Monday, 24 December 2007
Buku Long March SILIWANGI
Limapuluh sembilan tahun yang lalu terlukis saat bersejarah bagi Republik Indonesia dan bagi Divisi Siliwangi, walau harus diakui dan disadari bahwa kedua peristiwa itu sebenarnya masih terdapat dalam satu bingkai perjuangan menegakkan negara Indonesia. Bagi Republik Indonesia yang muda peristiwa penerjunan para Belanda di lapangan Terbang Maguwo, sambil menewaskan tidak kurang dari 60 orang satria muda, merupakan catatan hitam dalam lembar perjuangannya. Catatan hitam karena dadakan aib pihak Belanda telah mencoreng upaya perundingan diplomatik, yang masih dalam fase penyelesaian, antara kedua negara yang bersengketa. Aib atau tidak, adalah hal yang subyek pada penilaian dalam suatu persengketaan yang melibatkan prinsip hidup dan manusiawi masing-masing, Indonesia harus membebaskan diri dari belenggu penjajahan, suatu pekik perjuangan hidup yang tidak dapat ditawar lagi demi masa depan. Sedangkan Belanda, yang sudah merasakan nikmatnya mempunyai koloni subur-makmur enggan mundur. Bahkan kata bersayap kaum konservatif di Belanda selalu mendengungkan ketakutan “Indie verloren ramspoed geboren” (kehilangan Indie, yakni Indonesia, terjadilah malapetaka).Entah karena tujuan idiil atau karena arogansi dan kekurangpahaman sejarah Belanda mempertahanakan pendapatnya itu dan mempunyai konsiderans dengan latar belakang abad sebelumnya menuntun tindakannya ingin menguasai kembali Indonesia .Dari negara yang terjajah (oleh Jerman) dua tahun sebelumnya kembali ingin mengetrapkan penjajahan koloninya yang lama dan yang telah berubah karena siraman nasionalisme.
Pada tanggal 18 Desember 1948 jam 23:55 wakil Indonesia di “Batavia” (walau sebenarnya sudah semenjak April 1942 oleh Pemerintahan Balatentara Dai Nippon nama itu diganti menjadi Jakarta—suatu tindakan Jepang untuk menarik hati rakyat) Bapak Yusuf Ronodipuro diberitahu oleh pihak Belanda tentang pembatalan (sepihak) perundingan diplomatik Indonesia-Belanda. Pembatalan itu adalah tanda awal serangan Belanda menuju ke jantung Indonesia (Yogyakarta) pusat spirit perjuangan dan Pemerintahan Republik Indonesia. Pada lewat tengah malam,beberapa menit setelah pembatalan perundingan, KST (Korps Speciale Troepen—dulu dibawah Kapten Westerling) sudah meramaikan Lapangan terbang Andir untuk siap diterjunkan ke Yogyakarta. Panglima tentara kerajaan Belanda, Jendral Simon Spoor sudah hadir disana dengan keinginan keras untuk terjun ke Yogya. Hanya nasihat Wakil Tinggi Mahkota Beel, yang mengundurkan niatannya terjun tetapi dia tetap ikut dalam sorti subuh menuju ke Yogya serta ikut berputar-putar dengan berakhir mendarat di Lapangan Kalibanteng, Semarang. Dari sana dia memonitor gerakan besar tentaranya, yang terdiri dari satuan KL maupun KNIL dan mengawasi pembentukan jembatan-udara Semarang-Yogya. Kita menamakan serangan Yogya itu, sebagai wajarnya, Perang Kolonial II, atau Perang Kemerdekaan II—yang akirnya membawa keluruhan Belanda setelah melalui jalan panjang politik. Namun sampai saat ini pihak Belanda masih sering menyebut aksi tersebut sebagai aksi polisionil suatu terminologi perolehan dari diplomat Belanda van Kleffens. Nama euphimistik itu disembulkan tidak lain untuk mengelabui dunia agar tampak seolah Belanda sedang menghadapi persoalan dalam-negeri mengejar “bandit” dan “teroris”. Padahal yang mereka hadapi adalah pejuang-sadar untuk merebut kemerdekaan bagi bangsanya. Orang seperti Poncke Princen sudah jauh hari mengetahui nilai perjuangan orang republik berkat pergaulannya dengan “seniman Senen”,yang menubuhkan kesan bahwa perjuangan itu adalah perjuangan-sadar dan terarah kaum terpelajar, tidak hanya oleh massa. Dalam bukunya ”een kwestie van keuze(2002)” dia menyatakan bahwa dia tak tahan melihat konservatisme sebagian bangsanya dan, karena itu, dia menyeberang kepihak Indonesia, bergabung dengan Batalion Kemal Idris di Pati pada bulan November 1948). Dia ikut long March Siliwangi ke Jawa barat. Dalam perjalanan bersama dengan tentara dan keluarga Siliwangi itulah dia memperoleh kepercayaan yang makin tebal bahwa perang kemerdekaan kita dimotori oleh idealisme kejiwaan yang kokoh, bukan sekedar berperang mengusir orang kulit putih.
