Christiaan Eykman (11-08-1858, Utrecht) sekolah kedokteran di UVA (Universiteit van Amsterdam) Belanda dan lulus pada tahun 1883. Setelah lulus berangkat ke Hindia Belanda sebagai opsir kesehatan (officier van gezondheid) dan ditempatkan di Cilacap kemudian di Padang Sidempuan. Tahun 1885 kembali ke Belanda atas cuti sakit dan sempat terkait pada bagian bakteriologi. Pada tahun 1886 dia kembali lagi ke Hindia untuk bekerja sebentar dalam penelitian pada komisi penyakit beri-beri dibawah pimpinan Pekelharing dan Winkler . Tahun 1889 kembali lagi ke Hindia dan bekerja pada Laboratorium Pathologi Anatomie dan Bacteriologie yang kemudian bernama Eykman-Instituut . Dalam kesempatan kali ini dia juga diangkat sebagai direktur dan dokter pada sekolah dokter Jawa (Jawa-school). Penelitian yang dilakukannya dibidang polyneuritis membawanya kepada penelitian penyakit Beri-beri. Dimana ternyata penyebab Beri-beri adalah kekurangan vitamin B. Tahun 1898 dia kembali lagi ke Belanda dan mengajar di Universitas Utrecht sebagai guru besar . Pada tahun 1929 mendapatkan hadiah Nobel kedokteran pada bidang faal terkait penelitiannya waktu di Hindia yaitu Beri-beri
Monday, 27 December 2010
Saturday, 25 December 2010
Garuda Pancasila Rancangan Sultan Hamid II
Satu fakta sejarah baru terungkap kembali. Yaitu tentang lambang negara burung garuda. Selama ini burung garuda (Pancasila) dinyatakan sebagai lambang negara dan merupakan kreatifitas sejumlah tokoh nasional. Sebut saja Soekarno, mantan presiden pertama republik ini. kemudian ada versi kedua, bahwa burung garuda merupakan hasil kreasi dari Sultan Hamid II. Hal inilah yang kini tengah diperjuangkan Kalbar ditingkat Nasional. Namun fakta baru muncul dari kerajaan Sintang. Kerajaan yang pernah disebut-sebut sebagai kerajaan terbesar ke dua di region Kalimantan ini setelah kerajaan Kutai. Raja Sintang H.R.M.Ichsani Ismail Tsyafioeddin dalam sebuah ritual adat kerajaan melayu pada pernikahan salah satu keponakannya mengatakan bahwa sultan hamid II yang disebut-sebut sebagai pencetus ide lambang negara ini telah meminjam lambang kerajaan Sintang. Tepatnya di tahun 1948 dan dibawa ke pontianak. Sultan Hamid II sendiri merupakan putra pertama raja kerajaan Pontianak sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Untuk hal ini sultan Sintang dan tokoh sepuh yang masih kerabat keraton Gusti Djamadin mengaku masih menyimpan dokumen peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II tersebut. Lambang kerajaan Sintang sendiri yang kini masih tersimpan di istana Al Muqqaromah Sintang ada berupa patung burung yang memang sama dengan lambang negara kita saat ini. Patung burung itu sendiri menurut Gusti Djamadin dibuat oleh seorang putra Dayak yaitu Sutha Manggala di masa kerajaan Sultan Abdurrahman. Patung tersebut disyahkan sebagai lambang kerajaan Sintang tahun 1887. Gambar patung burung yang kemudian dijadikan sebagai lambang kerajaan Sintang ini menurut penuturan Gusti Djamadin diambil dari salah satu bagian gantungan gong dari bagian seperangkat gamelan yang dijadikan barang hantaran lamaran Patih Lugender kepada putri kerajaan Sintang Dara Juanti. Pada bagian gantungan gong terdapat ukiran menyerupai burung garuda. Memiliki dua kepala yang berlawanan pandang. Satu kepala asli burung namun satu lagi menyerupai kepala manusia. Sedangkan pada lambang kerajaan Sintang kepala patung diukir menyerupai kepala manusia.
