Monday, 29 November 2010

Mitos Amerika di Kaki Lawu


TEMPO online 08 November 2010
DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini. Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini. Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun pada September 1948. Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri. Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa Madiun oleh Amerika. Di hadapan parlemen Belanda, sebulan setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh Charlton Ogburn, penasihat politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan ini, Amerika menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika pemerintah Indonesia mau menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Menteri Penerangan Mohammad Natsir. Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage à Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI. Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins. Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan Peristiwa Madiun. Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. Soemarsono mengaku mendengar dari mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan Renville-soal pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta menyetujui tawaran Amerika. "Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan Roem," katanya. Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi. Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak pada Hatta," kata Soemarsono. Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada," katanya. Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya, setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakan binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos," ujar Rushdy. Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia pada 9 Agustus 1948," tulis Swift. Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan. Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda. Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata. Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul. Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan, saat berbicara dengan Cochran setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta. Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis". Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta warga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya, Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno. Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red Drive Proposal.
---------------------------------
Foto atas jalan masuk ke Hotel Huize Hansje (jadi bukan Huisje Hansje) pada tahun 1935. Saya waktu bertugas di magetan, tinggal tidak jauh dari Sarangan yaitu didesa Plaosan. Hampir 3 tahun mencari bekas hotel yang namanya Huize Hansje. Rupanya sudah dihancurkan oleh TNI menjelang Agresi Belanda ke II (Desember 1948) agar tidak dipakai Belanda. Kemungkinan besar sisa bangunan juga sudah hilang. Kini Sarangan adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi turis dalam negeri atau manca negara.

Saturday, 27 November 2010

GBPH Joyokusumo: Presiden Tak Pernah Belajar Sejarah


GBPH Joyokusumo: Presiden tak pernah belajar sejarah.
YOGYAKARTA –– Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah Mada, A.A.G.N. Arie Dwipayana, menilai pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tak mungkin monarki merupakan konsekuensi politik. “Suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah dengan pemilihan, bukan penetapan,” ujar Arie kepada Tempo kemarin. Tapi, katanya, pernyataan Presiden itu belum juga memberikan jawaban bagaimana posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Presiden dalam sambutan pembuka rapat kabinet terbatas di kantor Presiden kemarin menegaskan, sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarki. “Tidak mungkin ada sistem monarki, yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” kata Presiden. Menurut Presiden, Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tak boleh diabaikan. Selain itu, ada perangkat sistem nasional, juga keistimewaan, yang harus dihormati di Yogyakarta dan implementasi nilai demokrasi untuk negeri. Hal ini secara implisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, katanya, keistimewaan tetap akan dipahami dari sejarah dan aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. “Harus tetap menampakkan dalam struktur pemerintah keistimewaan itu,”katanya. Arie Dwipayana mengatakan penilaian Presiden bahwa sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi dan konstitusi terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, kenyataannya, Inggris maupun negara Skandinavia, yang menggunakan sistem monarki, bisa hidup dalam demokrasi. “Jadi tak benar jika monarki tak bisa hidup dalam nilai-nilai demokrasi,”kata Arie. Menurut Arie, monarki perlu diterapkan dalam konteks Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membuat desain bagaimana monarki bisa diakomodasi dalam demokrasi. Semisal dengan membuat sistem monarki konstitusional, yakni menggabungkan warisan tradisi monarki sebagai simbol pengayom dengan demokrasi. Adapun GBPH Joyokusumo, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pernyataan Presiden itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini, termasuk Presiden Yudhoyono, tidak pernah belajar sejarah. “Tapi hanya belajar sejarah elite Barat,” ujar Joyokusumo, yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Tapi, menurut dia, langkah Hamengku Buwono IX telah mengajarkan soal demokrasi ala Jawa, yaitu semua kebijakan bermanfaat bagi rakyat, bukan sistem. “Kalau demokrasi ala Soeharto berdasarkan sistem.” Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY Janu Ismadi menegaskan, apa pun pernyataan Presiden, DPRD DIY tetap mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.“Ya, kami tidak bisa menerima pernyataan itu begitu saja,”kata Janu. Dewan berharap RUU Keistimewaan DIY bisa diselesaikan tahun ini, lantaran 2011 adalah masa berakhirnya perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY.“Pengawalan yang dilakukan DPRD DIY tidak lagi melalui pengiriman delegasi yang ketiga, melainkan melalui perwakilan DPR RI dari daerah pemilihan DIY,”katanya. Saat ini posisi draf RUUK masih di Kantor Kementerian Dalam Negeri.
Foto: Lembaran Negara. Himpunan Undang2 1945, Koesnodiprodjo, Penerbit SK SENO Jakarta 1951.

