelilingi benteng demi kemanan. Mereka menerima upeti/pajak dari para pedagang dikota pelabuhannya. Tugas utama diberikan kepada Syahbandar. Dialah yang pertama memeriksa dagangan dari kapal yang masuk dan yang pertama menawar atau membeli. Tidak sedikit penguasa pelabuhan ini yang memiliki kapal sendiri yang berlayar sampai manca negara. Para ahli berpendapat akibat fluktuasi yang meningkat sejak tahun 1400 dari frekuensi dan volume perdagangan, telah dicapai puncaknya pada tahun 1630. Setelah itu menurun. Periode ini menurut Anthony Reid disebut sebagai “ Age of Commerce”. Karena dampaknya juga terasa di Eropah dalam periode yang sama, maka dianggap suatu gejala global yang disebut “The long sixteenth century”. Sebelum kedatangan bangsa barat, perdagangan Asia tenggara juga ditandai apa yang disebut “Tributary trade” atau perdagangan upeti kepada Cina, karena pada saat itu Cina merupakan negara hegemoni bagi kerajaan-kerajaan pedagang di Asia Tenggara. Mereka mengirim kapal upeti setiap tahun ke Cina. Hal yang sama juga dilakukan semua penguasa Malaka untuk mendapat perlindungan Cina dari ancaman negara tetangga seperti Siam. Dalam Inter Asia Trade ini selain melakukan export (rempah-rempah dan hasil bumi lainnya), dari manca negara mereka mengexport berbagai komoditi yang laku di Asia Tenggara. Misalnya sutera dan keamik dari Cina, tekstil dari India.

PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945



Pada tgl 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono. Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya dibicarakan secara khusus, yaitu berlangsungnya “Rapat Raksasa Ikada” yang penyelenggaraannya dipersiapkan dan dilaksanakan rakyat Jakarta dan sekitarnya yang dimotori Pemuda-Mahasiswa Jakarta.Rencana Rapat Akbar yang sejak awal tempatnya sudah ditetapkan yaitu Lapangan Ikada (sekarang pojok timur Monas), pada mulanya dimaksudkan untuk memeperingati satu bulan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi rencananya dilaksanakan pada tanggal 17 September 1945. Tapi rupanya rencana ini ditanggapi fihak Pemerintah Republik Indonesia secara maju mundur. Ada kesan Pemerintah sangat berhati-hati atau nyaris takut kepada kekuasaan Militer Jepang yang baru saja kalah perang. Untuk ini Kabinet sudah membahasnya dalam rapat tgl 17 September 1945. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia. Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin fihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.
Fihak panitia penyelenggara yang terdiri dari banyak Pemuda dan Mahasiswa yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat. Karena tidak kunjung jawaban dari Pemerintah Republik Indonesia, ahirnya fihak penyelenggara memutuskan untuk mengundurkan rencana acara tgl 17 menjadi tanggal 19 September 1945. Sedangkan tempat masih tetap direncanakan dilapangan Ikada.Pada tanggal 18 Sptember 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat yaitu menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”. Sikap ini sebenarnya bukan hanya luapan emosi semata, tapi beralasan antara lain karena persiapan Rapat Raksasa Ikada sudah berjalan cukup jauh, termasuk usaha untuk mengundang rakyat dari berbagai peloksok Ibu kota dan daerah sekitar Jakarta. Cara pemberitaan ini cukup sukses padahal alat komunikasi sangat terbatas. Pada umumnya penyampaian berita undangan dilakukan secara berantai melalui sistim pembagian wilayah pada zaman Jepang dan organisasi RT/RW saat itu (Tonarigumi).Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno. Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu. Anehnya berbagai kelompok pemuda/mahasiswa ini yang pada zaman Jepang dan awal Revolusi berbeda faham, tapi kini menjelang Rapat Raksasa bisa bersatu dan saling bahu membahu bekerja sama.Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada difihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.Untuk persiapan pendukung, telah siap pula anggota PMI (Palang Merah Indonesia), ibu-ibu penyelenggara Dapur Umum , dokter-dokter serta dokter-dokter muda CBZ (Centralle Burgerlijk Ziekenhuis) yang sejak zaman Jepang sudah berganti nama menjadi Roemah Sakit Pergoeroen Tinggi. Mereka mempersiapkan obat-obatan, dan alat-alat medis lainnya serta telah dipersiapkan pula beberapa buah Ambulance. Yang tidak kalah menentukan adalah wartawan dan dokumentator, Radio Republik Indonesia , Juru Foto IPPHOS, serta Cameraman dari Studio Multi Film atau bahasa Jepangnya “Nippon Eiga Sha” (ex perusaan film Propaganda Jepang yang belakangan menjadi PFN) yang akan mendokumentasikan peristiwa penting ini. Hasil dokumentasi mereka ini nantinya meru-pakan satu-satunya visualisasi seluloid tentang hal tersebut sampai sekarang. Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap.Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang. Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu. Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno. Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”. Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi. Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950). Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat. Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding. Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”. Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata : “ Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara “ dijawab dengan serentak oleh rakyat “Sanguuup”. Lalu Presiden melanjutkan “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional…..MERDEKA….”.Maka terjadilah keajaiban tersebut. Kumpulan massa yang dianggap fihak Jepang akan sukar dikendalikan, ternyata mau menurut Presidennya dan pulang kerumah masing-masing dengan teratur. Apakah arti peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini ?. Bahwa rakyat Indonesia pada dasarnya mudah disatukan dalam langkah dan geraknya oleh kekuatan dari sebuah figur kharismatik serta diarahkan dan dikendalikan untuk tujuan yang postif dengan syarat jangan mengecewakan mereka. Bung Karno sebagai Presiden memiliki itu semua yang harus menggambarkan antara lain bahwa, para pemimpin harus tegas dan lugas dan merupakan bagian dari mereka, dimana hal tersebut dimungkinkan kalau para pemimpinnya sendiri selalu turun kebawah. Para pimpinan rakyat khususnya pemuda dan mahasiswa amat menentukan dalam pembuatan kebijakan Nasional yang disepakati bersama, semua fihak dengan lebih dahulu dimusyawarahkan secara demokratis. Peristiwa sejarah lokal yang menyangkut masalah Demokrasi, yang terjadi setelah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ini selalu menarik dikaji karena benar-benar diselenggarakan oleh rakyat, untuk kepentingan perjuangan Nasional dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya rakyat menyadari bahwa hal itu amat penting sekali terutama dalam mewujudkan utuhnya Kepemimpinan Nasional. Meskipun usaha ini dilakukan di Jakarta secara lokal, tapi maksud utamanya secara Nasional untuk melegitimasi Pemerintahan RI yang sah baik yang menyangkut lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sesungguhnya hal ini penting mengingat gaung Proklamasi belum cukup merata kepeloksok tanah air. Selain itu belum terlihat tindakan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan RI secara nyata sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Proklamasi maupun UUD 1945. Dan yang lebih penting lagi timbulnya keraguan masyarakat akan kedaulatan NKRI padahal dengan mata telanjang sejak awal September 1945 rakyat Indonesia menyaksikan masih eksisnya balatentara Jepang, pasukan sekutu yang mulai berdatangan yang diyakini diboncengi pula pasukan Belanda, sementara Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak nampak berbuat banyak. Ada sebuah kekhawatiran lain dari fihak penguasa politik Bangsa pada waktu itu baik yang beraliran Nasionalis, Islam maupun Sosialis bahwa masa pendudukan Jepang berpengaruh sangat dalam dalam rencana