Walaupun orang menggenggam diktum-adi bahwa perang adalah kepanjangan tangan diplomasi, tetapi perundingan berkepanjangan dapat melelahkan dan mengendurkan syaraf rasional serta menutup mata dan hati nurani melihat opsi yang mungkin lebih konstruktif. Nasionalisme Indonesia yang telah terkembang semenjak tahun 1928 sudah tidak dapat menunggu lagi untuk membebaskan negaranya dari belenggu penjajahan. Karena itu pemilihan untuk memproklamasikan negara nya menjadi merdeka hanya merupakan akibat logis dari rasionalitas itu, dan juga tidak bertentangan dengan semangat Atlanctic Charter yang mendorong tumbuhnya negara merdeka bebas dari penghisapan bangsa lain. Itu adalah alasan kemanusiaan, kebangsaan Indonesia yang dalam waktu singkat mengecambah menyembul ke permukaan arena politik dunia . Divisi Siliwangi yang merupakan subset penting dan aset herharga bangsa ini mempunyai cita-cita yang didukung keluhuran nilai, serta ketaatazasan prajurit bersedia mengikuti amanat Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia dan Panglima Siliwangi yakni—teruskan perjuangan dan kembali ke wilayah gerilya di Jawa Barat (tanggal 19 Desember 1948). Jawa Barat telah mereka tinggalkan 1 tahun sebelumnya, meninggalkan kantong-kantong perjuangan dan gerilyanya. Perjalanan patuh meninggalkan palung perjuangannya itu adalah hijrahnya sebuah Divisi—suatu entitas besar yang di kerjakan dengan seksama dan dengan ketaatan. Dapatkah kita membayangkan, sebagai restropek, apa yang akan terjadi dengan muka Republik Indonesia jika Divisi tangguh itu menolak perintah untuk dihijrahkan? Bukankah itu merupakan tamparan muka bagi negara?. Mereka tentunya akan diterima dengan tangan terbuka serta memperoleh tempat nyaman yang tersediakan oleh golongan yang membelai gagasan separatisme untuk mengoyak tubuh republik muda. Beruntunglah kita, bangsa Indonesia, Divisi tangguh itu mendahulukan dan mengedepankan kepentingan yg lebih besar dari bangsanya, menapis kepentingan dirinya sesaat. Ini harus dicatat di dalam jurnal perjuangan Republik Indonesia, sebagai tindak ksatria yang mendahulukan kepentingan bersama, setia kepada pekik perjuangan bersama.
Tatkala Negaranya hendak ditelikung, dan kedaulatannya hendak dihempaskan sekali lagi divisi ini memperlihatkan kepatuhannya kepada perintah dan siasat perang, dengan mengikuti pola Wingate berjalan menuju ke basis gerilyanya, berjalan tanpa logisitk memadai atau tidak sama sekali, sejauh rata-rata 450 kilometer melewati ngarai, lembah, gunung dan intaian serta jebakan musuh setiap saat. Kita harus mewadahi alur pikiran kita untuk mengerti dan merasakan betapa sulitnya perjalanan jauh itu , dengan keikut sertaan keluarga pejuang, tua dan muda, tanpa mengetahui sediaan makanan atau sarana kesehatan yang tersedia didepannya. Heroik sekali.
Buku yang ditulis oleh Himawan Sutanto mengulas dengan detail perjalanan panjang melalui ruang dan waktu ( 2 bulanan) hampir seluruh komponen yang kembali dari diaspora, mengikuti perjalanan pulang kewilayah yang terjanjikan—bukan the land of milk and honey, tetapi sebuah tanah air miliknya yang merdeka. Dan dinukilkan dengan hidup kesulitan yang dialami beberapa kesatuan setelah tiba diwlilayahnya sendiri: Mereka sering harus menghadapi dua buah front. Yang satu sudah jelas front ciptaan Belanda yang ingin memerintah kembali Jawadwipa, bahkan Indonesia. Tantangan dan garis batas itu mereka terjang secara berani, taat azas dan, yang penting, dengan perhitungan perang. Tetapi, sayangnya, ada front lain berujud garis sengketa dan pertempuran ciptaan bangsanya sendiri (DI/TII) yang ingin mendirikan kekuasaan atas dasar falsafah sektoral. Peracunan, penelikungan, serangan fajar, dan pembiusan dilaksanakan oleh bangsa sendiri terhadap satuan TNI, demi memperoleh kesenjataan Siliwangi dan demi peluruhan semangat Republiken yang prima. Disini kami boleh mencatat kegigihan Siliwangi, seiring dengan pengorbanan besarnya,untuk tetap mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Kita mencatat peristiwa-peristiwa yang dapat mematahkan semangat dan hanya bisa ditanggulangi dengan serat otak yang membaja Mengenaskan karena Divisi Siliwangi; satu tahun sebelumnya di daerah hijrah sering memperoleh hinaan atau cemohan sebagai “SLW” (bulan akronim Siliwangi, tetapi Stoot Leger Wilhelmina, tentara penyerang Wilhemina ratu Belanda di kala itu). Persenjataan lengkap, ditambah disiplin tinggi dengan seragam yang relatif baik membuat ikon menjadi lebih menonjol– tentu saja bagi mereka yang iri dan tidak tahu betapa pedihnya hati prajurit.—yang terpaksa pergi meninggalkan daerah perjuangannya bukan karena kalah perang tetapi karena strategi militer dan politik menghendakinya. Itulah manifestasi kepatuhan perjuangan. Di atas semua itu, seperti yang penulis saksikan, beberapa perwira Siliwangi, karena pendidikan di Bandung, fasih mempergunakan bahasa “musuh”, Belanda, dan terdiri dari beberapa suku yang telah menyatu dalam ikatan jiwa republiken. Itu semua dipergunakan oleh penentang keberadaanya sebagai “petunjuk” keberadaan “SLW”. Kita beruntung bahwa kepedihan hati diimbangi dengan rasionalitas tinggi, kejiwaan matang serta pandangan jauh ke depan. Bahkan tanpa ragu Siliwang membantu Pemerintah menggulung dan menghancurkan pemberontakan yang disulut oleh elemen-elemen anti Republik Indonesia.
Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) pada tahun 1948 yang dimaksudkan untuk membuat tentara Nasional Indonesia lebih efektif mempunyai efek samping yang menimpa tubuh Siliwangi.Upaya Pemerintah untuk memperkuat tubuh tentaranya menjadi lebih profesional memang berdampak pada Siliwangi. Beberapa orang pemuda dan pemudi yang dengan jiwa murni ikut hijrah, lalu tersisih akibat Re-Ra. tersebut. Hal seperti ini perlu memperoleh telaah lebih lanjut.untuk mengetahui berapa orang sebenarnya yang menderita akibat keinginan baik Re-ra tersebut. Dan,lebih penting lagi untuk mengetahui karier hidup mereka di kemudian hari—suatu pekerjaan sukar dan ambisius pada 60 tahun pasca kejadian, tetapi bukannya tidak mungkin untuk dibukukan.
Buku Himawan Susanto ini memenuhi semua syarat historiografi, ilmiah, Referens, kecuali beberapa kekurangcermatan menulis, tersusun rapi,menuruti hampir semua standar baku; berita, dan beberapa surat keputusan yang bertautan dengan masalahnya tersedia merupakan acuan bagi penulisan itu dan bagi sejarawan muda yang di masa yang akan datang. Hasil interview menjadi imbuhan subtansil kelengkapan buku itu dengan catatan kaki dan terjemahan teks berbahasa Belanda yang mapan dan logis. Penterjemahan yang baik dan tepat perlu tersedia bagi generasi muda yang kebetulan tidak memperoleh kesempatan mempelajari bahasa Belanda. Ini bukan untuk mengagungkan Belanda tetapi mengingat kenyataan bahwa masih banyak jurnal dan penulisan periode sengketa fisik Indonesia-Belanda tertulis dalam bahasa tersebut. Himawan Sutanto, merupakan salah seorang pelaku epoch heroik longmarch Siliwangi tetapi, dalam bukunya itu, dia menjauhkan diri dari peristiwa dengan menempati kursi terhormat sejarawan dan pengamat. Namun di beberapa tempat, dia rupanya lupa, karena intimitas dengan subyeknya menyebutkan nama orang dengan panggilan “Pak”( umpama, “Pak” Kemal Idris,) bukan Mayor Kemal Idris sebagai lazimnya penulisan jurnal peristiwa oleh orang ketiga—pengamat. Lain halnya kalau penulisan itu merupakan “petit histoir”, pengalaman pribadi.
Banyak peristiwa penting tercatat di dalam buku itu. Salah satunya yang menurut hemat penulis sedikit menyimpang dari normaliter organisasi adalah pengangkatan panglima divisi, ketika panglimanya, Letkol. Daan Yahya jelas diketahui telah tertawan oleh Belanda. Wakil KSAP T.B. Simatupang, yang selama 4 hari mengikuti sepak terjang Divisi dari dekat, menunjuk Letkol. Sadikin menjabat Panglima Siliwangi. Keputusan darurat itu diambil karena memang ketiaadaan alat komunikasi dengan satuan lain dan demi mempertahankan keutuhan serta dinamika Siliwangi yang sedang bergerak.Tetapi Kepala Staf Angkatan perang ditempat lain yang berjarak kurang dari duaratus kilometer menunjuk Letkol. Abimanyu sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Hanya kepala dingin di waktu itu dan kesadaran memikul tugas luhur, diperoleh pemecahan simpatik dalam suasana keakuran, tanpa menimbulkan gejolak. Bayangkan apa yang bisa terjadi jika keputusan semacam itu, yang menimbulkan “matahari kembar”, diambil dalam 2007. Mungkin aura politik akan lebih mewarnai persoalan daripada pemecahan yang mengedepankan kemashalatan dan mengatasi “the sense of crisis”.
Pernah penulis saya tanyakan kepad Jenderal Himawan Sutanto perihal status dan keadaan psikologis massa yang begitu besar bergerak,lelah,ketakutan,dan kekurangan materiil, walau tak ayal kaya dengan semangat. Bukannya tidak mungkin, dalam himpitan kesulitan itu mencuat jiwa yang mementingkan diri sendiri dengan menyampingkan jiwa keprajuritan dan keksatriaan. Barangkali harus ada penulis lain, mempergunakan genre yang tepat, yang harus menyoroti masalah tersebut Banyak anekdot perang, merupakan literatur kejiwaan yang menarik, bukan untuk menjadi bahan tertawaan, tetapi untuk memahami sifat hakiki manusia. Seorang Pramudya Ananta Toer, pernah menulis ”Mereka Yang Dilumpuhkan” (1949), mengisahkan drama manusia dalam kesempitan. Trisno Yuwono (1959) dalam serialnya di harian Pikiran Rakyat,Bandung, “Antara mesiu dan peluru” mengutarakan satire keadaan jaman awal kemerdekaan. Dari sini terbetik adanya manusia don quisote yang hanya memetik keuntungan bagi diri-sendiri dari kesedihan orang lain teman seperjalanan.
Saudara-saudara tentunya akan sepakat dengan penulis, kalau buku Himawan Sutanto ini sangat tepat untuk mememperoleh tempat di dalam perpustakaan militer maupun perpustakaan umum. Isinya mengandung bobot renungan jiwa dan kental dengan epos kepahlawan Siliwangi yang merupakan elemen pemikul, penghantar kita ke alam merdeka ini. Penulis akui bahwa benar masih terdapat kemelaratan yang menyatu dengan struktur serta ketidakadilan remunerasi dan perolehan hak, tetapi kita tidak boleh terhalang bayangan gelap itu menancapkan pandangan kita kedepan melihat sejarah heroikkemiliteran seperti yang dibeberkan oleh Himawan Sutanto.
Selamat kepada Jendral purnawirawan Himawan Sutanto atas penerbitan buku ini. Sebagai penutup ijinkan penulis menyampaikan permintaan agar pada penerbitan berikutmnya ditambahkan: peta yang lebih jelas dan informatif;kala perjalanan tracee tertentu (umpama berapa lama perjalanan dari perbatasan Jabar-Jateng memakan waktu untuk sampai Sumedang);usia pelaku terpenting (berapakah usia Simatupang, Nasution, Sadikin dan lain-lain); perbaikan penulisan referensi dan kesimpulan bahkan, kalau mungkin, analisa mengapa seorang Panglima sampai dapat tertawan oleh pihak musuh.
