Thursday, 31 December 2009
Bagaimana kelaparan dan kemelaratan di setiap penjuru dunia mendorong seseorang untuk berpikir?
Ketika di belahan dunia yang satu terdapat negara-negara yang sangat makmur dengan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi, namun di belahan bumi yang lain terdapat orang-orang yang tidak memiliki sesuatupun yang dapat dimakan atau obat untuk penyakit yang paling ringan sekalipun sehingga mereka pada akhirnya meninggal tak terurus. Pertama-tama, fenomena tersebut menunjukkan keberadaan sebuah sistim yang dzalim dan tidak adil di dunia. Sebenarnya sangatlah mudah bagi satu atau segilintir negara untuk menyelamatkan orang-orang yang terdzalimi ini. Misalnya, rakyat di negara-negara tetangga di Afrika sedang mati kelaparan, namun ada kelompok masyarakat yang telah menumpuk harta dari pertambangan intan dan dengannya membangun sebuah peradaban yang maju. Kendatipun sangat mudah untuk memindahkan orang-orang yang hidup melarat dan kelaparan dan hampir meninggal ini, atau memberi sarana yang mereka butuhkan di daerah tempat tinggal mereka, namun selama puluhan tahun tidak ada jalan keluar yang berarti yang telah diberikan kepada mereka. Menolong orang tersebut bukanlah sebuah tugas yang dapat diselesaikan oleh segelintir orang. Untuk mendapatkan penyelesaian yang berarti, perlu banyak orang yang mau mengorbankan diri mereka. Sayangnya, hingga kini jumlah orang yang menklaim telah mengatasi bencana kemanusiaan tersebut masih terlalu sedikit.
Di lain pihak, trilyunan dolar telah dihambur-hamburkan di setiap penjuru dunia untuk beragam tujuan. Di satu sisi ada orang-orang yang membuang makanannya hanya karena tidak puas dengan jumlah garam dalam makanan tersebut, di lain pihak ada manusia yang mati karena tidak menemukan makanan untuk dimakan. Ini adalah bukti nyata adanya tatanan yang dzalim dan tidak adil akibat tidak diamalkannya akhlaq agama.
Orang yang memahami persoalan ini berpikir bahwa satu-satunya yang akan menghilangkan ketidakadilan adalah akhlaq yang diajarkan Allah. Mereka yang takut kepada Allah dan bertingkah laku sesuai dengan hati nurani dan akalnya tidak akan pernah membiarkan kepincangan dan ketidakadilan yang ada. Mereka akan keluar untuk menolong orang-orang yang membutuhkan dengan solusi yang cepat, tepat dan permanen tanpa menonjolkan diri ataupun mengharapkan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa menolong kaum fakir dan miskin adalah ciri orang-orang yang takut kepada Allah dan hari pembalasan:
"Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia dalam bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab Tuhannya." (QS. Al-Ma’arij, 70: 24-27)
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan." (QS. Al-Insaan, 76: 8-10)
Tidak memberi makan kepada orang miskin adalah ciri orang yang tidak beragama dan tidak memiliki rasa takut kepada Allah:
"Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa." (QS. Al-Haaqqah, 69: 30-37)
Bagaimana acara diskusi TV sampai pagi hari mendorong seseorang berpikir?
Acara-acara tersebut menampilkan tokoh-tokoh serta para ahli di bidang yang sedang menjadi topik hangat di hari itu. Mereka mendiskusikan sebuah topik selama berjam-jam, namun tak seorang pun di antara mereka mampu memberikan jalan keluar atau mencapai sebuah kesimpulan. Padahal mereka yang menghadiri acara diskusi tersebut adalah orang-orang yang dipercayai memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang ada.
Sungguh, jalan keluar dari sebagian besar permasalahan yang sedang didiskusikan tersebut sangatlah jelas. Namun kepentingan pribadi masing-masing orang, pengaruh dari golongan mereka, ambisi untuk menonjolkan diri pribadi dari pada mencari sebuah solusi secara ikhlas, membawa mereka pada jalan buntu.
Ketika menyaksikan ini semua, orang yang memiliki nalar akan berpikir bahwa sebenarnya penyebab dari persoalan yang ada terletak pada jauhnya masyarakat dari agama Allah. Orang yang beriman kepada Allah tidak pernah menunjukkan perilaku yang tidak bertanggung jawab, sia-sia ataupun acuh tak acuh. Ia sadar bahwa ada kebaikan di setiap peristiwa yang Allah perlihatkan kepadanya. Ia paham bahwa ia selalu berada dalam keadaan diuji di dunia ini yang mengharuskannya untuk menggunakan akal, kekuatan dan pengetahuannya dalam segala hal yang dapat membuat Allah ridha.
Di samping itu, seorang mukmin senantiasa ingat akan sebuah ayat Allah ketika melihat acara tersebut:
Bagaimana jumlah kasus kejahatan, penyerangan dan pembunuhan mendorong seseorang untuk berpikir?
