Thursday, 31 December 2009
Bagaimana kelaparan dan kemelaratan di setiap penjuru dunia mendorong seseorang untuk berpikir?
Ketika di belahan dunia yang satu terdapat negara-negara yang sangat makmur dengan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi, namun di belahan bumi yang lain terdapat orang-orang yang tidak memiliki sesuatupun yang dapat dimakan atau obat untuk penyakit yang paling ringan sekalipun sehingga mereka pada akhirnya meninggal tak terurus. Pertama-tama, fenomena tersebut menunjukkan keberadaan sebuah sistim yang dzalim dan tidak adil di dunia. Sebenarnya sangatlah mudah bagi satu atau segilintir negara untuk menyelamatkan orang-orang yang terdzalimi ini. Misalnya, rakyat di negara-negara tetangga di Afrika sedang mati kelaparan, namun ada kelompok masyarakat yang telah menumpuk harta dari pertambangan intan dan dengannya membangun sebuah peradaban yang maju. Kendatipun sangat mudah untuk memindahkan orang-orang yang hidup melarat dan kelaparan dan hampir meninggal ini, atau memberi sarana yang mereka butuhkan di daerah tempat tinggal mereka, namun selama puluhan tahun tidak ada jalan keluar yang berarti yang telah diberikan kepada mereka. Menolong orang tersebut bukanlah sebuah tugas yang dapat diselesaikan oleh segelintir orang. Untuk mendapatkan penyelesaian yang berarti, perlu banyak orang yang mau mengorbankan diri mereka. Sayangnya, hingga kini jumlah orang yang menklaim telah mengatasi bencana kemanusiaan tersebut masih terlalu sedikit.
Di lain pihak, trilyunan dolar telah dihambur-hamburkan di setiap penjuru dunia untuk beragam tujuan. Di satu sisi ada orang-orang yang membuang makanannya hanya karena tidak puas dengan jumlah garam dalam makanan tersebut, di lain pihak ada manusia yang mati karena tidak menemukan makanan untuk dimakan. Ini adalah bukti nyata adanya tatanan yang dzalim dan tidak adil akibat tidak diamalkannya akhlaq agama.
Orang yang memahami persoalan ini berpikir bahwa satu-satunya yang akan menghilangkan ketidakadilan adalah akhlaq yang diajarkan Allah. Mereka yang takut kepada Allah dan bertingkah laku sesuai dengan hati nurani dan akalnya tidak akan pernah membiarkan kepincangan dan ketidakadilan yang ada. Mereka akan keluar untuk menolong orang-orang yang membutuhkan dengan solusi yang cepat, tepat dan permanen tanpa menonjolkan diri ataupun mengharapkan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa menolong kaum fakir dan miskin adalah ciri orang-orang yang takut kepada Allah dan hari pembalasan:
"Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia dalam bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab Tuhannya." (QS. Al-Ma’arij, 70: 24-27)
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan." (QS. Al-Insaan, 76: 8-10)
Tidak memberi makan kepada orang miskin adalah ciri orang yang tidak beragama dan tidak memiliki rasa takut kepada Allah:
"Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa." (QS. Al-Haaqqah, 69: 30-37)
Bagaimana acara diskusi TV sampai pagi hari mendorong seseorang berpikir?
Acara-acara tersebut menampilkan tokoh-tokoh serta para ahli di bidang yang sedang menjadi topik hangat di hari itu. Mereka mendiskusikan sebuah topik selama berjam-jam, namun tak seorang pun di antara mereka mampu memberikan jalan keluar atau mencapai sebuah kesimpulan. Padahal mereka yang menghadiri acara diskusi tersebut adalah orang-orang yang dipercayai memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang ada.
Sungguh, jalan keluar dari sebagian besar permasalahan yang sedang didiskusikan tersebut sangatlah jelas. Namun kepentingan pribadi masing-masing orang, pengaruh dari golongan mereka, ambisi untuk menonjolkan diri pribadi dari pada mencari sebuah solusi secara ikhlas, membawa mereka pada jalan buntu.
Ketika menyaksikan ini semua, orang yang memiliki nalar akan berpikir bahwa sebenarnya penyebab dari persoalan yang ada terletak pada jauhnya masyarakat dari agama Allah. Orang yang beriman kepada Allah tidak pernah menunjukkan perilaku yang tidak bertanggung jawab, sia-sia ataupun acuh tak acuh. Ia sadar bahwa ada kebaikan di setiap peristiwa yang Allah perlihatkan kepadanya. Ia paham bahwa ia selalu berada dalam keadaan diuji di dunia ini yang mengharuskannya untuk menggunakan akal, kekuatan dan pengetahuannya dalam segala hal yang dapat membuat Allah ridha.
Di samping itu, seorang mukmin senantiasa ingat akan sebuah ayat Allah ketika melihat acara tersebut:
Bagaimana jumlah kasus kejahatan, penyerangan dan pembunuhan mendorong seseorang untuk berpikir?
