Saturday, 25 November 2006

Karel Frederik Holle

Karel Frederik Holle adalah salah satu dari orang muda Belanda yang mengadu nasib di Hindia. Dan perjuangannya merupakan contoh sebuah kesuksesan fisik maupun moral. Perjalanan hidupnya diawali kepindahan ayahnya, Pieter Holle ke Hindia. Pieter mengalami usaha pengolahan gulanya bangkrut. Karel saat itu berumur 14 th. Bersama keluarga Pieter, juga ikut keluarga istrinya yaitu Willem van der Hucht dan belakangan Jan Pieter van der Hucht. Mereka tiba di Batavia pada th 1845. Willem bekerja di perkebunan teh di Parakan Salak. Sedangkan Pieter Holle bekerja di perkebunan teh Bolang. Kedua tempat ini berada didaerah Bogor sekarang. Saat itu istri Pieter Holle sedang mengandung tua, maka supaya bisa saling membantu, mereka menetap sementara di Parakan. Pada waktu yang bersamaan orang-orang bule ini rupanya tidak tahan pada kondisi tropis dengan berbagai penyakit infeksi. Mula-mula istri dan ke tiga anak Willem sakit. Ketika dokter dari Bogor datang kerumah mereka, anak terkecil perempuan Willem tidak tertolong lagi. Dia meninggal dan dikuburkan di Parakan. Tidak lama kemudian istri Willem meninggal juga. Lebih menyedihkan lagi anaknya yang lain juga menyusul meninggal.Tapi bagi Karel, tokoh utama yang sedang kita ceritakan, kesedihan paling besar yang dirasakannya, adalah kematian ayahnya sendiri yang meninggal mendadak di Bolang. Jan Pieter van der Hucht yang menyusul belakangan dari Belanda, ternyata meninggal dunia juga tidak beberapa lama tinggal di Parakan. Dan sedihnya 2 anaknya juga menyusul meninggal. Pukul rata, setelah menetap selama 3 tahun di Hindia, keluarga besar ini telah mengalami kehilangan nyawa warganya, 3 orang dewasa dan 4 orang anak-anak. Mereka menerima tantangan ini dengan jiwa besar. Willem van der Hucht sartu-satunya lelaki dewasa, harus menanggung hidup 2 janda dan 16 orang anak-anak. Hubungan baik Willem dengan Gubernur Jenderal (GG), membantu Karel untuk mendapatkan pekerjaan setelah dewasa. Dia bekerja sebagai klerk dalam kantor GG di Bogor. Tapi rupanya pekerjaan itu kurang disenanginya. Atas bantuan iparnya, N.P van den Berg yang menjabat Direktur Utama Javase Bank, Karel membangun perkebunan teh sendiri di Garut yang diberinya nama “Waspada”. Usaha ini berjalan mulus dan berkembang. Perkebunan (Onderneming) ini merupakan perkebunan percontohan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lingkungannya. Salah satu methodenya untuk memberdayakan masyarakat adalah mengajarkan mereka membaca dan menulis. Maka sekolah didirikan atas beaya onderneming. Karel juga bersahabat dengan banyak tokoh. Antara lain dengan H.Moehamad Moesa. Dua orang yang berbeda bangsa ini bersahabat erat. Mungkin karena mempunyai cita2 yang sama. Ketertarikan Karel pada bahasa dan budaya Sunda, melibatkannya pada banyak penulisan tentang bidang itu pada banyak aspek. Salah satu penerbitannya tentang pertanian dalam bahasa Sunda bernama, “Mitra Noe Tani”. Karel juga tertarik pada pelajaran bahasa Arab. Kemampuannya begitu fasih, sehingga bisa mengaji. Apakah keseriusannya itu membuatnya masuk Islam ?. Tidak ada data tentang ini. Karel juga punya perhatian dalam penelitian Borobudur yang baru saja ditemukan kembali saat itu. Karena kemampuannya, Pemerintah mengangkat Karel sebagai penasihat Pemerintahan. Masa baktinya di Hindia, membuatnya dia dianugerahi bintang kehormatan “Officierskruis van de Orde van Oranya Nassau” pada tahun 1895. Onderneming Waspada tidak bisa dimilikinya terus. Dia bangkrut dan pindah ke Bogor pada tahun 1889. Karel Frederik Holle meninggal dunia tanggal 3 Mei 1896 dan dikuburkan disebelah ibunya dipekuburan Tanah Abang Batavia. Kemungkinan besar jalan Sabang Jakarta yang dahulu bernama Laan Holle, merupakan tempat tinggal ibunya dan sanak famili lain pada awal abad ke 20. (dari berbagai sumber)