Bandung 19-12-2007; limapuluih sembilan tahun pasca Serangan Yogya.
Bambang Hidayat, lahir 18 september 1934, mantan Guru Besar Astronomi,ITB. Sekarang President Indonesian Academy of Sciences.,Tinggal di Bandung.
Thursday, 4 October 2007
Rasa sayang-sayange dalam film Belanda ?
Lagu rasa sayang-sayange yang diributkan itu, sebelum ada di you tube sudah ada dalam film Belanda "Insulinde" . Film ini dibuat untuk menggambarkan Hindia Belandaantara tahun 1937 - 1940. Bagi yang bisa buka silahkan ke Blog saya : http://sejarahkita.blogspot.com/
Tuesday, 2 October 2007
Jalan Burma
Burma atau Myanmar sekarang dalam keadaan membara. Cepat atau lambat campur tangan internasional naga-naganya akan dimulai. Dimana-mana muncul demo memprotes kekejaman Junta Militer negeri ini. Apalagi setelah jatuh banyak korban, termasuk wartawan Jepang. Tapi pernahkan kita berfikir saat berlangsungnya perang dunia ke II, Burma amat berperan dalam menyalurkan logistik ke Cina yang bagian pantainya sudah diduduki Jepang ?. Jalur logistik berkelok-kelok ini dinamakan "Jalan Burma".Tapi jalur logistisk ini tidak berjalan lama karena dalam bulan maret 1942, Jepang berhasil menduduki Ranggoon dan Jalan Burma sebelah barat dikuasai. Hal ini berlangsung sampai tahun 1945, ketika Inggris berhasil mendesak Jepang kearah Timur. Selama jalan Burma dikuasai Jepang, logistik sekutu untuk Cina diangkut melalui jembatan udara dari India ke Kunming. Sungguh perjuangan yang amat berat.
Monday, 24 September 2007
Delegasi Indonesia pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag
Delegasi Indonesia tiba di Den Haag pada awal Agustus 1949 untuk mengikuti Konperensi Meja Bundar. Mereka ditempatkan di Hotel Scheveningen. Sebelum berangkat, rombongan ini yang terdiri dari kelompok Republik Indonesia dan BFO (Permusyawaratan daerah Federal) menyanyikan Indonesia Raya. Tampak Bung Hatta selaku ketua delegasi, Sultan Hamid ketua BFO dan Anak Agung Gde Agung selaku anggota.
23 Agustus 1949 pembukaan sidang Meja Bundar
Bung Hatta selaku ketua delegasi dan rombongan berangkat dari Yogya pada tanggal 7 Agustus 1949 untuk menghadiri Konperensi Meja Bundar. Sidang-sidang Konerensinya sendiri dimulai pada tanggal 23 Agustus 1946 dan ditutup tanggal 2 November 1946. Meskipun banyak kendala yang dihadapi, persetujuan ahirnya dapat juga dicapai dimana dalam bulan Desember 1949 seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
Wednesday, 19 September 2007
tidak kasat mata 19 September 2007
Thursday, 13 September 2007
Rapat Raksasa 19 September 1945
Sunday, 9 September 2007
Saturday, 8 September 2007
Peristiwa Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945
Saturday, 4 August 2007
Kaum Diaspora: Beda Osama dan Tan Malaka
Sumber:Digubah dari ceritanet situs nir-laba untuk karya tulis, edisi 28, Selasa 27 November 2001
Friday, 3 August 2007
Tan Malaka
Semoga sisi gelap itu lekas terungkapkan.
Saturday, 14 July 2007
Gus Dur, Bung Tomo, Kartosuwiryo
Sebagai sesama pejuang, Siliwangi berusaha menjalin kerja sama dengan DI/TII, perselisihan antarkeduanya ditunda sampai urusan dengan Belanda selesai. Kontak-kontak dilakukan oleh utusan divisi. Ada pula oleh utusan brigade atau batalyon.
Namun mendapat jawaban bahwa TNI di Jawa Barat harus di bawah komando TII. Mayor TNI Utarya, yang diutus divisi, dibunuh karena menolak mengakui kedaulatan DI/TII. Utusan lainnya, Lettu Aang Kunaefi, mendengar langsung jawaban SMK bahwa ia “tidak mengenal RI dan TNI, yang dikenal hanya Darul Islam dan tentara Belanda”.Setelah pengakuan kedaulatan dan permasalahan Indonesia dengan Belanda selesai, TNI memerangi DI/TII yang telah dinyatakan sebagai pemberontak operasi keamanan di Jawa Barat. Peperangan ini baru bisa diselesaikan setelah SKM menyerah pada 4 Juni 1962. Selama 13 tahun pemerintah RI dan TNI harus berhadapan dengan DI/TII yang ingin mendirikan NII sebagai pengganti NKRI. Kita ingin tidak terjadi lagi intra-state conflict di Indonesia. Kalau ada perbenturan ideologi atau kepentingan di antara kita, apakah itu antara pusat dan daerah, antargolongan, atau karena ketidakadilan pembagian sumber daya, jangan lagi sampai diselesaikan dengan kekerasan senjata. Siliwangi sejak semula tidak ingin perbenturan kepentingan di antara anak negeri diselesaikan dengan kekerasan. Pendekatan baik-baik dilakukan terhadap DI/TII, termasuk ketika melancarkan operasi militernya, yang mengasihi rakyat, tidak menyakiti musuh yang tertawan, dan menghormati keluarga pihak lawan.