Mungkin ada yang berkata:"Saya seorang ateis. Saya tidak percaya kepada Allah, tapi saya tidak menerima uang suap". Pernyataan orang yang tidak takut kepada Allah ini tidak meyakinkan sama sekali. Sangat mungkin bahwa komitmen dalam memegang janjinya akan melemah ketika kondisi berubah. Sebagai contoh, jika ia harus mendapatkan uang untuk keperluan yang sangat mendesak, dan kebetulan berada pada kondisi yang memungkinkannya untuk mencuri atau menerima uang suap, ia dapat saja tidak memegang janjinya. Hal yang sama dapat berlaku ketika nyawanya berada dalam bahaya. Kendatipun ia dapat menahan diri dari mengambil uang suap dalam situasi yang sulit, ia mungkin cenderung untuk melakukan perbuatan terlarang lainnya. Sebaliknya, orang yang beriman tidak pernah melakukan apapun yang tidak mampu dipertanggung jawabkannya di akhirat.
Jadi, penyebab semua tindak kejahatan tersebut, yang mendorong kita melakukan protes dan berteriak,"apa yang terjadi pada masyarakat kita!" melalui surat kabar, TV, kantor-kantor pada hakikatnya adalah jauhnya mereka dari agama. Ketika menyaksikan berita-berita sebagaimana di atas, orang yang beriman tidak memalingkan muka, sebaliknya mereka berpikir bahwa satu-satunya jalan keluar adalah untuk menyampaikan ajaran agama dan menghidupkan nilai-nilai akhlaq dalam masyarakat. Sebab dalam masyarakat yang terdiri atas orang-orang yang takut kepada Allah dan tahu bahwa mereka akan mempertanggung jawabkan perbuatannya di akhirat, tidaklah mungkin semua peristiwa ini terjadi. Dalam masyarakat yang demikian, kedamaian dan keamanan akan dinikmati pada puncaknya.
Bagaimana pepohonan mendorong seseorang untuk berpikir?
Namun Allah telah menciptakan untuk tiap-tiap pohon semua sarana dan perlengkapan yang diperlukan. Tambahan lagi, sistim pemompaan di setiap pohon terlalu canggih dibandingkan dengan yang ada di bangunan tempat tinggal manusia. Ini adalah satu diantara beragam hal yang hendaknya dipikirkan oleh seseorang ketika sedang menyaksikan tanaman-tanaman tersebut. Dan pemikiran semacam ini hanya akan muncul jika ia senantiasa melihat ke segala sesuatu dengan menggunakan "mata yang benar-benar melihat", yakni melihat sambil memikirkan secara mendalam tentang apa yang sedang dilihatnya.
Hal lain yang dapat dipikirkan berhubungan dengan dedaunan. Ketika memandang sebuah pohon, seseorang yang merenungkan segala sesuatu yang dilihatnya tidak akan menganggap daun-daun pohon tersebut sebagai bentuk-bentuk sederhana sebagaimana ia terbiasa untuk melihatnya. Ia berpikir berbagai hal yang belum pernah terpikirkan oleh orang lain. Dedaunan, misalnya, adalah sesuatu yang rentan dan mudah rusak. Namun, daun-daun ini tidak kering kerontang karena panasnya terik sinar matahari yang menyengat. Ketika seorang manusia berada pada suhu 40oC dalam waktu yang sebentar, warna kulitnya berubah, ia menderita dehidrasi. Sebaliknya, daun mampu untuk tetap hijau di bawah panas matahari yang menyengat tanpa terbakar selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan meskipun sangat sedikit sekali jumlah air yang mengalir melalui pembuluh-pembulunya yang mirip benang. Ini adalah sebuah keajaiban penciptaan yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan ilmu yang tak tertandingi. Berpikir tentang keajaiban ciptaan tersebut, seseorang yang beriman mampu sekali lagi melihat kebesaran Allah untuk kemudian mengagungkan-Nya.
Monday, 28 December 2009
60 th Penyerahan Kedaulatan kepada RIS
Pak Rosihan Anwar pada tanggal 22 Desember 2009, hadir di Ridder Zaal Den Haag Negeri Belanda dalam rangka peringatan 60 th Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat yang tepatnya tanggal 27 Desember 2009. Riddere Zaal adalah tempat berlangsungnya pembukaan Konperensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Agustus 1949. Radio Nederland Wereld Omroep sebagai pengundang, telah membuat rekaman video untuk peristiwa ini. Dalam keterangannya, secara konsisten, Pak Rosihan berkata, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang memunculkan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945. 60 tahun yang lalu sejak Agustus sampai Desember 1949, Pak Rosihan adalah wartawan surat kabar Pedoman yang bertugas meliput, baik KMB maupun Penyerahan Kedaulatan kepada RIS.