Thursday, 23 November 2006

Pidato Men.Lu R.I. dalam acara peringatan 60 th Linggajati

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Selamat pagi dan Salam Sejahtera.
Yang saya hormati Bapak Wakil Gubernur Jawa Barat. Bapak Nukman A.Hakim
Yang saya hormati Bapak H.Aang Hamid Suganda, Bupati Kuningan dan Ibu
Serta seluruh Muspida Kabupaten Kuningan
Yang saya hormati yang mulia Duta Besar Nikolaos van Dam Duta Besar Kerajaan Belanda. Untuk Indonesia.
Yang saya hormati Bapak Duta Besar Nana Sutrisna. Utusan khusus Presiden Republik Indonesia.
Yang saya hormati Bapak Rosihan Anwar. Sesepuh dan saksi sejarah dari perundingan Linggajati. Beliau adalah staf yang diperbantukan pada Lord Killearn.
Bapak-bapak Ibu-ibu hadirin yang saya muliakan.
Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhana Huwataala. Yang telah memungkinkan kita berkumpul pada pagi ini. Dalam acara peringatan peristiwa bersejarah perundingan Linggajati yang berlangsung ditempat ini 60 tahun yang lalu.
Bagi saya pribadi ini merupakan kunjungan yang kedua ke Musium Linggajati. Pertama kali saya lakukan pada awal atau pada masa saya memulai karir saya di Departemen Luar negeri. Saya ikut bergembira dalam kunjungan kali ini, dengan kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan, saya ikut dalam acara mengangkat kembali dan mengingat peristiwa Perundingan Linggajati sebagai bagian dari sejarah perjuangan Republik Indonesia.
Ketika para pendiri Republik Indonesia memproklamasikan pada tanggal 17 Agustus tahun 45. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu adalah awal dari suatu perjuangan yang tidak ringan.dan tidak mudah dalam upaya menegakkan Negara Kesatuan yang diproklamirkan tersebut.
Ada dua cara dalam menegakkan kemerdekaan. Yang pertama adalah perjuangan bersenjata, atau fisik Yang kedua adalah diplomasi. Maka kita saksikan antara periode setelah kemerdekaan itu diproklamirkan sampai dengan 17 Agustus 1950, selama 5 tahun kita padukan dua cara tadi. Physical struggle atau perjuangan fisik dan perjuangan diplomasi. Untuk kita mencapai tujuan kita Negara Republik Indonesia yang tidak hanya kita proklamirkan, tapi mendapat pengakuan dunia.
Ada 3 tonggak penting dalam perjalanan perjuangan diplomasi kita. Kearah pengakuan tidak hanya dari kerajaan Belanda tapi dari negara-negara dan masyarakat Internasional. Yang pertama adalah perundingan Linggajati, yang diadakan antara 11 sampai dengan 14 November. Kita teringat kembali pelaku-pelaku utama dari perundingan tersebut. Sutan Sjahrir, Profesor Schermerhorn dan Lord Killearn. Saya menyebutkan tadi bahwa Bapak Rosihan Anwar adalah staf yang diperbantukan pada Lord Killearn yang menjadi saksi sejarah. Tonggak diplomasi lain dalam proses perundingan adalah perundingan Renville yang diadakan pada tanggal 17 Januari tahun 48, dikapal Amerika Serikat USS Renville yang berlabuh dipelabuhan Tanjung Priok. Dan yang ketiga adalah perundingan Meja Bundar. Atau Round Table Conference yang diselenggarakan di kota Denhaag Negeri Belanda, yang berujung pada perjanjian Meja Bundar yang ditanda tangani pada tanggal 27 Desember tahun 49. Dari ketiga tonggak proses prundingan tersebut, yang kita miliki secara fisik, baik tempat maupun gedungnya hanya yang Linggajati ini. Yang dua lainnya tadi yang satu kapal asing kapal Amerika Serita dan ketiga Denhaag Negeri Belanda.