Jika benar cerita ini, dan kerajaan Sintang memang masih memiliki bukti-bukti sejarah, maka siapa yang pertama kali mencetuskan lambang dari negara ini akan menemui babak baru. Pasalnya selama 60 tahun kerajaan Sintang mengalami masa vacuum. (phs). Foto selipan, Sultan Hamid ke II dimasa tuanya dengan sketsa burung garuda yang kemudian menjadi lambang negara Republik Indonesia Serikat.
Sunday, 19 December 2010
Kisah yang Hampir Tidak Diingat
Wajah Ismael Hassan (84) berseri-seri. Pada Sabtu (18/12), di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam Al-Azhar, Rawamangun, Jakarta Timur, ia sibuk menerima ucapan selamat dari koleganya dan orang-orang lain yang menghadiri peringatan 62 tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Memakai setelan jas berwarna gelap, ia juga kelihatan tangkas melayani permintaan sejumlah orang yang mengajaknya berfoto bersama. Ismael adalah orang yang paham bagaimana para tokoh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berjuang di hutan-hutan belantara di Sumatera Barat. Bersama tokoh PDRI, ia ikut berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran Belanda.
Ismael juga mengetahui persis alotnya perundingan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dengan delegasi utusan Soekarno-Hatta pada fase akhir PDRI. Perundingan itu bertujuan melunakkan hati Sjafruddin agar mau datang ke Yogyakarta, mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta. Dalam perundingan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu, Ismael bertindak sebagai notulis. Di sela-sela makan siang seusai acara peringatan, Ismael mengatakan, PDRI merupakan salah satu mata rantai eksistensi Republik Indonesia. Berkat PDRI, pemerintahan Republik Indonesia memiliki kesinambungan. PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Serbuan Belanda ke Ibu Kota Yogyakarta membuat kedudukan Dwitunggal itu berada di ujung tanduk. Untuk menjaga kesinambungan pemerintahan, dibentuklah PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tidak lama setelah memberikan mandat kepada Sjafruddin sebagai Ketua PDRI, Soekarno-Hatta ditangkap pasukan Belanda. Selain Sjafruddin, yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dalam pemerintahan Soekarno-Hatta, ada delapan orang lain duduk dalam PDRI. Mereka antara lain Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang PDRI dan Mr AA Maramis yang menjabat Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India. PDRI berakhir pada 13 Juli 1949. Selama tujuh bulan melaksanakan mandat, tokoh PDRI di Tanah Air berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran pasukan Belanda. Seminggu sebelum penyerahan kembali mandat, delegasi utusan Soekarno-Hatta yang antara lain terdiri dari Moh Natsir dan J Leimena berunding alot dengan Sjafruddin. ”Waktu itu, Sjafruddin mempertanyakan mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan Roem-Royen (Mei 1949),” ujar Ismael. Hal lain yang dipertanyakan oleh Sjafruddin adalah isi perjanjian Roem-Royen yang melemahkan republik. ”Keberatan utama Sjafruddin sebenarnya terletak pada perjanjian Roem-Royen itu,” ujar Ismael. Namun, Sjafruddin akhirnya bersedia mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta pada 13 Juli 1949. Sjafruddin dan tokoh PDRI lainnya mendarat di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada 10 Juli 1949.