Wednesday, 23 December 2009
kuur house
Sunday, 20 December 2009
gambar penuh misteri
Salju di Den Haag
Friday, 18 December 2009
Matahari terbit tanggal 1 Januari 1950
Friday, 20 November 2009
Dukungan masyarakat Belanda pada RI
Tuesday, 10 November 2009
Negara Pasundan Versi Kartalegawa
Oleh H. ROSIHAN ANWAR Wartawan Senior
SETELAH meliput Konperensi Malino sebagai wartawan Merdeka pertengahan Juli 1946, saat Letnan Gubernur Jenderal Van Mook memulai langkah ke arah pembentukan Negara Indonesia Timur sebagai pengimbang Republik Indonesia, bulan November saya terkejut karena di Bogor didirikan Partai Rakyat
Pasoendan (PRP) yang menentang RI. Penggerak di belakang partai itu ialah eks Bupati Garut Raden Soeria Kartalegawa. Dia tidak suka dengan perjuangan kemerdekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum menak punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani oleh rakyat selaku abdi setia. Pada hematnya Urang Sunda juga kepingin balik ke zaman baheula yang bagus. Mereka tidak mau diperintah oleh seorang Gubernur Republik. Urang Sunda masih tergantung pada dalam-dalamnya. Maka tanggal 18 November 1946 dibentuklah PRP. Sedikit sekali orang yang menghadiri rapat pendiriannya. Yang datang pun tidak tahu apa tujuan rapat. Kendati begitu kejadian itu mendapat publisitas dalam mingguan yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan Belanda (RVD) Pandji Rakjat yang dipimpin oleh pegawai Nica-Belanda Almasawa, keturunan Arab Palembang.
NEVIS Intel Belanda
Saya tidak tahu banyak tentang perkembangan politik di kalangan Urang Sunda waktu itu, sehingga sedikit informasi yang saya peroleh berasal dari penerbitan Nica seperti Pandji Rakjat. Baru kemudian saya baca dalam buku "Nationalism and Revolution in Indonesia" karangan George McTurnan Kahin (1952 - 238) bahwa Kartalegawa mendapat ide untuk membentuk PRP dari eks perwira KNIL Kolonel Santoso, penasehat politik Van Mook. Pelaksanaannya dibantu oleh intel militer Belanda NEVIS. Karena di zaman kolonial Soeria Kartalegawa telah mempunyai riwayat buruk, Van der Plas menamakan fraudeur alias koruptor, maka bukanlah dia yang menjadi ketua PRP. Fungsi ini diberikan kepada Raden Sadikin, pegawai pusat distribusi pangan milik Belanda di Bandung Utara. Sedangkan sebagai sekretaris dan bendahara ditunjuk dua orang yang sebelum perang menjadi sopir dan di zaman Jepang mandur kebun sayuran. Untuk anggota-anggotanya diusahakan "paksaan halus" dan semata-mata di daerah yang dikuasai oleh tentara Belanda. Soeria Kartalegawa dan PRP berusaha mewujudkan sebuah negara Sunda merdeka yang kelak akan jadi bagian dari Negara Indonesia Serikat dan sama sekali terlepas dari Republik Indonesia. Usaha ini mendapat dukungan Residen Belanda di Bandung M. Klaassen yang menulis sebuah laporan tanggal 27 Desember 1946.
Politik adu domba
Residen Preanger itu menulis dalam laporannya bahwa sejak berabad-abad lamanya ada persaingan antara orang-orang Jawa dan Sunda. Ini akibat perbedaan dalam adat, kebiasaan dan mentalitas. Oleh karena Republik dipimpin oleh orang-orang Jawa dan Minangkabau, maka menurut Klaassen PRP itu bisa dipandang sebagai suatu "gerakan rakyat spontan." Residen merasa berbahagia di Priangan timbul suatu gerakan anti-Republik. Banyak pejabat Belanda di Jawa Barat setuju dengan Klaassen. Asisten-Residen M. Hins di Bogor mengatakan gerakan PRP harus didukung betapa pun di antara pimpinannya terdapat orang yang tidak seluruhnya bisa dipercaya, Cuma mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bukan karena mencintai tanah Pasundan. Pendapat ini juga disetujui oleh Gubernur Abbenhuis. Akan tetapi Letnan Gubernur Jenderal Van Mook tidak setuju dengan PRP,
partai yang tidak berarti dan dipimpin oleh "tokoh korup oud-regent van Garoet".