pembangunan Bangsa dan Negara pasca Perang Dunia ke II. Konflik ini sangat mencuat mengingat baik Soekarno maupun Hatta adalah tokoh-tokoh yang erat bekerja sama dengan Jepang termasuk dalam mewujudkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya beberapa gelintir tokoh politik yang benar-benar bersih dari kerja sama dengan Jepang, namun tidak dapat berbuat banyak karena nilai kepemimpinannya tidak dihargai rakyat sebegitu besar yang dimiliki Soekarno, atau penokohannya tidak dikenal. Situasi inilah yang menggambarkan masa transisi dari pendudukan Jepang kepada zaman Kemerdekaan dalam tahun 1945. Berkaitan dengan hal diatas Soekarno sebagai Presiden dari kabinet Presidensiel pertama (sering disebut kabinet Buco) harus mampu menerima kritik maupun tuduhan-tuduhan politik yang belum tentu benar termasuk keabsahan dirinya sebagai pimpinan eksekutif yang diangkat rakyat. Adalah Sjahrir dan Tan Malaka yang paling vokal menyebar luaskan berbagai kelemahan Soekarno selama masa pendudukan Jepang. Dan hal ini banyak ditelan bulat-bulat oleh sebagian kaum muda yang tergabung dalam kelompok pemuda-mahasiswa. Buat Belanda yang memiliki badan NICA (Netherlands Indie Civil Administration) yang baru kemudian secara resmi tiba di Jakarta pada awal Oktober tiba di Jawa, isu politik ini amat menguntungkan dan mulai membina masyarakat Indonesia yang pro Belanda serta melakukan persiapan-persiapan akan kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda yang kabur ke Australia ketika Jepang secara resmi masuk ke Indonesia pada tgl 8 Maret 1942. Diantara tokoh NICA yang tiba lebih dahulu dengan tentara sekutu adalah Van der Plas. Usaha-usaha yang dilakukannya adalah mulai merehabiliter ex tentara KNIL baik yang bebas maupun yang baru lepas dari camp interniran Japang. Agitasi dan provokasi Van der Plas cs, membuat Jakarta menjadi kurang aman karena dimana-mana timbul konflik bersenjata yang memakan korban tidak sedikit. Padahal kelompok pemuda-mahasiswa Jakarta sedang giat-giatnya melakukan pengambil alihan badan-badan Pemerintah ex Jepang untuk difungsikan dalam Pemerintah RI atau setidaknya Pemerintahan Daerah Jakarta Raya. Slogan-slogan anti Kolonialisme dan Imperialisme bermunculan yang ditulis oleh pemuda-mahasiswa Jakarta pada dinding-dinding gedung, trem dan kereta api maupun dalam spanduk-spanduk yang dapat dibaca dipersimpangan jalan-jalan, Semua ini dengan harapan dapat dibaca siapa saja khususnya tentara sekutu bahwa “Indonesia sudah Merdeka dan berdaulat”. Menanggapi tuntutan massa untuk berpidato dalam rapat raksasa Ikada, nampaknya Bung Karno melihat segi negatif dan positifnya usaha rakyat tersebut. Segi negatifnya kalau saja fihak-fihak terkait baik rakyat yang sudah menyemut yang diperkirakan berjumlah 300.000 orang, maupun fihak penguasa militer Jepang yang sudah harus bertanggung jawab kepada fihak sekutu sebagai pemenang perang dunia dan kini melakukan stelling tempur kearah rakyat. Keduanya bisa mengalami konflik fisik, yang dapat diperkirakan akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Segi positifnya adalah terbetuknya sosok Persatuan, Kesatuan Nasional serta munculnya nilai-nilai Demokrasi. Serta yang lebih pasti adalah legitimasi Pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat dibawah Presiden Soekarno. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, tidak banyak yang diucapkan dalam pidato tersingkat yang pernah disampaikan Soekarno. Namun apa yang tersirat dalam pidato tersebut sungguh sebuah monumen nasional yang tidak akan dilupakan orang. Semua fihak baik mengagung-agungkan dirinya, mencerca dirinya dan mengancamnya selama zaman Jepang dan disekitar Proklamasi, termasuk yang berpikiran naif tentang manusia bernama Soekarno ini, pada ahirnya mengakuinya bahwa Republik ini dalam mengusahakan perjuangan bangsa selanjutnya setelah Preoklamasi 17 Agustus 1945 membutuhkan seorang PEMIMPIN NASIONAL yang tidak pernah ada duanya dalam sejarah Indonesia.