Kurang dikenal
Fragmen PDRI dalam bentang sejarah perjuangan Indonesia mungkin kurang begitu dikenal. ”Hampir tidak diingat lagi. Peran mereka tidak mendapat sorotan,” kata sejarawan Hilmar Farid dalam kesempatan terpisah. Baru pada tahun 2006, tanggal terbentuknya PDRI, yakni 19 Desember, dinyatakan oleh Pemerintah RI sebagai Hari Bela Negara. Ini merupakan pengakuan luas pemerintah akan peran PDRI setelah ditunggu- tunggu selama berpuluh-puluh tahun oleh mereka yang pernah aktif dalam PDRI. Mantan Wakil ketua MPR AM Fatwa yang hadir dalam acara peringatan 62 Tahun PDRI itu menegaskan, apa yang dilakukan para tokoh PDRI patut dicontoh oleh generasi politisi ataupun pejabat sekarang. ”Tokoh PDRI berjuang dengan tulus tanpa mengharapkan apa-apa demi negara,” jelasnya.
Bagaimanapun, menurut Hilmar, Sjafruddin akhirnya terlempar dari pusaran kekuasaan di pusat. Lantas, mantan Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri ini memiliki sikap yang berseberangan terhadap pemerintah pusat dengan bergabung bersama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. Kekuatan PRRI lantas dipukul pemerintah pusat dengan kekuatan militer. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai pemberontakan, tetapi beberapa pendapat menyebut PRRI sebenarnya merupakan ekspresi ketidakpuasan daerah pada pusat.
Peringatan sederhana
Terlepas dari peranan Sjafruddin dalam PRRI yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan, PDRI perlu mendapat sorotan lebih layak dalam panggung sejarah Indonesia. Pada periode PDRI ada sejumlah orang yang dengan gigih, tanpa mengharapkan pamrih apa pun, berlarian di hutan, bukan sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan untuk memastikan bahwa pemerintahan RI tetap eksis di tengah tekanan Belanda. Peringatan 62 tahun PDRI sendiri berlangsung bersahaja di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI) Al-Azhar, Rawamangun, Jaktim. Setiap tahun, peringatan PDRI memang selalu dilakukan di sana, dengan diprakarsai oleh Ismael, ketua sekaligus salah satu pendiri YAPI. Tidak ada pejabat negara atau politisi beken yang hadir. Namun, mereka semua dengan tulus mengenang orang- orang yang pernah memberi warna cukup penting dalam sejarah Indonesia itu. (A TOMY TRINUGROHO)
Wednesday, 15 December 2010
Dokter Wajib Ikuti Praktik Lapangan
Saturday, 11 December 2010
Surat Bung Karno tanggal 8 Agustus 1949
Terima kasih pada: htpp//cahdjengkol.muliply.com/journal/item/B2
Friday, 10 December 2010
Dr AK Gani
Sebagaimana foto diatas, sebagai mahasiswa AK Gani pernah naksir Maria Ulfah. Rupanya mereka sempat pacaran tapi jodoh rupanya tidak pernah berlanjut. Selanjutnya sebagai dua sahabat berlangsung terus sampai akhir hayat. Ayah Maria Ulfah (Mochamad Achmad) adalah Bupati Kuningan saat itu. Bukan hal aneh kalau atas pengalaman Maria dan Gani, usul untuk perundingan Indonesia-Belanda dilakukan di Linggarjati sebuah tempat wisata di Kuningan Jawa Barat. Sebagai orang yang serba bisa, dan pandai ber bisnis, AK Gani pernah mendirikan Perusahaan Penerbangan Pioneer dengan logo Banteng bersayap. Rupanya Gani tetap setia pada partainya, Partai Nasionalis Indonesia.
Setelah Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948
Thursday, 9 December 2010
Sjahrir tiba di Kemayoran 18 Januri 1949
(Diambil dari buku Mengenang Sjahrir oleh Rosihan Anwar). Foto. Saat Sjahrir tiba di Kemayoran 18 Januari 1949. Tampak Lili, Koets dan Rosihan Anwar.
Tuesday, 7 December 2010
Pahlawan Nasional dari Papua J.A Dimara
Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon. Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935. Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah . Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih. Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya. Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.
Saturday, 4 December 2010
Inlander Dinilai
Oleh Rosihan Anwar
Saya baca tentang korupsi, kerja sama politik dan kapital demi kekuasaan, penyelewengan hukum, hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga resmi, dan kebobrokan lain.