Kup di Bogor
Kartalegawa menjadi nekad setelah melihat sikap Van Mook. Dengan bantuan pegawai-pegawai BB Beladna setempat dia mengangkat dirinya sebagai ketua PRP. Pada sebuah pertemuan taggal 4 Mei 1947 di Bandung yang dihadiri oleh 5000 orang dia memproklamasikan Negara Pasundan. Kendati dilarang oleh Van Mook pejabat Belanda setempat toh menyediakan truk-truk untuk mengangkut para pengikut Kartalegawa ke Bogor. Di sini mereka disambut baik oleh Kol. Thompson, komandan tentara Belanda dan Residen Statius Muller. Kemudian diulang lagi upacara proklamasi Negara Pasundan. Karena tindakan tadi pers Republikein menyatakan Soeria Kartalegawa sebagai musuh negara nomor satu dan memberikan kepadanya penamaan: "Soeria-Nica-Legawa". Ketika akhir bulan Mei Presiden Soekarno datang dari Yogya meninjau Jawa Barat ternyata sebagian besar rakyat Sunda menolak Kartalegawa. Bung Karno berpidato di berbagai tempat dalam bahasa Sunda. Rakyat menyambutnya dengan penuh semangat. Dalam rombongan Presiden ikut anggota parlemen Belanda mewakili Partai Buruh Lambertus Nico Palar yang datang meninjau Indonesia. Palar yang kelak jadi wakil Republik di PBB tahun 1948-50 mengatakan Soekarno masih didukung oleh banyak rakyat dan Soeria Kartalegawa dianggap pengkhianat. Tapi ini tidak mencegah Kartalegawa melancarkan gerakan kup di Bogor tanggal 23 Mei dengan menduduki kantor-kantor Republik serta stasiun, kemudian meminta perlindungan Kol. Thompson dan Residen Statius Muller yang diberikan dengan segala senang hati. Di pihak Republik semakin kental perasaan bahwa di balik tindakan gerakan Pasundan bersembunyi tangan Belanda yang jahat dan Soeria Kartalegawa hanyalah alat politik kolonial Belanda
Thursday, 5 November 2009
Hasil K.M.B diterima pleno KNIP
Wednesday, 4 November 2009
Kabinet RIS mulai aktif awal Januari 1950
Tuesday, 3 November 2009
Sejarah panjang Republik ini
Perundingan Indonesia-Belanda pasca perang dunia ke II untuk dekolonisasi, merupakan hal yang baru bagi kedua bangsa, mengingat pada waktu-waktu sebelumnya yang baru dikenal ada adalah bangsa Belanda dan kaum Pribumi (Inlander) penduduk Hindia Belanda. Jadi mana mungkin sesama penduduk dibawak kekuasaan Kerajaan Belanda melakukan perundingan dengan status sama tinggi dan sama rendah ? Tapi Kemerdekaan R I ahirnya terjadi juga. Bagaimana hal itu mungkin ? Bisa saja, kenapa tidak ! Bukankah hak menentukan nasib sendiri sebagaimana tertera dalam naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 sah-sah saja ? (Baca : "Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia") . Dan bukankah hal ini sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dideklarasikan dalam sidang umum PBB tanggal 10 Desember 1948 bertempat di Palais de Chaillot Paris ? Dimana pada artikel pertamanya jelas dikatakan "All human beings are born free and equal in dignity and rights.". Lebih hebat lagi dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dideklarasikan tahun 1966 dan menjadi amat berpengaruh sejak 23 Maret 1976, dimana pasal pertamanya mengatakan : "All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development". Jadi konperensi Meja Bundar yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949, dilihat dari perspektif sekarang sungguh sangat legal dan didukung dunia ! Tapi proses Demokrasi ini tidak pernah didukung oleh Negara dan Rakyat Indonesia sendiri secara baik dan benar. Contohnya, Indonesia Merdeka ditujukan untuk melindungi setiap individu Warga negara Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Ternyata Pemerintah yang sah, dalam hal ini Pemerintahan Negara Republik Indonesia, dari tahun 1945 sampai sekarang belum mampu melaksanakan hal itu dengan baik. Juga, rakyat Indonesia yang mestinya melaksanakan fungsi dan perannya serta bertanggung jawab sebagai warga negara juga belum pas. Masih untuk kepentingan dewe-dewe. Apalagi para wakil rakyatnya. Pegimana nih ? Masalah lain yang belum tuntas adalah, soal penyelesaian Negara Kesatuan. Kalau dilihat, tahun 1945, Self Determination itu tidak lengkap kalau ditentukan sendiri. Selain harus ada pengakuan negara lain, maka saat itu kemerdekaan hanya mungkin melalui penyelesaian bersama dengan negara penjajah. Makanya amat cocok kalau berkali-kali ada perundingan Indonesia-belanda (Hoge Veluwe,Linggajati, Renville, Roem Roijen, meja bundar) . Apalagi dilengkapi ikut sertanya pihak ketiga (Inggris, KTN, UNCI). Namun semua usaha perjuangan diplomasi ini hanya menghasilkan Kemerdekaan Negara Indonesia Serikat. lalu terjadilah sebuah pernyataan sendiri pada tahun 1950 yaitu Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lucunya kaum Federalis diam saja, bahkan ikut-ikutan mendukung NKRI. Terus terang saja Belanda amat kaget pada perubahan ini. Baru belakangan hal ini menimbulkan kekisruhan. Kekuasaan sentral Jakarta tidak dapat mengendalikan perkembangan daerah yang tambah hari, tambah komplek. terjadilah pemberontakan separatis, perlawanan pada pusat, terorisme, tuduhan dominasi jakarta, Pimpinan daerah yang mbalelo dan sebagainya. Kemudian muncullah kebijaksanaan itu yang namanya "Otonomi Daerah". Apakah semua itu cukup ? Ternyata belum. Ditambah semua keadaan yang menyedihkan, mulai dari bencana alam, kebangkrutan ekonomi, birokrasi yang retak, korupsi, kecelakaan sistim pengangkutan didarat, laut dan udara. Sungguh amat miris nasib bangsaku ini !
