Thursday, 31 January 2008

In Memoriam: Jusuf Ronodipuro

Sepuluh jam setelah mantan Presiden Soeharto meninggal dunia menyusul pula Jusuf Ronodipuro (88), pemimpin prominen Radio Republik Indonesia (RRI) pada jam-jam pertama revolusi. Bila pers luar negeri memberitakan Soeharto menderita multiple organ failure maka Jusuf tutup usia pada pukul 23.20 tanggal 27 Januari 2008 setelah paru-paru, jantung, dan ginjalnya tidak lagi berfungsi. Jika Soeharto dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, Senin siang, maka Jusuf pada hari yang sama dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Jusuf, setelah tamat sekolah menengah AMS-B di Batavia di zaman kolonial, bekerja untuk satu perusahaan dagang Belanda (juga pernah bekerja di General Motor). Di zaman Jepang dia pada mulanya bekerja di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidoosho) di bagian Seni Lukis dan di sana mengenal pelukis Affandi, Sudjojono, Agus Djaya, dan Oto Djaya. Kemudian dia pindah bekerja di Hooso Kyoku, stasiun radio Jakarta.
Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 berita itu dilarang disiarkan oleh badan sensor Nippon Gun Kenetsu Han. Surat kabar Asia Raja di mana saya bekerja tidak dapat menyiarkannya. Tapi, berkat usaha beberapa pemuda nasionalis, seperti, Sjahruddin, wartawan Domai - Indonesia (kemudian Antara), Bachtar Lubis (kemudian Mayor TNI Kepala Penerangan Angkatan Darat) dan Jusuf Ronodipuro, maka teks proklamasi itu "diselundupkan" ke dalam news room Hooso Kyoku, lalu di saat Sodookan (pengawas) Nippon tidak awas dibacakan di depan corong radio oleh Jusuf dan dengan begitu tersiar ke khalayak ramai. Akibat perbuatan nekad itu, Jusuf dan Bachtar berurusan dengan polisi rahasia Jepang Kenpeitai dan "dipermak" oleh algojo-algojo Nippon itu.
Pada 11 September RRI didirikan dengan resmi dan mula-mula Dr Abdurachman saleh, kemudian Jusuf menjadi Kepala RRI Jakarta sampai 21 Juli 1947, tatkala Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik dan menguasai sepenuhnya stasiun radio Jakarta. Ketika berlangsung perundingan antara delegasi RI dengan delegasi Belanda di bawah supervisi PBB melalui Komisi Tiga Negara (KTN), maka Jusuf bertugas sebagai liaison-officer dari delegasi Indonesia dan konkretnya sebagai asisten Mr Soedjono yang menjabat sebagai Sekjen Delegasi Indonesia. Menjelang pecahnya aksi militer Belanda kedua 19 Desember 1948, Jusuf Ronodipuro mengalami saat-saat yang tegang.Wapres Hatta mengirimkan aide memoire kepada delegasi Belanda untuk meminta agar perundingan yang telah macet dapat dibuka kembali. Padal 16 Desember, Jusuf bersama Merla Cochran, wakil Amerika dan Ketua KTN PBB terbang ke Yogya membawa reaksi Belanda yang berpendirian tidak ada gunanya meneruskan perundingan, kecuali bila pemerintah Indonesia segera menerima usul-usul Belanda. Jawaban itu harus diberikan oleh Republik selambat-lambatnya pukul 10.00 waktu Jakarta tanggal 18 Desember. Pada pukul 21.00 tanggal 18 Desember Jusuf menerima telepon dari Istana Rijswijk. Dia diminta mengambil sepucuk surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Surat itu dibawanya ke rumah Mr Soedjono. Mereka terkejut sekali membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan bahwa "mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tiada lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata". Jusuf diinstruksikan segera mengawatkan isi surat Belanda tersebut kepada Wapres Hatta di Yogyakarta. Tetapi, operator telegram tidak dapat mengirimkannya, karena semua komunikasi dengan Yogya telah diputuskan atas perintah Istana Belanda. Saat itu sudah pukul 22.00, tinggal dua jam lagi menjelang deadline ultimatum Belanda. Tanpa pikir panjang, Jusuf naik jip tancap gas menuju Hotel des Indes, tempat menginap Merle Cochran. Setelah pintu diketuk Cochran muncul mengenakan piyama. Setelah Jusuf memberitahukan kesulitannya mengirim telegram ke Yogya, Cochran berkata dengan marah damn it, kit harus ke Yogya sekarang". Ketika Cochran dan Jusuf tiba di Kemayoran awak pesawat terbang Amerika melaporkan bahwa pesawat itu tidak mendapat izin meninggalkan landasan terbang. Cochran marah sekali mendengar berita itu. Jusuf kembali ke rumah Mr Soedjono, tapi sebelumnya dia singgah di rumah Prof Supomo di Jalau Riau. Supomo terkejut membaca isi surat delegasi Belanda. Waktu telah lewat tengah malam. Supomo dan Jusuf pergi ke rumah Soedjono dan kemudian mereka menyusun isi telegram dan laporan untuk dikirimkan kepada Dr Sudarsono dan Mr Alex Maramis di New Delhi melalui Konsul Jenderal India di Jakarta.