Lunglai di Rawa Klambu

RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari di rawa dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang disentri. Bersama rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal angker. Mereka dikepung tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.
Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun.
Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. "Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang," kata Harry A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?. Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan," kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara. Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak. Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara. Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: "Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan." Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro. Atas saran Ahmad Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk. Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik.
Dua bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia. Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian Renville.
Kabar kedatangan para tahanan dari Klambu ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun. Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda. Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. "Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Amir ditembak lebih dulu. Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.
Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.

Foto atas, Saat Amir tiba di Yogyakarta dengan kereta api tanggal 5 Desember 1948...masyarakat tidak menyambutnya sebagai Pahlawan.
Sumber: Majalah TEMPO online 8 November 2010

Friday, 26 November 2010

Salemba 6, 90 tahu (bag ke II)

Atas tuntutan yang lebih meningkat lagi, pada th 1927 didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundig Hooge School atau GH). STOVIA tidak dibubarkan tapi berjalan terus dimana baru ditutup dengan resmi pada tahun 1937. Kalau sebelumnya untuk memperoleh gelar
Arts harus pergi kenegeri Belanda, sejak GH tidak perlu lagi. Untuk memberikan peluang pada para mahasiswa ex STOVIA untuk ikut dalam pendidikan GH, mahasiswa tingkat IV keatas mendapat kesempatan melalui testing. Tentu saja mata kulia lebih dikembangkan dan fasilitas pendidikan jauh lebih baik. Lama pendikan GH adalah 7 tahun dan menerima calon mahasiswa dari sekolah menengah atas. Berbeda dengan STOVIA yang menganut sistim pendidikan Guided Study atau pendidikan terpimpin, GH menganut sistim Free Study (pendidikan bebas) dimana sang mahasiswa menentukan kapan untuk menempuh ujian. Dengan perkataan lain jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun sukar diperkirakan. Saat itu timbul fenomena yang disebut sebagai Mahasiswa Abadi (de eeuwige student). Dalam kehidupan mahasiswa muncul dan tumbuh organisasi seperti Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan Bataviasche
Studentcorps (BSC).
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak itu kedua sekolah kedokteran GH dan NIAS (Nederlands Indisch Arts School) di Surabaya ditutup.
Pada tahun 1943 keduanya disatukan dan pendidikan diadakan di Jakarta dengan nama Ika dai Gaku. Tempat pendidikannya di Salemba 6 juga. Karena banyaknya mahasiswa dari luar kota, didirikanlah asrama yang terletak di jalan Prapatan 10. Berbeda dengan GH, lama pendikan Ika Dai Gaku adalah 5 tahun. Selama zaman Jepang berhasil lulus dua angkatan tahun 1944 dan 1945. Hampir semua lulusan menjadi dokter militer dalam kesatuan PETA. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Salemba 6 dan CBZ berubah menjadi Pergoeroean Tinggi Kedokteran dan Roemah sakit Pergoeroean Tinggi. Dalam perjalanan sejarah pendikan kedokteran di Indonesia ini sempat berpindah tempat beberapa kali. Mula-mula ke Malang dan Klaten, kemudian pada tahun 1950 kembali ke Jakarta. Pada saat itulah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditetapkan berdiri. Zaman Revolusi di Jakarta (1948) Rumah sakit dan Pergoeroean Tinggi Kedokteran sempat diambil alih pihak Belanda. Pihak Republik Indonesia tidak bisa menerima keadaan ini sehingga pihak tenaga pelaksana Dokter, Perawat dan tenaga administrasi termasuk para pasien meninggalkan Rumah sakit.
Bagaimana Salemba 6 dan RSCM (Diponegoro 71) saat ini ? Telah berubah banyak. Menyongsong akan dibangunnya Twin Tower di halaman dalam FKUI dan telah dibangunnya Rumah Sakit Kencana di ujung barat, Kita tidak mengenal lagi bagaimana CBZ dan STOVIA pada tahun 1919 dan 1920.
90tahun telah berlalu biarlah kenangan tetap melekat yang dapat mencitrakan sulitnya perjuangan, jatuh bangunnya dan geliat keras melawan tantangan dan cobaan dalam alam pendidikan dokter, penelitian kedokteran serta pelayanan yang memadai bagi rakyat Indonesia...
Foto atas: Penandatanganan Prasasti dan peletakan batu pertama oleh Nyonya Gubernur Jenderal Van Limburstirum.