Tulisan ini bisa dibaca sebagai Original Message From: Husein Rusdhy To: mediacare@yaho... Sent: Thursday, February 01, 2007 9:48 PM Subject: Re: [mediacare] Re: Danny Lim for Wapres RI 2009
Monday, 2 November 2009
Hari ini 60 tahun yang lalu K.M.B berakhir
“Kami tahu, bahwa ada diantara kita jang akan berkata bahwa hasil K.M.B itu belumlah kemerdekaan 100%. Berbubung dengan itu kami hanja ingin bertanja: apakah jang dikatakan. kemerdekaan 100% ? Indonesia Merdeka bukanlah tudjuan achir bagi kita. Indonesia Merdeka adalah sjarat untuk mentjapai kebahagiaan dan kemakmuran rakjat. Indonesia Merdeka tidak ada gunanja bagi kita, apabila kita tidak sanggup mempergunakannja untuk mentjapai tjita-tjita rakjat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian djasmani maupun rohani. Maka dengan tertjapainja penjerahan kedaulatan, perdjuangan belum lagi selesai. Malahan kita baru pada permulaan perdjuangan jang lebih berat dan lebih mulia, jaitu perdjuangan untuk mentjapai kemerdekaan manusia daripada segala tindasan. Kemadjuan jang diperoleh dalam perdjuangan itu tidak sadja bergantung kepada.kemadjuan jang kita peroleh didalam negeri, tetapi djuga dan istimewa terpengaruh oleh keadaan dunia dan masjarakat internasional. Perdjuangan ini menghendaki idealisme jang tetap, pandangan realiteit jang benar dan rasa sabar jang tak kunjung lenjap….”
“Soal Irian mendjadi suatu soal perundingan antara dua Negara jang sama-sama berdaulat jaitu R.I.S dan Keradjaan Belanda. Dengan putusan sematjam ini Indonesia tidak melepaskan tuntutannja pada Irian…”
“Orang jang mempunjai kepertjajaan bahwa waktu ada pada fihak kita, berani menerima pendjelasan soal Irian dimasa datang”.
Wednesday, 28 October 2009
Ruma Maida
Tuesday, 27 October 2009
Erasmus
Tuesday, 13 October 2009
-----------------------------------------------------------------------
Ladies and Gentlemen,
No country can escape its history; nor can it forget its past. But we can draw lessons from both.
The Linggajati agreement, which was signed in 1946 by
The agreement was reached by statesmen of both countries who were prepared to have a genuine meeting of minds, and who would negotiate with respect for each other. Some of the participants paid dearly in both their private and public lives.
The problems of international conferences today are not so much caused by reams of policy papers written to solve the problems; rather, most problems are in the attitudes of in the participants. As someone once remarked, there are more problems sitting around the table than are on the table. In that sense, Linggajati today is highly relevant.
Linggajati is a “bridge to the future.” This is possible only if the pillars supporting the bridge are solid, which they will be if we do not deny our colonial heritage.
After sixty years, both our countries demonstrate that the bridge will be strong. This became clear at the Seminar in Den Haag initiated by His Excellency Mr Habibi, Ambassdor of Indonesia in the
At the seminar, Mrs. Upik Syahrir, the daughter of the great statesman Sutan Syahrir, told the participants about the suffering her father and his family suffered at the hands of their Indonesian compatriots. She described how her father had been imprisoned for years—without due process—in Madioen. In my view, the fact that
Mrs. Syahrir was considerate in not mentioning that in 1933, her father, who had returned from the
She emphasized how her father could forgive those who had harmed him and that he always managed to keep faith in his country,
But Sultan Syahrir was also a father who loved his wife and children. Upik told me that when she, her mother and brother made a long trip to visit her father in Madioen, they were accompanied by an aunt. As they returned to the prison exit her aunt realized that she had forgotten something. So she returned to the cell where she found Syahrir in tears, holding a picture of his children in his hands.
When Mrs. Syahrir mentioned this experience during her talk at the seminar in den Haag, there wasn’t a dry eye in the audience. She received a standing ovation. The Dutch, the Indonesians, the Indo’s all of us recognized ourselves in Mrs. Syahrir. She showed us another lesson—that healing from past wounds is possible when people and countries face their history and past mistakes, and, together, decide to build a new future.
Ladies and gentlemen, since 1945 many things have changed. White is no longer the only beautiful skin colour. Brown, Black, we all count; we all want to be recognized for who we are, and be treated with respect. Now we must put our combined efforts in finding ways to make a multicultural society work for everyone. The reality that inside our hearts we are all alike is increasingly accepted. We have entered a new century. Mankind is confronted with overwhelming challenges. We need each other in order to successfully meet these challenges.
The younger generation needs to know more about the colonial times, the mixed culture of the Dutch–Indonesian mix; the treaty of Linggajati and what that meant for both our peoples; the exodus of the former citizens of the Dutch East Indies; the life of the Indonesian Founding Fathers, and the great Dutch statesmen, Schermerhorn, van Mook Sanders who were present.
Through Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir and the Treaty of Linggajati, our youth in
It is note worthy to mention their success in dealing with some large natural disasters .
Ladies and gentlemen Linggajati : the bridge to the future.