Pada Minggu, 19 Desember pukul 06.00, Radio Batavia menyiarkan pidato Wakil Mahkota Agung Dr Beel yang menyatakan telah dimulai aksi militer di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Republik. Jusuf Ronodipuro melukiskan pengalamannya pada 18 Desember 1948 itu dengan kata-kata, "Republik telah diserang tanpa pemberitahuan".
Itulah kisah pengalaman Jusuf 60 tahun yang lalu. Setelah bekerja sebagai pegawai di Kementerian Penerangan, dia kemudian pindah menjadi diplomat. Ia menjabat sebagai Atase Penerangan pada KBRI di London, ketika BM Diah menjadi dubes. Ia pindah ke New York menjadi anggota perwakilan Indonesia di PBB ketika dubesnya Soekardjo Wirjopranoto. Dari sana dia menjadi Minister-Councillor pada KBRI di Manila. Sekembalinya di Jakarta pada awal 1970-an Jusuf diangkat sebagai Sekjen Departemen Penerangan. Sesudah itu dia diangkat menjadi Duta Besar RI di Argentina. Setelah pensiun, Jusuf aktif di Dewan Harian Angkatan 45 yang bermarkas di Jalan Menteng 31, Cikini Raya, Jakarta. Dia jadi Sekretaris ketika Angkatan 45 dipimpin mantan KSAD Jenderal Surono. Jusuf Ronodipuro adalah teman sebaya yang terakhir meninggalkan saya. Seratus hari yang lalu teman saya yang lain Soedarpo Sastrosatomo, tutup usia. Jusuf adalah insan yang baik, the good guy, santun, berprofil rendah, dan bertutur moderat. Namun, kadang-kadang dia membukakan hatinya lalu bercerita kepada saya. Pada suatu hari dia mendampingi Jenderal Surono sebagai Sekretaris Dewan Harian Angkatan 45, mengunjungi Presiden Soeharto untuk meminta persetujuan mengenai desain mata uang dari emas yang hendak dibuat memperingati HUT ke-50 RI. Pada desain gambar itu terlukis kepala dua presiden, yakni Soekarno dan Soeharto. Setelah dilihat oleh Soeharto komentarnya hanyalah "kenapa dua, Satu saja cukup". Sebagai orang Jawa tentu Surono paham apa maksudnya. Lalu ditanyakan bagaimanakah baiknya gambar bapak presiden itu? Soeharto menjawab, "itu lho, seperti gambar yang ada di uang kertas itu". Maksudnya, gambar Soeharto di tengah rakyat yang duduk di depannya. Jusuf ternganga mendengar keterangan Soeharto itu yang menunjukkan sekali bagaimana wataknya. Jusuf mau ngomong, tapi kakinya diinjak oleh Surono. Hssstt, diam bae. "Selamat jalan temanku, Ucup."
Oleh Rosihan Anwar
Penulis adalah wartawan senior