Salemba 6, 90 tahun

Ir Hein von Essen pada tahun 1914-1915 mendapat tugas dari Pemerintah Hindia Belanda untuk merencanakan dan membangun sebuah kompleks Pelayanan Kesehatan diatas sebuah persil ditepi kali Ciliwung Jakarta. Pada tanah di Salemba ini pada waktu sebelumnya, di
sebelahnya memang sudah dibangun Pabrik Madat (Opium Fabriek). Hein adalah sarjana tehnik sipil terkenal saat itu dari biro pembangunan bernama Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.). Kompleks terdiri dari sebuah Rumah Sakit Umum sebagai pengganti Rumah Sakit Umum pemerintah di Glodok (Stadsverband) yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat. Rumah Sakit baru di Salemba ini rampung pada tahun 1919 dan kemudian terkenal sebagai Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Disebelahnya berhasil dibangun laboatorium kedokteran. Tentu saja setelah 90 tahun bangunan Rumah Sakit yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini telah banyak berubah. Beruntung laboratorim yang kini bernama Lembaga Biologi Molekul Eijkman masih berdiri tegak sebagaimana aslinya. Pada tanggal 26 Agustus 1916, Gravin N van Limburg Stirum mewakili suaminya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, untuk menandatangani Prasasti dimulainya pembangunan gedung School tot Opleiding van Indische Artsen. Sekolah kedokteran pribumi yang disingkat sebagai STOVIA ini sudah ada sejak tahun 1902 yang terletak di daerah Kwini Jakarta (kini jalan dr Abdurachman Saleh). Karena didesak perkembangan kemajuan dunia kedokteran sebagai institusi pendidikan dan penelitian dipindahkan ke Salemba. Selanjutnya STOVIA, CBZ dan laboratorium kedokteran merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Pendidikan ahli kesehatan di Hindia Belanda sudah ada sejak th 1851 yang dikenal sebagai sekolah Vaccinateur. (juru cacar). Dalam perkembangannya pendidikan yang hanya 2 tahun itu meningkat dari tahun ketahun. Lama pendidikan dan tambahan pengetahuan akhirnya menetapkan pada tahun 1853 berdirinya Dokter Djawa School (Sekolah Dokter Djawa). Pendidikan yang lebih ditingkatkan lagi pada th 1902 berhasil dibentuk pendidikan dokter pribumi dengan nama STOVIA. Rumah Sakit Pendikan untuk STOVIA adalah Militair Hospitaal (rumah sakit tentara) yang kini adalah RS Gatot Soebroto. Mungkin sejalan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit yang meningkat di Batavia, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai rumah sakit pendidikan, kompleks di Salemba ini dibangun. Mahasiswa juga menjadi lebih nyaman untuk belajar di wilayah baru yang lebih luas tersebut.

Suatu Malam di Proklamasi


Oleh: Rosihan Anwar (wartawan Senior)
Suatu Malam di Proklamasi 56 LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar pukul ...19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat. Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa" meletakkan jabatan. "Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu. Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari jabatan perdana menteri. "Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy," katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu. l l lWajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947. Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara. "Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara agar menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah. Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia). Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada 11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri untuk Masyumi. Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu. Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta. "Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta. Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu. Para pemimpin Republik mendukung. Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian Renville seakan-akan merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang bisa diperoleh. "Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa harus perang," katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak menjauhkan kita dari cita-cita. Panglima Besar Sudirman juga mengaku puas atas pencapaian itu. Di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. "Kabinet Amir Bubar. Kami menolak Perjanjian Renville," demikian kata salah satu dari mereka. Sumpah-serapah juga diarahkan ke Perdana Menteri, "Amir pengkhianat." Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. "Sebaiknya serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno. Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta. Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan politik. "Aduh, begini permainan komplotan ini," katanya mengutip keluhan Amir. Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan, dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri untuk mengadili Amir. "Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu saja," katanya. Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaan negara. "Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah," katanya. Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali dia bersua dengan Amir. "Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya. "Sampai akhirnya ditembak mati.

Wednesday, 24 November 2010

Mengenang Amir Sjarifoedin

Amir Sjarifoeddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun. Dia adalah seorang tokoh Revolusi Indonesia, mantan menteri Penerangan, Pertahanan dan kemudian Perdana Menteri pada zaman Revolusi (1945-1948) Negara Republik Indonesia. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin. Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Garis perjuangan ini dikenal sebagai garis Dimitrov. (Belakangan garis perjuangan ini berubah yang dikenal sebagai garis Sadanov). Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar. Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas. Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum kiri, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Partai Masyumi dan Partai Nasionalis Indonesia.
Foto: Amir ketika masih siswa Gymnasium di Haarlem.