Joty ter Kulve–van Os
Dr. W.A.A. van Os
Foundation ‘’ Vrienden van Linggajati”
October 2009
Friday, 9 October 2009
Obyek Wisata Mercusuar
Jalur perdagangan
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti mengutarakan, banyaknya mercusuar yang dibangun Belanda di perairan Selat Bangka menunjukkan ramainya jalur pelayaran di perairan tersebut. Jalur itu sudah ratusan tahun merupakan jalur pelayaran yang ramai. Pada masa kolonial Belanda, mercusuar dijadikan pedoman para pelaut, sedangkan pada zaman Sriwijaya memakai tanda-tanda alam yang ada di Pulau Bangka, seperti Bukit Menumbing dan tanda-tanda alam, seperti hutan bakau di pantai timur Sumatera. "Belanda masuk ke Bangka Belitung karena timah. Timah memang komoditas yang penting pada abad ke-19 sehingga Belanda mendirikan banyak benteng di pesisir Bangka. Oleh karena transportasi perdagangan timah ramai, Belanda membangun mercusuar," kata Nurhadi. Mengenai potensi mercusuar di Bangka Belitung sebagai wisata arkeologi, Nurhadi menuturkan, wisata arkeologi tidak bisa berdiri sendiri.Bangkai kapal
Tim ekspedisi Sriwijaya berhasil menemukan dan mendokumentasikan bangkai kapal yang tenggelam di perairan Pulau Nangka, Selat Bangka. Kapal yang tenggelam di kedalaman sekitar 17 meter tersebut bisa menjadi obyek wisata yang menarik di Selat Bangka. Kepala Seksi Kerja Sama Direktorat Peninggalan Bawah Air Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Yudi Wahyudin mengungkapkan, kapal itu diduga tenggelam karena terkena torpedo. Namun, karena hambatan arus yang kuat dan rendahnya jarak pandang (visibilitas) di dalam laut yang hanya 1 meter, tim ekspedisi belum berhasil mengidentifikasi bangkai kapal tersebut secara lengkap. Menurut Yudi, koordinat bangkai kapal tersebut adalah 02 derajat 22’45.6" Lintang Selatan dan 105 derajat 43’31.5" Bujur Timur. Kapal memiliki panjang 70 meter. Kondisi bangkai kapal telah ditutupi karang dan menjadi rumah yang disukai ikan-ikan. "Kondisi bangkai kapal relatif utuh, tidak banyak bagian kapal yang hilang. Menurut para nelayan, jarang ada orang yang mengambil besi tua dari bangkai kapal tersebut. Para nelayan hanya mengambil ikan di sekitar lokasi," ujarnya. (WAD)
Wednesday, 7 October 2009
Sunday, 4 October 2009
Ridderzaal Den Haag
Saturday, 3 October 2009
Para pengunjung Penyerahan Kedaulatan tgl 27 Desember 1949 dimuka Istana Dam
Thursday, 1 October 2009
Sjahrir Straat dikota Leiden Belanda
Wednesday, 16 September 2009
Prof Slamet Iman Santoso
Oleh Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono
03 November 2007
Beberapa mahasiswa di tahun 1960-an (ketika saya masih kuliah di Fakultas Psikologi UI) pernah menyebutnya "si Kelinci", bukan karena telinganya atau giginya yang seperti kelinci, melainkan karena bajunya yang selalu putih-putih dan rambutnya yang juga putih, sehingga seperti kelinci putih. Dan memang sejak saya mengenal beliau di tahun 1961 (saya mulai menjadi mahasiswa psikologi UI), sampai terakhir kali saya (sebagai dekan Fakultas Psikologi UI) menengok beliau pada bulan Maret 2003 (dalam rangka Dies Fakultas Psikologi UI ke 50), saya tidak pernah melihat beliau berbusana selain putih. Tetapi buat saya, putih bersih itu bukan hanya menunjukkan keunikkan berbusana (kondangan ke pengantin pun tetap serba putih, bahkan mobilnya pun VW Kodok warna putih), melainkan mencerminkan kebersihan hatinya.
Saya selalu ingat salah satu ajaran beliau, "Jadi orang itu harus pintar dan jujur. Orang pintar tetapi tidak jujur akan jadi penipu; orang jujur yang tidak pintar selalu ditipu; sedangkan orang bodoh dan tidak jujur paling-paling jadi maling ayam yang tertangkap pula".
Ucapan beliau itu bukan seperti ucapan kebanyakan selebritis zaman sekarang (dari artis sampai politisi) yang hanya jadi hiasan bibir belaka. Pak Slamet (demikian para mahasiswa memanggilnya) sendiri adalah seorang yang sungguhsungguh bersahaja dan konsisten, serta konsekuen dengan ucapan-ucapannya. Salah satu konsekuensinya adalah beliau tidak pernah jadi rektor UI (apalagi jadi menteri), walau pun sudah berkali-kali menjabat sebagai Pembantu Rektor I, bahkan pernah menjadi Pejabat Ketua Presidium IKIP Jakarta.
Beliau adalah seorang yang sangat lurus, walau pun jarang sekali beliau mengucapkan "ikhdinaz sirotol mustakim", apalagi menghujani mahasiswanya dengan ayat-ayat yang tidak dimengerti, baik oleh umat maupun oleh pengucapnya sendiri. Tetapi justru hal yang tidak diinginkan Pak Slamet itulah yang sekarang menjadi kenyataan. Negara kita diatur oleh orang-orang pintar yang tidak jujur, sehingga banyak orang yang pandai membaca seribu ayat kitab suci, tampil bersorban dan berjanggut, namun juga melakukan KKN, rebutan jabatan, atau melakukan terorisme atas nama agama.