Friday, 9 June 2006

PERISTIWA KAPITULASI BELANDA – JEPANG




Pada hari Minggu malam jam 23.00, tgl 8 Maret 1942 radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) yang me-mancarkan gelombangnya melalui stasiun darurat di Ciumbuluit untuk terahir kalinya menyiarkan siarannya kedunia bebas. Penyiar Bert Garthoff sempat menyampaikan salam terahir : “Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin !” yang artinya : “Kami tutup siaran ini sekarang, Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali diwaktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu !” Beberapa jam sebelumnya, pada hari Minggu sore jam 17.15 memang telah terjadi peristiwa besar yaitu Kapitulasi Belanda kepada Jepang bertempat dilapangan terbang militer Kalijati Subang. Semua kejadian ini merupakan kelanjutan serangan Jepang ke Asia Tenggara dalam rangka Perang Pasifik yang mereka namakan “Perang Asia Timur Raya” atau “Dai Toa Shenso”. Sejak serangan ke Pearl Harbor tgl 7 Desember 1941, pukulan keselatan kekuatan militer Jepang selanjutnya nampaknya tidak banyak mengalami hambatan. Dalam waktu singkat, Bastion Inggris yaitu Hongkong dan Singapura segera jatuh. Demikian pula Filipina sebagai benteng Amerika dan terahir Hindia Belanda yang merupakan Imperium Kerajaan Belanda. Kekuasaan militer Barat nampak dengan mudah menjadi bulan-bulan pasukan kate dari utara ini. Dan yang paling tragis adalah kekuasaan militer sekutu ABDA (American, British, Dutch dan Australia) di Jawa dengan mudah dipatahkan dalam waktu 5 hari saja. Sebenarnya Komando ABDA (ABDACOM) pada sekitar pertengahan Februari 1942 sudah dibubarkan yang kemudian disusul perginya Laksamana Sir Archibald Wavell selaku pimpinan ABDA. Selanjutnya kekuatan sekutu lainnya berada dibawah pimpinan Panglima tertinggi militer Belanda. Sebagaimana konstitusi, yang menjadi Panglima tertinggi adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya dimana peperangan telah dimenangkan Jepang diberbagai tempat dan mereka sedang menuju Jawa, pada tgl 4 Maret 1942 pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, telah diserah terimakan kepada Panglima KNIL, Let.Jen. Terporten. Oleh karena itulah dalam Kapitulasi Kalijati, bertindak sebagai penyerah kekuasaan dari fihak Belanda pada saat itu adalah Panglima tentara sekutu di Hindia Belanda, Let.Jen Terporten. Sedangkan dari fihak Jepang sebagai penerima adalah Let.Jen Hithoshi Immura, panglima tentara ke 16 kerajaan Jepang yang ditugaskan di Pulau Jawa. Pada hari ini (tgl 8 Maret 1942) tidak begitu banyak yang dibicarakan terutama karena pertemuan resmi baru terjadi setelah hampir jam 18.00. Tetapi yang pasti pernyataan menyerah terjadi pada tgl 8 Maret 1942. Hari tersebut sungguh berat bagi kelompok Belanda. Apalagi petinggi Hindia Belanda ini baik sipil maupun militer termasuk Gubernur Jenderalnya disuruh menunggu sejak pagi hari karena harus menanti tibanya Let.Jen Imamura yang terlambat dan baru tiba pada jam 17.00 di Kalijati. Mereka mengalami tekanan fisik dan mental tampa dikasi makan serta sempat mengalami derasnya hujan yang terjadi menjelang sore hari. Esok harinya Senin tgl 9 Maret 1942, jam 6.00 pagi NIROM ternyata masih membuka siarannya dengan lagu kebangsaan “Wilhelmus”. Kemudian pada jam 6.30 dilanjutkan dengan pengumuman resmi pemerintah yang disampaikan oleh seorang perwira tinggi dari staf