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarahnya. Telah saya katakana tadi, sejarah perjuangan diplomasi kita bukanlah perjuangan yang mudah. Saya katakan kepada Duta Besar Belanda pada perjalanan kereta api dari Jakarta ke Cirebon. Dalam 3 jam lamanya berbincang tentang sejarah masa lalu Indonesia-Negeri Belanda. Saya katakana yang kita lawan waktu itu bukalah hanya Negeri Belanda. Bahkan tatanan internasional yang memang waktu itu tidak mengakui bangsa terjajah sebagai hak. Padahal bagi kita seperti tercantum dalam kalimat pertama pembukaan undang-undang dasar tahun 1945. Jelas dikatakan, kemerdekaan ialah hak segala bangsa oleh karena itu penjajahan diatas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri keadilan dan peri kemanusiaan. Tapi piagam PBB yang lahir hampir bersamaan pada akhir perang dunia ke II belum megakui hak bangsa terjajah. Oleh karena itu kita bukan hanya melawan Belanda tapi melawan system Internasional yang memang tidak mengakui apa yang para pemimpin kita dan rakyat kita meyakini hak kita untuk merdeka. Ini perjuangan yang tidak mudah saya katakana tadi. Karena itu dengan kombinasi kekuatan perjuangan fisik dengan perjuangan diplomasi selama 5 tahun periode perang kemerdekaan atau upaya menegakkan kemerdekaan, baru kita raih secara penuh apa yang dideklarasikan atau dinyatakan didalam Proklamasi 17 Agustus 45. Indonesia negara yang merdeka dan berdaulat. Negara yang mempunyai wilayah yang meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda.
Sedikit mengenai Perjanjian Linggajati itu sendiri. Dalam perjanjian Linggajati, jelas diakui eksistensi Negara Republik Indonesia. Dan untuk itu, untuk pertama kali negara yang baru dilahirkan duduk bersama dalam satu meja perundingan, sama rendah, sama tinggi dengan pemerintah Kerajaan Belanda. Tetapi perundingan dengan tidak dilakukan dalam kedudukan kedua pihak yang sama kuat. Karena itu kita lihat dalam perjanjian Linggajati, memang oleh pemerintah Belanda diakui Republik Indonesia tapi terbatas kepada secara defakto, Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Sementara bagian-bagian lain Indonesia yang kita kenal sekarang dalam berbagai propisni lainnya akan membentuk Negara Indonesia Timur yang nanti merupakan bagian dari Negara Indonesia Serikat.
Kita lihat dari konsepsi dari negara kesatuan yang dianut dalam UUD 45 yang perancangannya dilakukan di Pejambon 6. Yang disebut sekarang gedung Pancasila dalam lingkungan Kompleks Departemen Luar Negeri. Dibayangkan disepakati wilayah Republik Indonesia yang meliputi seluruh bekas Hindia Belanda. Tapi dalam Linggajati yang diakui adalah Jawa, Madura dan Sumatera. Dan dalam kaitan perjalanan sejarah ini, kita lihat terjadi perdebatan yang tidak ringan diatara kita. Mereka yang aktif dalam perjuangan fisik, mengecam persetujuan ini sebagai kapitulasi, kita menyerah pada tuntutan Belanda. Tapi kita melihat dalam sejarah dalam 5 tahun yang berwujud pada konperensi meja bundar, dimana jelas sekali serah terima kekuasaan, Transfer of Power, authority or souverenity. Dari kerajaan Belanda ke Indonesia. Tetapi yang kita terima adalah, yang kita sepakati waktu itu adalah Republik Indonesia Serikat. Konsep negara federal, dan bukan negara kesatuan yang dimaksud dalam UUD tahun 45. Jadi dapat kita bayangkan fase diplomasi kita yang zik-zak. Sedikitnya sebagai taktik. Memperoleh tidak hanya pengakuan dari Negeri Belanda Indonesia yang meliputi seluruh bekas Hindia Belanda, tapi juga yang diakui oleh masyarakat Internasional. Proses ini berahir dengan pernyataan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus tahun 1950. Yang mengembalikan Negara Indonesia dari tadi yang sebagian-sebagian wilayahnya dalam konsep negara Indonesia serikat, negara federal, kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam negara kesatuan kembali tahun 50 Indonesia untuk pertama kali diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-bangsa.