Di sisi lain, Indonesia sekarang juga dikelola oleh orang-orang bodoh yang tidak jujur. Celakanya, di era reformasi ini mereka tidak cukup puas jadi maling ayam, tetapi mereka bisa juga menduduki kursi legislatif dan eksekutif, sehingga tidak mengherankan jika banyak undang-undang dan peraturan yang justru bisa mengherankan orang-orang yang masih berakal sehat.
Kecemasan Pak Slamet tentang masa depan bangsa sudah timbul sejak ia membacakan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran UI di Fakultas Teknik UI, Bandung (sekarang ITB) pada tanggal 3 Maret tahun 1952. Pada waktu itu beliau menyatakan bahwa masalah bangsa yang pada waktu itu sedang mengalami transisi dari era kolonial ke era kemerdekaan, tidak mungkin ditangani oleh para psikiater sendiri. Psikiater hanya bisa mengobati orang-orang dengan gangguan kejiwaan pada masa itu, namun tidak bisa menanganinya sampai tuntas.
Psikiater, misalnya, harus menangani berbagai masalah yang timbul akibat gagalnya sistem pendidikan sehingga banyak murid yang drop out, namun psikiater tidak bisa membantu para guru untuk melaksakana penddikan yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak.
Demikian pula psikiater bisa mengurangi gejala stres pada para pejabat yang pada waktu itu harus mengisi pos-pos penting yang ditinggalkan Belanda, sementara mereka sendiri hanya mantan tentara revolusi yang tidak berpengalaman dan/atau berpendidikan.
Namun psikiatri tidak bisa memecahkan masalah "the right man in the right place". Maka dalam pidatonya itu ia mengusulkan agar di UI ada pendidikan psikologi, yang diawali pada tahun 1953 (dianggap sebagai lahirnya Fakultas Psikologi UI), dengan pembukaan Balai Psikoteknik di UI yang mendidik asisten psikolog. Balai psikoteknik ini kemudian menjadi Jurusan Psikologi dari Fakultas Kedokteran UI, dan pada tahun 1960 menjadi Fakultas Psikologi UI yang berdiri sendiri.
Dalam pidatonya sebagai Doctor HC dalam bidang psikologi, pada tanggal 3 Maret 1973, Prof. Dr (HC) dr. R. Slamet Iman Santoso mengulangi lagi komitmen dan harapannya pada psikologi di Indonesia. Beliau mengatakan daam pidatonya tersebut, "Sekalipun semua usaha sosial di Indonesia mempunyai potensi nation building, namun ilmu Psikologilah yang langsung menghubungi manusia Indonesia, baik yang muda maupun yang tua, baik yang tidak mau berubah, maupun yang saking berubahnya sampai tergelincir. .... Justru dalam negara yang kebudayaan terbentang antara jaman batu di Irian Barat, sampai jaman nuklir dan ruang angkasa, maka peran Psikologi adalah sangat perlu untuk menjadi perantara dalam hal modernisasi".
Sekarang ilmu Psikologi yang pertama sekali dicanangkan oleh pak Slamet itu sudah menjadi ilmu yang mapan dan Alumninya sudah ribuan, tersebar di seluruh Indonesia dan dihasilkan oleh puluhan (konon sudah mencapai angka 70) program studi di berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.
Pertanyaan kita sekarang adalah mengapa justru pada saat imu Psikologi di Indonesia sedang menuju puncak, kondisi bangsa malah terpuruk sampai tingkat yang paling rendah (antara lain menjadi salah satu negara terkorup dan paling sadis di dunia, di samping juga paling miskin). Apakah Pak Slamet telah salah ketika ia mulai menggagas tentang perlunya pendidikan psikologi di Indonesia 52 tahun yang lalu? Tentu saja tidak. Di berbagai negara maju, psikologi telah dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia, mulai dari pendidikan, sampai dengan periklanan dan konseling perkawinan. Tetapi orang Indonesia nampaknya memang belum siap betul menerima masukan dari psikologi. Sebagai contoh adalah kebijakan pembangunan bangsa, yang menurut psikologi, sejak Repelita I, seharusnya berfokus pada manusia (pendidikan berkualitas tinggi, gaji dan kesejahteraan yang mencukupi, kesempatan untuk berkembang dan berkarir yang sehat). Dalam praktiknya, dengan alasan keterbatasan dana dan sebagainya, maka pembangunan fisiklah yang diutamakan.
Akhirnya pemerintah Suharto tumbang sebagai sebuah rezim yang paling dinista oleh rakyatnya sendiri. Tetapi rezim-rezim yang berikut (Habibi, Gus Dur sampai Megawati), juga tidak terlalu menganggap penting psikologi, karena asyik dengan permainan mereka masing-masing, mulai politik sampai klenik. Bagaimana dengan era SBY-JK? Walau telah diawali dengan tragedi rebutan kursi di DPR, nasib bangsa kita pasti akan membaik jika saja kita mau melaksanakan amanat Prof. Dr (HC) dr. R. Slamet Iman Santoso: fokus pada pembangunan manusia (baca: pendidikan), jadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak hanya pandai, tetapi sekaligus juga jujur. Diambil dari
http://sarlito.hyperphp.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=12
Monday, 7 September 2009
Mengapa Soekarno "Ganyang Malaysia" ?