Tapi bagaimana pun kita harus arif dan menyadari, bagaimana mungkin DI/TII dibentuk oleh Panglima Besar Sudirman dan Presiden Sukarno pada 1947 untuk mempertahankan RI dan melindungi kaum republikein. Faktanya, 1947 persetujuan Renville belum terjadi, berarti ketika itu Divisi Siliwangi masih di Jawa Barat. Faktanya, SMK sudah sejak semula ingin mendirikan NII, menggantikan NKRI. Penulis adalah purnawirawan Pati TNI, pernah memimpin kesatuan TNI memerangi DI/TII di Jawa Barat. Kini sedang menyelesaikan program pasca sarjana (S-3) sejarah di UI.
Friday, 8 June 2007
Wednesday, 6 June 2007
De politionele acties
SEJARAH HARI LAHIRNYA KOTA JAKARTA
Awal mula berdirinya beberapa kerajaan dan kota besar di bumi ini diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaris. Demikian halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Remus, kakak-beradik yang dibesarkan oleh seekor serigala. Demikian juga diceritakan tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan dengan keturunan dewi matahari, yang sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang. Menimbulkan polemik
Rupanya mitos semacam ini meliputi pula asal usul atau lahirnya Kota Jakarta, ibu kota tertua dari semua negara di Asia Tenggara, walaupun belum begitu tua jika dibandingkan dengan kota seperti Kyoto dan Thang-Long atau Hanoi umpamanya. Kalau demikian, atas dasar apa warga Jakarta merayakan hari jadinya yang ke-470 pada tahun ini? Sejarawan Abdurrachman Suryomomihardjo mengomentari keputusan Walikota Jakarta Sudiro (1953 - 1958) tentang hari jadi Jakarta sebagai "kemenangan Sudiro" yang berlandaskan "kemenangan Fatahillah" yang pastinya tidak kita ketahui. Pada tahun '50-an perdebatan tentang asal usul Jakarta memuncak dalam perang pena dua mahaguru, yaitu Dr. Soekanto dan Dr. Hussein Djajadiningrat. Polemik ini pun sudah menjadi sejarah yang dilupakan oleh sebagian besar penghuni Jakarta, yang dibuai terus dengan karangan-karangan resmi yang menampakkan asal usul ibu kota dengan begitu gamblang. Namun belum begitu lama Dr. Slametmulyana masih berpegang pada tesis bahwa nama Ja(ya)karta diturunkan dari nama adipatinya yang ketiga, yaitu Pangeran Jayawikarta, yang membela kotanya terhadap J.P. Coen, pendiri Batavia (1619), namun dikalahkan oleh saingannya dari Banten. Di balik berbagai teori yang kurang pasti ini apa yang pasti? Apa yang terbukti? Pertama, dokumen-dokumen tertua menyebutkan suatu permukiman di mulut Ciliwung bukan dengan nama Ja(ya)karta, melainkan Sunda Calapa. Dokumen tertua yang menyebut nama ini adalah Summa Oriental karangan Tome Pires, yang memuat laporan kunjungannya dari tahun 1512/15. Apakah Ma Huan, penulis laporan pelayaran armada Laksamana Zheng-Ho, yang kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad XV, mengenal Chia liu-pa (atau Calapa) belum dapat dipastikan kebenarannya. Direbut pasukan Cirebon Sebutan Sunda Calapa dipakai terus sampai pertengahan abad XVI (misalnya oleh A. Nunez, Lyro do pesos Ymdia, 1554) dan dimuat pada peta-peta Asia sampai awal abad XVII. Nama Ja(ya)karta untuk pertama kalinya disebutkan dalam suatu dokumen tertulis, yang berasal dari sekitar tahun 1553, yakni dalam karangan sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau ini, Xacatara dengan nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro nome Caravam), (Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang) Pontang dan (Banten) Bintam. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra .... (Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77) . Jao de Barros (1496 - 1570) bekerja di Casa da India (1532 -1568) di Lisabon, tempat segala laporan dari Asia diterima dan diarsipkan. Meskipun karangannya tentang Asia Tenggara dari tahun 1553 menunjukkan keadaan yang sedikit lebih tua, kita tidak tahu persisnya dari tahun berapa. Karena itu nama Ja(ya)karta (dalam segala ejaannya) tidak terdokumentasi sebelum tahun 1550. Dokumen Indonesia pertama yang memakai sebutan "Jakarta" tidak mungkin berasal dari sebelum tahun 1602. Dokumen ini merupakan suatu "piagam" dari Banten, yang ditemukan van der Tuuk (1870). Meski demikian, nama Sunda Calapa tetap dipergunakan juga sampai akhir abad XVI, bahkan dalam berita pelayaran Belanda dari akhir abad itu. Walaupun tidak dapat diketahui dari sumber sezaman, kapan pelabuhan di mulut S. Ciliwung itu berganti nama dan mungkin juga penduduknya, bisa dipastikan dari berbagai sumber Portugis (misalnya J. de Barros, F.L. Castaheda, G. Correa), yaitu pada akhir tahun 1526 atau awal 1527. Sunda Calapa direbut dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda oleh pasukan Islam dari Cirebon. Awak kapal Portugis yang dipimpin D. de Coelho dan terdampar di Pantai Sunda Calapa dibunuh dan dipukul mundur oleh penguasa baru . Maka, 470 tahun yang lalu pasti terjadi perubahan besar di daerah yang sekarang disebut "Kota". Sunda Calapa (sampai 1526/27) maupun Jayakarta (1527 - 1619) terletak di sebelah selatan suatu garis yang dibentuk oleh rel kereta api dan jalan tol baru sedikit di sebelah utara Hotel Omni Batavia sekarang. Maka pasukan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sebagai sekutu (atau bawahan?) Kesultanan Demak mendarat di pantai yang terbentang kurang lebih pada garis tersebut. Mungkin juga ia menyerang Sunda Calapa melewati daratan dari arah Marunda. Hal