Sebagai wartawan lepas, saya maklum sudah. Namun, kadang saya ingat aspek sejarah bangsa dan negeri ini yang jarang disinggung. Misalnya, penilaian wartawan Belanda mengenai Inlander, yakni Bumiputra atau pribumi di zaman kolonial. Langsung saja. Yang dimaksud ialah wartawan Willem Walraven (1887-1943) yang pada 15 Maret 1941 menulis kepada pengarang Rob Nieuwenhuys mengenai Inlanders. Sedikit riwayat hidup. Walraven berasal dari keluarga buruh miskin. Tahun 1915 teken kontrak masuk tentara KNIL. Ditempatkan di Cimahi. Berkenalan dengan perempuan Sunda, Itih, yang bekerja di warung kopi pamannya. Itih kemudian jadi istri Walraven yang pindah kerja sebagai asisten penata buku sebuah perusahaan minyak di Banyuwangi. Dia mulai menulis dalam Indische Courant. Setelah belasan tahun menulis di situ dipecat. Menganggur dan miskin. Dia punya enam putra dari Itih yang dididiknya sampai pandai berbahasa Belanda, membaca novel Pearl Buck, Szekely-Lulofs, dan lain-lain. Itih menurut suaminya ”mencurigai Blandas”. Di zaman Jepang, Walraven diinternir, masuk kamp Kesilir di Jawa Timur, dan meninggal di situ karena disentri, malaria, dan lelah fisik. Walraven adalah seorang otodidak dan sosialis. Dia menulis roman berjudul De Clan mengenai Itih istrinya.
Inlanders itu
Walraven bicara tentang Inlanders. Dia bilang Inlanders bukan orang demokratis, melainkan orang otokratis yang mau kuasa sendiri tanpa batas. Dalam batin dia orang angkuh, namun biasanya tidak ada arti. Dia membunuh atau bercerai karena hal remeh-temeh. Dia minta berhenti bekerja karena soal sepele. Kata Walraven, I have no patience with them ’saya tidak punya kesabaran dengan mereka’. Dia melanjutkan: saya berharap bagi mereka bahwa masih lama lagi suatu kekuasaan Barat memerintah di sini dalam semangat sebagaimana telah kita kerjakan di negeri ini selama 40 tahun belakangan ini. Saya berharap mereka untuk selama-lamanya bisa mempertahankan suatu sistem peradilan hukum Barat yang murni. Saya harap mereka dilindungi terhadap para diktator. Mereka menginginkan pemerintahan sendiri, nama negeri Indonesia dan menamakan diri mereka Indonesier. Semua itu sangat hampa. Terutama mereka bersikap bermusuhan dengan kita, sedangkan banyak di antara kita di sini sama sekali tidak punya hak istimewa atau lebih berbahagia daripada mereka.
Orang Indonesia
Orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis ’mementingkan serba kebendaan’, sama sekali bukan idealis ’hidup dengan cita-cita atau ideal’. Orang Indonesia bukan Marxis, bukan Sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang Borjuis, dan itulah alasan sederhana bagi saya mencurigainya secara mendalam sebagai keseluruhan, sebagai massa, demikian kata Walraven.
Borjuis kata bahasa Perancis, artinya anggota kelas yang berpunya, berlawanan dengan kaum buruh dan proletar. Borjuis itu banyak sedikitnya bersifat picik dan bersikap antisosial.
Gambaran lain diberikan oleh pengarang Wischer Hulst dalam bukunya berjudul Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici (1980): ”Seorang rohaniwan Belanda yang telah 30 tahun berdiam di Indonesia mengatakan kepada saya ’Ini adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia dilahirkan dengan naluri atau instinct politik, dan mereka mati dengan itu pula’.”