Tuesday, 1 September 2009
Sidang KNIP pertama yang gaduh itu
Sunday, 30 August 2009
Penangkapan dr AK Gani
Jenderal Sudirman bisa menerima supremasi sipil ?
Monday, 24 August 2009
dr Leimena
Friday, 21 August 2009
Lupa-lupa Ingat "Indonesia Raya"
Oleh Saifur Rohman
Lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” karya WR Soepratman terlewat dinyanyikan dalam pidato kenegaraan di Jakarta, Jumat (14/8).Setelah diinterupsi, pada akhir acara Ketua DPRD Agung Laksono mengajak peserta menyanyikan ”Indonesia Raya”. Ini menandakan, acara simbolik, rutin, dan ritual telah melupakan simbol penting sejarah kehidupan berbangsa.Seperti sarapan yang siap di atas meja, tetapi lupa menanak nasi. Disebutkan, kesalahan itu tidak disengaja. Saat geladi bersih, lagu itu ada, tetapi saat pelaksanaan, tiba-tiba ”menghilang”. Hukuman berupa peringatan, sanksi, atau apa pun akibat kelalaian tidak bisa menghapus pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi dalam kesadaran pelaku ritus kenegaraan? Jawabannya menjadi penting jika kita menganggap membangun bangsa didasarkan kesadaran untuk mengingat, bukan melupakannya.
Tidak sadar
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis, lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Edmuns Husserl melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan, kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar. Dalam kajian antropologis terungkap, ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu adalah gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Tradisi memang monoton, tetapi itulah satu-satunya cara agar bisa mengingat. Karena itu, produk- produk kebudayaan intangible memerlukan mekanisme mengingat untuk menegakkan harkat kemanusiaan itu sendiri. Wajar manakala Ben Anderson merumuskan entitas kebangsaan sebagai ”komunitas yang dibayangkan” karena entitas itu harus terus dipupuk agar bayangan itu tetap ada. Betapa berat beban negara-bangsa yang lahir setelah Perang Dunia (PD) II. Pelaku negara-negara baru harus kerja keras melawan lupa. Sebab, sebelum PD II, alam kesadaran masyarakat dalam bingkai kolonial. Ritus negara-bangsa yang lahir setelah PD II, termasuk Indonesia, adalah eksplisitasi dari tiap upaya anak bangsa melawan lupa bahwa sebagai ”Indonesia Raya” telah ”merdeka”. Dalam proses melawan lupa itu setidaknya ada dalam syair lagu WR Soepratman. Berdasar analisis semantik, ada tesis bahwa lagu itu memberi wasiat tentang mekanisme melawan lupa. Syair-syairnya berisi identifikasi tentang Indonesia. Jawabannya, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Soepratman lalu menjelaskan asal-usul kita sebagai bangsa. Kejelasan asal-usul itu dimanfaatkan untuk mengingatkan visi ke depan. Dia menegaskan, Marilah kita berseru Indonesia bersatu. Asal-usul dan tujuan itu memberi kerangka pikir bagi tiap individu tentang kehadiran kesadaran baru yang tidak boleh dilupakan. Kerangka pikir itu lalu dibangkitkan dengan Hiduplah bangsaku, hiduplah negeriku untuk Indonesia Raya. Kesadaran sebagai negara-bangsa harus dihidupkan, dihayati, dimaknai. Paralelisme syair itu ada dalam Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Indonesia dihidupkan dalam kesadaran agar kita tidak melupakan. Pengulangan terus-menerus dan aneka simbol yang diciptakan untuk entitas Indonesia adalah upaya optimal untuk melawan lupa.
Ingat yang lain
Indonesia sudah diproklamasikan sejak 1945. Maka ironis saat lagu kebangsaan terlupa justru dalam ritus melawan lupa. Maka, kita patut mempertanyakan kesadaran kita sebagai bangsa.
Kesadaran untuk ingat sebagai bangsa ternyata tertumpuk kesadaran untuk ingat yang lain. Dan nasionalisme tidak lebih besar ketimbang kesadaran untuk rutinitas baru yang mengatasnamakan demokrasi. Tiap hari elite sibuk kampanye untuk meningkatkan citra. Pebisnis sibuk menggagas pencitraan yang menarik dalam pemasaran calon kepala negara dan kepala daerah. Para selebritas akademisi rutin membangun retorika baru sebagai produk yang dipertontonkan. Lembaga swadaya masyarakat bermodal pengetahuan statistik sibuk mengiklankan diri sebagai akurat dan ahli mengantar orang menjadi pemimpin. Tiap warga sibuk mencari posisi dalam kursi publik. Kita telah berlarut-larut dengan atribut-atribut itu dan melupakan esensi keindonesiaan. Setelah sekian lama kita berlalu, kita patut mempertanyakan kembali pembangunan semangat kebangsaan selama ini.
Saifur Rohman Alumnus Filsafat UGM; Bekerja dan Menetap di Semarang
Gambar atas : Peristiwa yang seharusnya tidak boleh dilupakan. Diiringi lagu Indonesia Raya, pada tanggal 27 Desember 1949, untuk pertama kali Sang Saka Merah Putih dinaikkan dan berkibar diatas puncak Istana Merdeka. Hal ini disambut rakyat dengan gegap gempita. Foto, capture dari film Belanda : souvereiniteit overdracht