ini agak sulit, karena pada zaman itu daerah antara Marunda dan Kota masih penuh hutan lebat serta rawa-rawa yang banyak buayanya. Mitos, legenda, atau hanya cerita? Masalah siapa yang memimpin tentara koalisi Cirebon-Demak-Banten melawan raja Pajajaran belum terpecahkan dengan tuntas. Rupanya hal ini tidak mungkin terungkap, karena dokumen sejarah dari masa itu tidak ada, baik yang berbentuk tulisan maupun benda sejarah. Nilai sejarah cerita Purwaka Tjaruban Nagari, yang pengarangnya menyebut diri Pangeran Aria Tjarbon masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Naskah dari sekitar tahun 1720 ini telah beredar sejak awal abad XIX di luar lingkungan Keraton Cirebon. Belum ada edisi kritis dari naskah penting ini, apalagi mengenai kitab sumbernya, yang disebutkan pada halaman terakhir yakni naskah Negarakertabumi. Purwaka Tjaruban Nagari bukan dokumen dari zaman Jakarta didirikan, maka pengetahuan tentang sumbernya penting. Selain itu naskah ini penuh cerita ajaib dan bagian-bagian yang memperlihatkan kepentingan pihak Cirebon pada waktu itu. Atas dasar yang secara halus dapat disebut ketidakpastian itu dibangun suatu sejarah tentang tokoh "pendiri" Jakarta, yaitu Fatahillah. Keberadaan dan peran penting seseorang yang muncul dalam aneka sumber sejarah sebagai Tagaril, Fadilah Khan, Falatehan atau Fatahillah, tak dapat disangsikan. Namun identitas dan kegiatan tokoh dari Pasai (Sumatra Utara) itu belum jelas betul. Karangan dan seminar sejarawan Indonesia dan luar negeri masih tetap bergumul tentang siapakah Fatahillah, orang Gujarat keturunan Arab itu. Mengingat keadaan sumber-sumber sejarah yang sulit ditemukan, bahkan harus dikatakan hampir nihil, maka pada awal berdirinya Kota yang dinamai Jayakarta itu akan tetap diliputi kabut, sehingga mitos dengan leluasa dapat berkembang, dipelihara, bahkan diresmikan. Nasib ini memang bukan hanya khas Jakarta. Memang sejarah yang kritis kadang kala menyajikan kejadian historis sebagai peristiwa yang bercorak agak biasa, sedangkan mitos, legenda, dan cerita dengan leluasa dapat membakar imajinasi dan semangat. Tetapi ini bukan maksud sejarah yang ingin mengenal kenyataan dan menafsirkannya. Apakah menginjak abad XXI ini orang akan puas dengan mitos ataukah mereka ingin mengetahui kebenaran? Kapankah akan terbit sejarah Jakarta yang kritis? Apakah sudah waktunya? Sudah mungkinkah dengan mengingat nasib aneka buku kritis yang muncul akhir-akhir ini? Jakarta yang merayakan hari ulang tahun ke-470 sepantasnya memiliki kajian sejarahnya, yang realistis serta ilmiah. Walaupun masa awal dan sejarah berikutnya akan tampak agak biasa, sejarah seperti ini diperlukan untuk membangun suatu rasa memiliki warga kota pada pergantian abad ini yang tidak lama lagi akan berlangsung. Mitos dan legenda tetap berfungsi, namun tidak memadai sebagai landasan pembangunan masa depan suatu masyarakat yang peduli pada nasib kotanya dan peninggalan-peninggalan sejarahnya.
Saturday, 2 June 2007
Pidato 7 Desember 1942, Ratu Belanda
Pada tanggal 7 Desember 1942, Sri Ratu Wilhelmina membacakan pidato yang bersejarah. Pidato tersebut dibuat pada tanggal 7 Desember 1942, yang dipancarkan dalam bahasa Inggris untuk konsumsi dunia. Namun, sejumlah orang Indonesia secara sembunyi dapat mendengarnya. Tanggal 15 September 1945, pemerintah Belanda menyiarkan ulang pidato tersebut. Pada dasarnya pidato berisi, rencana undangan untuk melangsungkan konperensi koloni sesegera mungkin setelah perang berahir untuk maksud reorganisasi imperium Belanda menjadi perkesemakmuran bersama. Perkesemakmuran ini akan terdiri dari Belanda, Indonesia, Suriname dan Curacao. Rencananya akan dilaksanakan berdasarkan pada dua prinsip, yang pertama terbentuknya fondasi yang utuh diantara anggota perkesemakmuran secara lengkap dan kedua terbentuknya kedaulatan lengkap serta kemerdekaan untuk dalam negeri masing-masing, tetapi dengan kesiapan untuk menyumbangkan bantuan yang berguna bagi negara Induk. Pidato Wilhelmina dianggap memuaskan dan sudah cukup liberal bagi Roosevelt selaku Presiden Amerika Serikat.. Kemungkinan besar pidato merendah semacam itu bisa muncul karena beratnya penderitaan perang di Hindia Belanda. Namun demikian, pidato ini dianggap kurang memuaskan bagi kaum nasionalis Indonesia. Antara lain karena tidak menyebut-nyebut kemerdekaan dan struktur politik yang jelas pasca perang di Indonesia. Amerika menyadari adanya kekecewaan tersebut. Di sinilah peran Letnan Gubernur Jenderal van Mook untuk menjelaskan pada pers Amerika. Dikatakannya bahwa Indonesia akan diberikan pemerintahan sendiri secara lengkap, kekuasaan dibawah supervisi kabinet dan parlemen Belanda. Selain itu di Hindia akan dibentuk sebuah Parlemen dengan mayoritas anggota bangsa Indonesia dan golongan minoritas akan terwakili. Kabinet Hindia Belanda akan ditetapkan oleh keputusan Gubernur Jenderal yang kekuasaannya jauh lebih kecil dibandingkan sebelum perang. Tapi maksud Ratu diatas, dalam sejarah ahirnya amat berbeda. Republik Indonesia Serikat akhirnya menerima kedaulatannya sebagai negara yang berdaulat penuh. Bahkan pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia benar-benar menjadi negara kesatuan yang Merdeka dan Berdaulat. Yang lebih penting lagi Pancasila, yaitu pidato Bung Karno 1 Juni 1945, benar-benar menjadi Dasar Negara.