Jenderal atas nama Panglima, tentang “ penghentian perang dan penyerahan militer”. Masih dikumandangkannya lagu Wilhelmus sampai tanggal 18 Maret 1942 ternyata berbuntut panjang. Fihak penguasa Jepang menganggapnya sebagai pembangkangan yang berakibat ikut campurnya fihak Kempe Tai (polisi militer). Sejumlah petugas radio ditangkap dan sebagian dari mereka atas perintah Imamura dipancung kepalanya dengan Samurai di Ancol, termasuk kepala siaran umum P.Kusters. Tgl 9 Maret perundingan dilanjutkan tampa turut sertanya Gubernur Jenderal, Perundingan ditutup dengan penandatanganan pernyataan kekalahan perang oleh fihak Belanda mewakili pasukan sekutu di Indonesia. Ada misteri tentang peristiwa besar ini. Fihak Jepang membuat pernyataan yang bisa dibaca dalam memoir Jenderal Imamura bahwa disamping dukumen kekuatan sekutu di Indonesia, sempat ditandatangani protocol Kapitulasi atau penyerahan dari Belanda kepada Jepang. Tapi fihak Belanda menyangkal hal tersebut, seolah penyerahan total secara tertulis tidak pernah terjadi. Apalagi menjelang berahirnya kekuasaan Jepang pada tahun 1945, banyak sekali dokumen-dokumen yang dibakar. Mungkin dokumen itu terdapat didalamnya.Gubernur Jenderal Mr A.W.L Tjarda van Starkenborgh nampaknya tidak terlibat langsung dalam Kapitulasi ini karena disini terjadi semacam tipu muslihat politik yang menggambarkan seolah-olah Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menyerah kepada Jepang. Apa yang terjadi di Kalijati semata-mata hanya penyerahan fihak militer sekutu saja yang diwakili Let.Jen Terporten. Hal ini cukup beralasan karena 3 hal. Yaitu perintah dari Sri Ratu Belanda agar Hindia Belanda tidak menyerah. Yang kedua sejak tanggal 4 Maret 1942 Gubernur Jenderal tidak lagi menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang Hindia belanda, dan yang ketiga antara tgl 5-7 Maret, sejumlah pimpinan Pemerintahan Hindia Belanda yang diketuai Letnan Gubernur Jenderal van Mook telah hijrah ke Australia. Mereka mendirikan Pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan, tepatnya dikota Brisbane, Namun dalam perundingan di Kalijati tgl 8 Maret 1942, fihak Jepang tidak mau tau apa yang terjadi di Hindia dan menganggap secara defakto maupun dejure Imperium Nederland di timur jauh ini sudah takluk kepada Kekaisaran Jepang. Mungkin saja sebagai ahli hukum, Starkenborgh menganggap pemerintahan sipil dapat berjalan terus dibawah kekuasaan militer Jepang, tapi itu hanya mimpi sejenak disiang bolong. Setelah hampir sebulan lamanya mengalami tahanan rumah, Pada tgl 6 April 1942 malam hari Starkenborg bersama seluruh stafnya diangkut dan dipenjara dirumah tahanan “Soekamiskin”. Sebuah penjara kolonial yang pernah memenjarakan Ir Soekarno. Dan 11 hari kemudian, pada tanggal 17 April rombongan tawanan para pemimpin Pemerintah Hindia Belanda dibawa ke Batavia dimana mereka dibagi dua. Para anggota militer ditawan di battalion X (jl Kwini sekarang) dan yang sipil ditawan dipenjara Struyswijck (penjara Salemba). Starkenborgh termasuk yang ditawan di battalion X. Menjelang ahir perang (tahun 1944) dirinya dievakuasi dari Jawa dan secara rahasia ditawan di Manchuria sampai dibebaskan pasukan Amerika Serikat pada tahun 1945. Dokumen tertulis mengenai peristiwa Kapitulasi Belanda kepada Jepang pada tanggal 8 dan 9 Maret 1942 dilapangan Kalijati Subang hampir tidak pernah ditemui.