Ini sejarah singkat saja. Tapi saya katakana sejarah bukan sesuatu yang suka atau kita tidak suka. Tapi fakta yang penting dalam proses dan masa waktu yang begitu bersejarah sangat menentukan bagi keberlangsungan dan eksistensi Republik Indonesia. Karena itu saya menyambut baik pemikiran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan untuk melakukan upaya yang menyelamatkan dan memelihara tempat gedung bersejarah ini. Saya katakana tadi asas diplomasi yang telah dimulai tonggaknya dari sini. Kalau Bapak Bupati dan Gubernur Jawa Barat mungkin ini sebagai tonggak perjuangan kemerdekaan Bangsa, saya mengklaim inilah tonggak penting, saksi pentinga dari Sejarah Diplomasi Indonesia.
Seperti halnya dengan kerja sama erat Pemerintah Jawa Barat, kita juga melanggengkan peristiwa bersejarah Konperensi Asia-Afrika April tahun 1955. Baru pada tahun 2005, April yang lalu, kiita memperingati yang kelima puluh. Dan meningkatkan musium Asia Afrika dalam bentuk dan penataan yang lebih baik. Karena itu kami juga dari Departemen Luar Negeri dengan senang hati kami bekerja sama dengan Bapak Bupati, bagaimana kalau kita lestarikan, kita sempurnakan dan menjadikan gedung perundingan Linggajati ini sebagai gedung bersejarah kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, tidak hanya dilingkungan pemugaran secara fisik, tapi juga melengkapi dengan peragaan-peragaan, foto-foto. Dan untuk itu saya telah berbicara dengan yang mulia duta besar Nikolaus van Dam, untuk kita bersama-sama, melestarikan gedung atau tempat beresejarah, sebab adalah kepentingan kedua bangsa. Kita boleh suka atau tidak, tetapi sebagai suatu bangsa yang besar yang patut menghargai sejarah kita, kita melakukan upaya upaya.
Seperti dikatahui saya dan menteri luar negeri Berdard Bot dari Negari Belanda, sedang merancang. Mudah-mudahan pada akhir tahun ini dapat kita tanda tangani suatu deklarasi tentang kemitraan konprehensip. Koprehensif Partnership antara Indonesia dan Belanda. Saya sudah pesan pada Duta Besar van Dam, bahwa salah satu dari berbagai sisi kerja sama kita adalah preservasi gedung tempat bersejarah. Sebab kita memerlukan dari Belanda tidak kurang foto-foto, dokumen-dokmen yang sering kali tidak banyak kita miliki. Kita bisa display, kita bisa peragakan digedung ini sehingga setiap pengunjung belajar dengan begitu menghargai sejarah masa lalu kita.
Fakta bahwa 60 tahun kemudian kita mampu mendiskusikan bahkan dengan pihak Belanda termasuk saya dengan duta besar van Dam dengan kepala dingin sejarah masa lalu kita itu. Sesungguhnya mencerminkan penataan kita sebagai bangsa, Belanda sebagai bangsa. Lalu pada masa khusus tahun lalu, menteri luar negari Belanda atas nama pemerintah kerajaan Belanda atas pertimbangan moral dan politik, mengakui untuk pertama kali kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus tahun 45.
Ini menyangkut penting yang membuka peluang bagi kita bekerja sama. Memasuki sedang merancang suatu kerja sama kemitraan konprehensip. Jadi betapa kita merenungkan kesalahan masing masing.Ya kita pernah menjadi lawan, tapi tidak meningkari pada waktunya kita menjadi kawan dan bekerja sama secara saling menguntungkan.
Sekali lagi saya ingin menyampaikan ucapan selamat pada Bapak Bupati dan penghargaan saya atas upaya-upaya mulia yang Bapak lakukan dengan dukungan seluruh muspida dan warga Kabupeten Kuningan. Kami dari pemerintah pusat akan melakukan apa yang kami bisa untuk ikut mewujudkan cita-cita Bapak
Demikian atas perhatian, saya ucapkan terima kasih. Wabillahi Taufik Walhidayah , Wasalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Transcript oleh Rushdy Hoesein.