Friday, 18 May 2007
Gedung Candra Naya Tak Terurus Lagi
Feng ShuiCandra Naya dibangun pada abad ke-18. Pemilik pertama gedung itu adalah seorang saudagar asal Tegal, Khouw Tjun. Seterusnya keluarga Khouw menguasai gedung itu.Banyak peristiwa bersejarah berlangsung di gedung tersebut. Pada 1946 berdiri Perhimpunan Sinar Baru (Sin Ming Hui) yang bergerak di bidang sosial. Masa berikutnya berdiri gedung sekolah, lembaga fotografi, dan klub bridge. Lembaga Fotografi Candra Naya dikenal luas sebagai tempat pendidikan yang menghasilkan fotografer-fotografer ternama Indonesia saat ini. Sedangkan klub bridgenya banyak menelurkan pemain berkaliber nasional.Candra Naya juga berperan dalam sejarah pendidikan. Pada awalnya pendirian Universitas Tarumanagara dibicarakan di sini, termasuk RS Sumber Waras. Tahun 1960-an hingga 1970-an Candra Naya pernah menjadi tempat penyelenggaraan pesta-pesta pernikahan yang bonafide. Sebelum menjamurnya gedung-gedung resepsi khusus, Candra Naya tidak pernah sepi dari pesanan para pengantin.Sejak populernya ilmu feng shui di Indonesia, keberadaan Gedung Candra Naya rupanya juga tak lepas dari aspek-aspek itu. Pada awalnya ahli feng shui yang disewa oleh sang pengusaha melihat bahwa gedung itu membawa sial atau kerugian (Akino W Azzaro, Kompas Cyber Media). Dia kemudian merekomendasikan agar untuk mengamankan dan meningkatkan nilai investasi, Gedung Candra Naya harus disingkirkan sesegera mungkin. Tak dipungkiri kalau analisis sang ahli feng shui berdasarkan pola energi lama sesuai dengan periode pendirian Candra Naya. Dari hasil kalkulasinya, kemungkinan besar pola energi lama yang dibawa Gedung Candra Naya dianggap kurang fit dengan pola energi yang berkuasa saat ini. Padahal, kata Akino yang juga ahli feng shui, pola energi lama Gedung Candra Naya sudah berubah saat kedua sayap kanan dan kiri bangunan induk dirobohkan. Gedung Candra Naya pun sudah dikosongkan sejak 1997. DanaSebagai benda cagar budaya yang berada di wilayah Jakarta, tanggung jawab pemeliharaan tentu berada di bawah Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. Namun, apakah instansi itu memiliki dana pemeliharaan yang cukup?Sebenarnya pemeliharaan Candra Naya boleh saja dilakukan pihak swasta, misalnya bekerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah itu difungsikan sebagai museum atau tempat-tempat pameran seni/kebudayaan. Tapi siapa yang mau mengeluarkan biaya perbaikan dan investasi karena nilai komersialnya tidak ada atau terlalu kecil.Kini Candra Naya ibarat rumah kumuh yang berdiri di antara gedung pencakar langit. Mudah-mudahan di Indonesia ada “Heritage Fund” yang membiayai pelestarian bangunan-bangunan kuno.
Penulis adalah arkeolog, tinggal di Jakarta
Saturday, 5 May 2007
Arsip-arsip Kong Kuan
Notulen vergadering dari Raad Tjina di Batavia pada hari Selasa tanggal 4 boelan Maart 1918.
Persidangan (vergadering) di boeka pada djam poekoel 1 liwat tengahari.
Dikapalai (Voorzitter) Toewan Majoor Khouw Kind An.
Dihadiri (aanweizig) Toean2 Luitenant Oeij Kim Liong, Lie Sin Liong, Laij Soen Thio dan Oh Siau Tjeng.
Secreatris, Khoe Siauw Eng dan beberapa Wijksmeters dari bilangan Batawi dan Weltevreiden.
Tiada berhadlir dengan kasi taoe sebabnja :
Tiada berhadlir dengan zonder kasi taoe sebabnja :
Dibitjarakan :
Hal Toean Majoor minta taoe pendoedoek mana jang dilanggar bahaja kebandjiran, hingga perloe mendapat pertoeloengan.
Semua wijkmester menjaoet tiada ada, katjoewali Soinsan, jang tjeritakan bagaimana pendoedoek kampoengnja soedah kalanggar itoe bahaja, tapi dengan pertoeloengan nja rame2, orang2 jang mendapat itoe bahaja soedah dapat ditoeloeng sampai tjoekoep.
Toewan Majoor lalu menjatakan, manakala pembantoean itu koerang tjoekoep , aken ditambah.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan diatas merupakan notulen dari rapat Kong Kuan atau dewan perwakilan Cina di Batavia. Dan gambar diatas foto tempat dewan ini berapat. Notulen ini merupakan satu dari sejumlah besar dokumen dalam bahasa melayu tentang kehidupan masyarakat Cina di Batavia dari akhir abad ke 18 sampai tahun 1960-an. Dokumen dari Dewan ini ditemui secara tidak sengaja oleh dua orang peneliti Perancis pada tahun 1960-an pada sebuah rumah abu di daerah Guinung Sahari Jakarta. Pada tahun 1998, dokumen tersebut selamat disimpan pada pusat peneltian Sinologi di Belanda. Profesor Leonard Blusse adalah peneliti utama yang sekarang mengerjakan proyek ini di Belanda.