Membaca penilaian tadi mengenai orang Indonesia tidaklah perlu membuat pembaca zaman sekarang marah dan emosional. Semua itu toh sudah lewat dalam sejarah. Belanda yang pintar menganalisis, melukiskan tabiat orang Indonesia di zaman kolonial, toh sudah kalah perang. Belanda kehilangan tanah jajahannya. Akan tetapi, jikalau kita simak lagi dengan tenang penilaian wartawan Belanda Willem Walraven tadi, jikalau kita jujur berintrospeksi, kita akan mengakui bahwa sifat-sifat dan mentalitas yang tidak terpuji masih ada sisa-sisanya berlanjut hingga generasi Indonesia sekarang yang tak pernah mengenal serta mengalami penjajahan Belanda yang jahat secara subtil itu. Kemudian saya bertanya apakah kita akan dapat mengatasi korupsi, gaya hidup nafsi-nafsi, sikap peduli amat golongan si miskin asalkan gue senang, keadaan yang tak ketulungan lagi seperti kita lihat dan alami sekarang ini dengan sifat dan mentalitas yang dilukiskan dalam penilaian orang Belanda tadi. Saya terkadang bertanya kepada diri sendiri mungkinkah pengetahuan tentang sifat manusia atau mensenkennis yang dipunyai oleh Belanda dahulu terhadap Inlanders yang menyebabkan Belanda dengan sumber daya manusia sipil dan militer yang terbatas itu berhasil dapat menjajah bangsa dan negeri Inlanders dalam masa lama sekali? Sejarawan kita yang pintar-pintarlah yang bisa menjawabnya. Cukup sekian dari seorang wartawan lepas.
Rosihan Anwar Wartawan Lima Zaman
Thursday, 2 December 2010
Biro Perjuangan, dan TNI Bagian Masyarakat
Oleh Marwati Djoened Poesponegoro,Nugroho Notosusanto
Usaha golongan kiri untuk menguasai Angkatan Perang dilakukan bertahap sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, Usaha pertama ialah memanipulasi badan pendidikan tentara yang dibentuk oleh Markas Tertinggi TKR. Pembentukan badan pendidikan ini diusulkan oleh beberapa perwira dalam Rapat Besar TKR bulan November 1945. Usul tersebut disetujui olch pimpinan TKR dan sebagai realisasinya dibentuk suatu komisi yang bertugas monyusun garis-garis besar pendidikan tentara. Anggota komisi terdiri atas enam orang. Selain komisi dibentuk pula staf Badan Pendidikan Tentara, yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat. Ketua badan itu pada bulan Februari 1946 berhasil merumuskan lima bidang pendidikan bagi TRl, meliputi politik, agama, kejiwaan, sosial, dan pengetahuan umum. Anggota-anggota badan pendidikan itu kemudian diangkat sebagai perwira TRI. Sejalan dengan perkembangan TRI, pada bulan Mei 1946 diadakan reorganisasi dalam tubuh TRI dan Kementerian Pertahanan. Dalam pertemuan dengan pemimpin TRI dan pemimpin laskar-laskar pada tanggal 24 Mei 1946, Menteri Pertahanan berhasil mendesak keinginatuiya, sehingga Badan Pendidikan ini dialihkan dari Markas Tertinggi TKR ke Kementerian Pertahanan. Namanya diubah menjadi Staf Pendidikan Politik Tcntara (Pepolit), yang akan dipimpin oleh opsir-opir politik. Pada tanggai 30 Mei 1946, 55 opsir politik dilantik oleh Menteri Pertahanan. Sebagai pimpinan Pepolit, ditunjuk Sukuno Djojopratignjo dengan pangkat Letnan Jenderal Rumusan pendidikan yang semula dianggap masuk akal itu, sejak berubah menjadi Pepolit ternyata rnenimbulkan persoalan baru dalam tubuh TRI. Para opsir politik ditugasi untuk merapatkan hubungan tentara dan rakyat. Pada tiap-tiap divisi diperbantukan lima orang opsir politik yang berpangkat letnan kolonel, semuanya