Sunday, 12 November 2006

Linggajati, Bukti Keberhasilan Diplomasi

Proses diplomasi yang berlangsung di Linggajati beberapa puluh tahun lalu merupakan hal yang tidak mudah diraih. Oleh karena itu, Gedung Perundingan Linggajati adalah saksi penting dari sejarah diplomasi Indonesia sehingga harus dilestarikan dan disempurnakan sebagai tempat peninggalan bersejarah,."Saya telah bicara dengan Dubes Kerajaan Belanda dan sepakat agar bisa bersama-sama melestarikan gedung bersejarah ini untuk kepentingan kedua negara," kata Menlu Dr. Hassan Wirajuda pada acara peringatan 60 tahun Perundingan Linggajati di kompleks Gedung Naskah Linggajati, Kuningan, Sabtu (11/11).Hadir antara lain Dubes Belanda, Nikolas van Dam, keluarga van Os di antaranya Joty, Cora dan Willem A.A. van Os. Utusan khusus Presiden RI Nana S. Sutresna, S.R. Parvati Syahrir (putri bungsu mendiang Sutan Syahrir), Prof. Dr. H. Rosihan Anwar (saksi hidup perundingan Linggajati yang pada saat itu diperbantukan sebagai staf diplomat senior Inggris Lord Killearn), Wagub Jabar H. Nu'man Abdul Hakim, Kepala Bakorwil Cirebon Tb. Hisni, Bupati Kuningan H. Aang Hamid Suganda beserta undangan lainnya.Menurut Hassan, sebagai museum yang mencerminkan proses sejarah penting dari Republik Indonesia, dirinya sangat menghargai upaya Pemkab Kuningan dengan Pemprov Jabar, Departemen Pariwisata dan Kebudayaan serta Deplu. Ia sepakat untuk bekerja sama untuk menyempurnakan museum Perundingan Linggajati agar menjadi museum yang memadai sebagai pusat sejarah.Hassan mengatakan, apabila Bupati Kuningan dan Wagub Jabar mengklaim Linggajati sebagai tonggak perjuangan kemerdekaan bangsa, dirinya menyatakan Linggajati merupakan saksi penting dari sejarah diplomasi Indonesia yang harus tetap dilestarikan serta dilengkapi sarana dan prasarananya. Diakui telah bekerja sama dengan pemerintah Belanda untuk melengkapi berbagai dokumen penting, termasuk kelengkapan untuk memperagakan display proses perundingan sehingga pengunjung bisa menyaksikan perjalanan sejarah 60 tahun silam. Lebih lanjut Hassan mengatakan, saat ini hubungan bilateral pemerintahan Indonesia dan Belanda sudah berada dalam tahap kematangan sehingga pengalaman masa lalu yang menyakitkan tidak lagi mengganggu hubungan kedua negara. Kebesaran hati masing-masing negara, telah memulihkan hubungan dari semula seteru kini menjadi sahabat.Terkait Peringatan 60 Tahun Perundingan Linggajati, lanjut Hassan, kedua negara sepakat untuk terus meningkatkan kerja sama melalui kegiatan kemitraan komprehensif. Salah satunya adalah pemugaran sejumlah bangunan bersejarah di Linggajati, di antaranya Gedung Perundingan Linggajati dan Gedung Sjahrir. Selain itu, kata Hassan, perundingan Linggajati punya arti sangat penting, yakni diakuinya Indonesia oleh komunitas internasional sebagai negara yang merdeka. Sebelumnya, hanya AS dan Australia yang mengakui kemerdekaan Indonesia. "Sudah jelas, sejarah perjuangan diplomasi Indonesia bukanlah perjuangan yang mudah, karena yang dilawan pada masa itu bukan hanya negeri Belanda, bahkan tatanan internasional yang waktu itu tidak mengakui kemerdekaan RI sebagai hak kita," kata Hassan.Di sisi lain, kata Hassan, piagam PBB yang lahir hampir bersamaan, pada akhir Perang Dunia Kedua belum mengakui bangsa terjajah untuk merdeka. Setidaknya, PBB baru mengakui hak dari bangsa-bangsa terjajah untuk menentukan nasibnya sendiri pada tahun 1960 melalui Resolusi PBB Nomor 1514/1960. "Karena itu kita tidak melawan Belanda, namun melawan sistem internasional yang memang tidak mengakui apa yang diyakini pemimpin dan rakyat kita bahwa, hak kita untuk merdeka. Jadi, kita ini masih harus terus berjuang selama 15 tahun sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 agar kemerdekaan kita diakui oleh dunia internasional," ujar Hassan.Hassan juga menyebutkan, dengan kombinasi perjuangan fisik dan diplomasi selama lima tahun periode Perang Kemerdekaan atau upaya menegakkan kemerdekaan, baru diraih apa yang seperti diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Hal senada diungkapkan pula Wakil Gubernur Jabar, Nu'man Abdul Hakim. Dia mengatakan, perundingan Linggajati punya arti penting dalam perjuangan bangsa Indonesia demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Perundingan Linggajati, kata Nu'man, memberikan contoh bagi kita bahwa konflik bisa diatasi melalui negosiasi bukan dengan kekerasan fisik. Dia pun berharap bisa mewujudkan kampung Asia-Afrika di Linggajati selain di Bandung. "Saat peringatan KAA ke-50 di Bandung tahun lalu, ada rencana membangun kampung Asia-Afrika di Bandung. Rencana yang sama pun ingin saya terapkan di Kuningan," kata Nu'man.Pada kesempatan tersebut undangan juga disuguhi sejumlah kesenian daerah Kuningan dengan kolaborasi angklung, kecapi, suling, rampak gendang dan genjring. Menlu disertai Dubes Kerajaan Belanda Nikolas van Dam, Wagub Jabar, keluarga van Os dan undangan lainnya melakukan peninjauan ke Museum Gedung Linggajati. Masih dalam rangkaian peringatan Perundingan Linggajati, diselenggarakan pula Seminar Nasional Diplomasi dalam Perjuangan Bangsa dengan tema "Reaksentuasi Kekuatan Diplomasi, Sebuah Refleksi Perundingan Linggajati" di Hotel Grage Sangkan. Para pembicara Menlu RI Dr. Hassan Wirajuda, Dr. (HC) H. Rosihan Anwar, Prof. Dr. Anhar Gonggong, Prof. Dr. Leirissa dan Nana S. Sutresna. Sementara di kompleks Gedung Perundingan Linggajati berlangsung kegiatan napak tilas prosesi Perundingan Linggajati. (Pikiran Rakyat)***