Mungkin ada yang berkata:"Saya seorang ateis. Saya tidak percaya kepada Allah, tapi saya tidak menerima uang suap". Pernyataan orang yang tidak takut kepada Allah ini tidak meyakinkan sama sekali. Sangat mungkin bahwa komitmen dalam memegang janjinya akan melemah ketika kondisi berubah. Sebagai contoh, jika ia harus mendapatkan uang untuk keperluan yang sangat mendesak, dan kebetulan berada pada kondisi yang memungkinkannya untuk mencuri atau menerima uang suap, ia dapat saja tidak memegang janjinya. Hal yang sama dapat berlaku ketika nyawanya berada dalam bahaya. Kendatipun ia dapat menahan diri dari mengambil uang suap dalam situasi yang sulit, ia mungkin cenderung untuk melakukan perbuatan terlarang lainnya. Sebaliknya, orang yang beriman tidak pernah melakukan apapun yang tidak mampu dipertanggung jawabkannya di akhirat.
Jadi, penyebab semua tindak kejahatan tersebut, yang mendorong kita melakukan protes dan berteriak,"apa yang terjadi pada masyarakat kita!" melalui surat kabar, TV, kantor-kantor pada hakikatnya adalah jauhnya mereka dari agama. Ketika menyaksikan berita-berita sebagaimana di atas, orang yang beriman tidak memalingkan muka, sebaliknya mereka berpikir bahwa satu-satunya jalan keluar adalah untuk menyampaikan ajaran agama dan menghidupkan nilai-nilai akhlaq dalam masyarakat. Sebab dalam masyarakat yang terdiri atas orang-orang yang takut kepada Allah dan tahu bahwa mereka akan mempertanggung jawabkan perbuatannya di akhirat, tidaklah mungkin semua peristiwa ini terjadi. Dalam masyarakat yang demikian, kedamaian dan keamanan akan dinikmati pada puncaknya.
Bagaimana pepohonan mendorong seseorang untuk berpikir?
Namun Allah telah menciptakan untuk tiap-tiap pohon semua sarana dan perlengkapan yang diperlukan. Tambahan lagi, sistim pemompaan di setiap pohon terlalu canggih dibandingkan dengan yang ada di bangunan tempat tinggal manusia. Ini adalah satu diantara beragam hal yang hendaknya dipikirkan oleh seseorang ketika sedang menyaksikan tanaman-tanaman tersebut. Dan pemikiran semacam ini hanya akan muncul jika ia senantiasa melihat ke segala sesuatu dengan menggunakan "mata yang benar-benar melihat", yakni melihat sambil memikirkan secara mendalam tentang apa yang sedang dilihatnya.
Hal lain yang dapat dipikirkan berhubungan dengan dedaunan. Ketika memandang sebuah pohon, seseorang yang merenungkan segala sesuatu yang dilihatnya tidak akan menganggap daun-daun pohon tersebut sebagai bentuk-bentuk sederhana sebagaimana ia terbiasa untuk melihatnya. Ia berpikir berbagai hal yang belum pernah terpikirkan oleh orang lain. Dedaunan, misalnya, adalah sesuatu yang rentan dan mudah rusak. Namun, daun-daun ini tidak kering kerontang karena panasnya terik sinar matahari yang menyengat. Ketika seorang manusia berada pada suhu 40oC dalam waktu yang sebentar, warna kulitnya berubah, ia menderita dehidrasi. Sebaliknya, daun mampu untuk tetap hijau di bawah panas matahari yang menyengat tanpa terbakar selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan meskipun sangat sedikit sekali jumlah air yang mengalir melalui pembuluh-pembulunya yang mirip benang. Ini adalah sebuah keajaiban penciptaan yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan ilmu yang tak tertandingi. Berpikir tentang keajaiban ciptaan tersebut, seseorang yang beriman mampu sekali lagi melihat kebesaran Allah untuk kemudian mengagungkan-Nya.
Monday, 28 December 2009
60 th Penyerahan Kedaulatan kepada RIS
Pak Rosihan Anwar pada tanggal 22 Desember 2009, hadir di Ridder Zaal Den Haag Negeri Belanda dalam rangka peringatan 60 th Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat yang tepatnya tanggal 27 Desember 2009. Riddere Zaal adalah tempat berlangsungnya pembukaan Konperensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Agustus 1949. Radio Nederland Wereld Omroep sebagai pengundang, telah membuat rekaman video untuk peristiwa ini. Dalam keterangannya, secara konsisten, Pak Rosihan berkata, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang memunculkan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945. 60 tahun yang lalu sejak Agustus sampai Desember 1949, Pak Rosihan adalah wartawan surat kabar Pedoman yang bertugas meliput, baik KMB maupun Penyerahan Kedaulatan kepada RIS.