adalah anggota Pesindo, pendukung Amir Sjarifuddin. Pepolit tcrnyata dieksploitasi oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin untuk kepentingan politiknya sehingga tumbuh nienjadi semacam komisaris politik (komisar) seperti pada Angkatan Perang Uni Sovyet, yang berkedudukan sejajar dengan para komandan pasukan. Oleh karena itu, ditolak oleh sebagian panglima divisi dan para komandan pasukan, karena dianggap sebagai penyebar ideologi komunis. Kolonel Gatot Subroto, misalnya, mcnolak kehadiran opsir poiitik di lingkungan divisinya. Akibatnya adalah aktivitas Pepolit ini merosot di daeral-daerah. Scsuai dengan keputusan Panitia Besar Rcorganisasi Tentara, pada buian Mei 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk lembaga baru yaitu Biro Perjuangan dan dikukuhkannya Dewan Pcnasihat Pimpinan Tentara. Biro Perjuangan adalah badan pelaksana dari Kementerian Pertahanan yang bertugas menampung laskar-laskar yang semula didirikan oleh partai-partai politik. Dibentuknya Biro Perjuangan ini dilihat dari segi ketahanan nasional sesungguhnya sangat menguntungkan pemerintah. Laskar-laskar atau badan-badan pcrjuangan yang semula terpecah-pecah di dalam pelbagai kelompok ideologi dari "anak" partai poiitik, dapat disatukan dan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah akan memiliki potensi cadangan yang tangguh dan besar di samping tentara reguler. Diharapkan adanya pcmbagian tugas yang serasi dan harmonis antara tentara reguler dan Laskar-laskar rakyat sebagai partisan. Biro Perjuangan juga akan merupakan pusat cadangan nasional yang menyalurkan dan mengatur tugas cadangan di dalam rangka ketahanan nasional. Tugas cadangan tidak semata-mata untuk bertempur, tetapi merupakan tenaga yang aktif dan berperan di dalam masyarakat, seperti aktivitas menambah produksi. Namun, di dalam perkembangan selanjutnya Biro Perjuangan ini dijadikan arena adu kekuatan untuk menandingi tentara reguler. Menteri Pcrtahanan Amir Sjarifuddin berusaha keras mcnguasai biro ini untuk kepentingan politiknya. Pimpinan biro ini dipegang oleh kelompok yang seideologi dengan Amir Sjarifuddin, yaitu kelompok komunis. Mereka adaiah Djokosujono dan Ir. Sakirman sehagai kepala dan wakil kepalanya, yang masing-masing mendapat pangkat jenderal mayor. Biro ini kemudian mendapat peran yang kuat setelah Kabinet Sjahrir mendapat tantangan dari keiompok Persatuan Perjuangan terutama setelah terjadi penarikan atas diri Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pemerintah menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Organisasi Biro Perjuangan diperluas. Pada bulan September 1946 diberi wewenang untuk mengoordinasikan barisan cadangan. Pada bulan Oktober 1946 tugasnya ditambah dengan mengkoordinasikan Dewan Kelaskaran Seberang. Bahkan mereka mewakili resimen-resimen kelaskaran dan Polisi Tentara Laskar yang berdiri sendiri secara vertikal di bawah Biro Perjuangan, Fungsi cadangan sebagaimana vang dikehendaki tidak terlaksana, bahkan dengan adanya Biro perrjuangan ini seakan-akan terdapat dua macam tentara. Kelompok Amir yang memonopoli Biro Perjuangan ini memasukkan seluruh program dan konsepsi perjuangan partainya, sehingga biro ini lebih merupakan pendukung kekuatan politik Amir daripada suatu badan resmi pemerintah. Akibatnya, terdapat dualisme dalam bidang pertahanan nasional. Di satu pihak terdapat tentara reguler