Tuesday, 7 November 2006

Bioskop Jakarta yang akan dan sudah digusur



Mencermati Megaria yang akan digusur (?)Kita pantas terkenang masa lalu. Megaria dahulu bernama Metropole. Merupakan biskop diperuntukkan bagi golongan elite yang tinggal didaerah Menteng dan sekitar. Didirikan pada tahun 1949, dan terletak diarea cukup luas dipertigaan jalan Diponegoro dan Pegangsaan Jakarta pusat. Masih terbayang bagi generasi yang kini berumur 50 tahun keatas, kemegahan masa lalunya. Kita bisa nyaman berkunjung untuk pertunjukan jam 16.00, 19.00 dan 21.00. Bagi pengendara mobil pribadi, bisa memarkir mobilnya tanpa khawatir dijawab “parkir penuh”. Sebelum jam pertunjukan para calon penonton, dapat jalan2 melihat-lihat etalase toko2 dibawah. Dan bagi yang mau makan, diteras atas ada restoran. Restoran ayam bakar dibelakang rasanya baru ada pada tahun 70-an. Dibelakang situ masa lalu, masih dipakai parkir motor dan sepeda. Beli karcis bisa pada dua loket disebelah depan kiri dan kanan tangga. Tangga pintu masuk juga ada dua. Didepan dan samping kiri. Sesudah karcis disobek, penonton kelas loge dan balcon, langsung masuk pintu utama. Bagi penonton stales, lewat lorong samping. Lorong ini juga dipakai untuk pergi ketoilet. Dan kalau bioskop bubar, penonton keluar lewat samping kanan atau belakang. Ketika model teater 21, tentu saja kenyamanan masa lalu berubah. Kesan luasnya ruang bioskop ketika berdiri dipintu loge, juga tidak bisa dinikmati lagi. Bioskop bagi kelas menengah yang sudah tiada, adalah “Rex” dibilangan kramat bunder. Letaknya tidak beberapa jauh dari pintu kereta api Senen. Dahulu bioskop ini terhitung ramai dikunjungi, karena terletak dekat pusat perbelanjaan, hiburan dan lokalisasi pelacuran. Alhasil bertetangga dengan “Planet Senen”. Agak ke barat, dijalan Keramat Raya, kini masih berdiri tegak bisokop Keramat. Dahulu bernama “Grand”. Seperti Rex, Grand ramai dikunjungi penonton karena dicapainya mudah. Kalau kita naik opelet atau trem listrik, cukup stop dihalte dan jalan sedikit. Sebelum pertunjukkan, calon penonton bisa nyebrang jalan dan minum ice cream “Baltic atau Artic”. Restoran Baltic masih ada sekarang meskipun bentuknya mini. Keramat Raya 30-40 tahun yang lalu masih lengang. Paling-paling diramaikan oleh sepeda,beca dan Delman. Rasanya memang masalah bioskop Jakarta saat ini “miskin penonton

Pahlawan 10 November 1945 yang gugur di Ceram

Ketika sedang mencari buku diperpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, secara tidak sengaja saya menemukan buku “Koleksi Soe Hok Gie”. Siapa yang tidak kenal orang ini. Seorang sejarawan Fakultas Satra UI. Bahkan cerita dirinya difilmkan berjudul “Gie”. Saya langsung meminjam karena yakin buku ini ada apa-apanya. Judul buku “Sedjarah Bataljon Y”. Mula2 saya berpikir, mengapa Hok Gie mengkoleksi buku ini ?. Bukankah dia tendensius anti bentuk2 kemiliteran dan juga anti kekerasan. Ternyata dugaan saya tak salah. Buku ini antara lain mengkisahkan seorang pahlawan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dia adalah Mayor Abdullah yang gugur pada tgl 25 September 1950 dalam pendaratan di Negeri Angus Ceram Timur. Saat itu jabatannya komandan batalyon XVII Divisi Brawijaya. Dan keberadaannya dalam medan pertempuran, dalam rangka penumpasan pemberontakan RMS. Sebelum tahun 1945, pekerjaan Abdullah yang asal Gorontalo itu adalah sebagai “Tukang Beca”. Dirinya butah huruf sampai tahun 1947. Dan baru bisa membaca tulis atas bantuan istrinya. Tapi sebagai orang Auto Didact, Abdullah berhasil mencapai karirnya yang cukup tinggi yaitu komandan batalyon. Dalam peristiwa pertempuran Surabaya 1945, Abdullah bersama arek2 Surabaya lainnya, bertempur melawan serdadu asing. Saat itu mula2 bergabung dengan BKR Laut, kemudian menjadi TKR laut (belakangan TLRI) yang merupakan pasukan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Pangkalan VII yang bermarkas didaerah Tanggulangin. Pada tahun 1946, Abdullah memimpin pasukan yang diberi nama “Bajak Laut”. Pasukan ini mampu bertahan disebelah utara Sidoarjo. Dalam pertempuran disekitar Buduran-Sruni, Abdullah mampu memperlihatkan kecakapannya dan keberaniannya. Karena kemampuannya memimpin pasukan itulah pada April 1947, dia di-serahi memimpin barisan “Pelopor” dengan pangkat Kapten. Ketika TLRI direorganisir pada Maret 1948, Barisan Pelopor berubah menjadi “Depot Batalyon”. Markasnya juga pindah kesekitar Lawang. Sebagai komandan Abdullah naik pangkat menjadi Mayor. Berdasarkan dekrit wakil Presiden, September 1948, TLRI dilebur menjadi TNI. Dan Depot Batalyon, menjadi Batalyon XVII, Brigade I Divisi Brawijaya dibawah Kolonel Sungkono. Perlu diketahui, ketika berlangsung perundingan Linggajati Kapten Abdullah adalah pimpinan pasukan TLRI yang bertugas didaerah Kuningan.