di bawah pimpinan Jenderal Soedirman dan di pihak lain Laskar-laskar yang secara de facto di bawah pimpinan tertinggi Menteri Pertahanan melalui Biro Perjuangan. Laskar-laskar mempunyai posisi dan tugas yang sama dengan TRI Perbedaannya hanyalah TRI adaiah milik nasional sedangkan Laskar-laskar adalah milik partai-partai politik. Keadaan semacam ini disadari oteh pemimpin nasional, yang kemudian menyatukan dua kekuatan itu menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada bulan Juni 1947. TNI dipimpin oleh sebuah badan yang disebut Pucuk Pimpinan TNI. Keanggotaannya bersifal kolektif. Dua orang di antaranya adaiah tokoh komunis, yaknt Ir. Sakirman dan Djokosujono. Dengan dcmikian, berakhirlah peran Biro Perjuangan. Akan tetapi, berakhirnya peran Biro Perjuangan ini tidaklah berarti berakhirnya usaha Amir Sjarifuddin untuk menghimpun kekuatannya, Sebagian Lasar-laskar yang berideologi komunis tidak man bergabung dcngart TNI sccara penuh, Mcreka ditampung dalam suatu wadah yang diberi naina TNI Bagian Masyarakat yang dibentuik pada bulan Agustus 1947. Pimpinan TNI Bagian Masyarakat adaiah Ir. Sakirman yang juga duduk dalam Pucuk Pimpinan TNI. Pada tanggal 26 Oktober 1947 TNII Bagian Masyarakat mengadakan konferesi. Wakil Perdana Mentcri Sctiadjit yang separtai dan sealiran dengan Amir Sjarifuddin menegaskan bahwa TNI Bagian Masyarakat adalah jembatan antara tentara dan rakyat dalam usaha mempersatukan tenaga dalam pertahanan serta memberikan pendidikan ideologi kepada tentara. Rupanya adanya struktur organisasi Pucuk Pimpman TNI yang bersitat kolektif dimanfaatkan oleh kelompok Amir Sjarifuddin, Dengan demikian, ia berhasil menghimpun kembali kekuatan di bawah naungan nama TNI, dengan konsepsi dan garis politik yang tetap. Kebijakan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin ini memancing perdebatan sengit dalam sidang BP KNIP tanggal 12 November 1947. Beberapa anggota KNIP menuduh bahaya pembentukan TNI Bagian Masyarakat ini terlalu politis, tidak sesuai dengan konsepsi pertahanan Rakyat Semesta. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Muda Pertahanan Arudji Kartawinata menyatakan adanya TNI Bagian Masyarakat dan Pepolit, nurupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip pertahanan yakni tentara harus mengenal poltik, agar mereka sadar membela kepetingan politik, jika pada suatu saat pertentangan politik memuncak berubah menjadi perang. Keterangan pemerinlah tersebut mendapat tantangan keras dari PNI dan Masyumi. PNI menyatakan TNI Bagian Masyarakat bukanlah tentara, melainkan organisasi politik karena hampir 100 %, pimpinannya berada di tangan Sayap Kiri. Diusulkan agar pimpinannya diubah dengan mengikut sertakan semua organisasi rakyat, sehingga tercipta suatu fighting democracy. PNI setuju di dalam prinsip, tetapi menolak monopoli kepemimpinan Sayap Kiri, Pihak Masyumi sama sckali menolak bentuk itu bahkan menganjurkan agar TNI Bagian Masyarakat dibubarkan. Pada hakikatnya TNI Bagian Masyarakat ini adalah Biro Perjuangan bentuk baru dan merupakan rangkaian usaha Amir Sjarifuddin untuk mempersenjatai kelompok organisasinya untuk tujuan jangka panjang serta mendapatkan biaya dari pemerintah, Anggota TNI Masyarakat pada masa Kabinet Amir telah mencapai jumlah 90.000 orang yang-dirasionalisasi pada waktu Kabinet Hatta.
Foto: Tampak Perdana Menteri Amir membelakangi lensa.