Monday, 16 April 2007
Kota tua mestinya bukan hanya kenangan
The first Indonesian boat people
Aided by some of the local community, the Freeman family helped the refugees settle in to daily life in their temporary home. A kindergarten was established, attended by both Indonesian and Australian children. The older children attended the Nott Street primary school, where they soon learned English and excelled at their studies. Mrs Freeman took particular care of the women, taking them shopping, arranging hospitalisation when babies were born and generally looking after their welfare. A journalist from the newspaper The Argus, who visited the hall commented: 'In this little corner of Port Melbourne, East has met West'. The men, meanwhile, had much-needed technical skills. Rev Freeman had no trouble finding work for them in the government aircraft factory at Fishermen's Bend. The Indonesians made many friendships in the Port Melbourne community. John Guthrie and other young men took the opportunity to explore a new culture. They even learned to speak 'Malay' (Indonesian). In return, they took their new friends to Australian Rules football matches, ice-skating and the theatre. These friendships later led Guthrie to take part in demonstrations and marches in support of Indonesian independence. They were held in Melbourne after the world learned of Sukarno's 'proklamasi' of 17 August 1945. Jan Lingard (jan.lingard@asia.usyd.edu.au)
Tuesday, 3 April 2007
Wilayah RI Dicaplok Malaysia ?
Saturday, 31 March 2007
25 Maret 1947, 60 th yang lalu dokumen Linggajati ditanda tangani
Monday, 26 March 2007
Ibu Nelly Adam Malik telah tiada
Ibu Nelly Adam Malik telah tiada. Istri Wakil Presiden Republik Indonesia ketiga, Ny Nelly Adam Malik, Minggu (25/3) pukul 22.20, meninggal dunia di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan. Ny Nelly sempat dirawat di RS MMC sejak Jumat (23/3) akibat serangan stroke. Sejak Senin pagi hari, rumah duka di Jalan Diponegoro 29, Jakarta Pusat, dibanjiri pelayat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla hadir di rumah duka untuk memberikan penghormatan terakhir. Hadir pula antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, mantan Presiden BJ Habibie, dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Ny Nelly Adam Malik lahir di Jakarta, 15 Mei 1925, putri kedua Datuk Ilyas Gelar Rajo Mara dan Siti Zuleiha. Ia meninggalkan seorang anak laki-laki, Otto Malik, dua anak perempuan, Antarini Malik dan Budisita Malik, serta 17 cucu. Ny Nelly dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer yang dipimpin Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Bachtiar mengungkapkan, Nelly Adam Malik dikenal sebagai sosok yang memegang teguh prinsip dan setia kepada negara. Bersama Adam Malik, dia turut mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaannya. Menurut Antarini Malik, sejak masuk RS kondisi kesehatan almarhumah terus menurun akibat lanjut usia. Ia pun menderita penurunan fungsi otot jantung. "Ibu sudah lama tak aktif di berbagai kegiatan sosial," katanya. Sejumlah organisasi sosial pernah dirintis Ny Nelly bersama sejumlah istri pejabat lainnya. Pemegang penghargaan Bintang Mahaputra itu pernah menjadi Ketua Dewan Kerajinan Nasional pada 1980-1983. Ia juga ikut mendirikan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia bersama Ny Tien Soeharto pada 1979. Selain itu, Ny Nelly pernah menjadi anggota DPR pada 1971-1978 dan menjadi Ketua Yayasan Adam Malik yang mengelola Museum Adam Malik. Menurut Otto Malik, ibundanya setia mendampingi ayahnya, Adam Malik, pada 1942-1984, dalam suka dan duka. Dari Berita Kompas 27 Maret 2007
Saturday, 10 March 2007
Prof.Koesnadi telah tiada
Dalam peristiwa kecelakaan terbakarnya pesawat Garuda GA 200 di lapangan terbang Adisucipto Yogyakarta tanggal 7 Maret 2007 jam 7.00 pagi, telah meninggal dunia, teman baik saya Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri. Beliau lahir tanggal 9 Desember 1926 di Manon Jaya Tasikmalaya, jadi pada bulan Desember tahun kemarin, beliau baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 80. Dizaman Jepang dan awal Revolusi, beliau menamatkan Sekolah Lanjutan Atasnya yang bernama SMT (Sekolah Menengah Tinggi) bertempat dibekas gedung Kanisius. Tahun 50-an, ikut kuliah di Universitas Gajah Mada, Fakultas Hukum dan berhasil lulus pada tahun 1964. Predikat Doktor dibidang Sosiologi didapat dari Rijks Universiteit Leiden, ilmu lingkungan dari IPB dan UNPAD. Sejumlah jabatan pernah diembannya. Mulai sebagai dosen UGM sampai menjabat Rektor. Juga pernah menjabat Direktur Pendidikan Tinggi Dep.Dik.Bud, atase kebudayaan pada kedutaan Besar Indonesia di Den Haag Belanda, Sekretaris menteri Negara Lingkungan Hidup. Sampai akhir hayatnya beliau tetap mengajar diberbagai Universitas di Yogyakarta maupun di Jakarta. Itulah sebabnya naik pesawat terbang Jakarta-Yogyakarta bagaikan bagian dari kehidupan mingguannya.
Rasanya masih seperti bertemu kemarin, padahal pertemuannya saya dengan beliau yang terahir, terjadi pada acara Seminar di Hotel Milenium tahun 2006. Saat itu beliau menyampaikan makalahnya soal PTM (Pengerahan Tenaga Mahasiswa) pada tahun 50-an. Dimana saat itu Pemerintah belum dapat mencukupi tenaga guru SMA. Maka atas usaha Pak Kusnadi dan beberapa Mahasiswa UGM, diberangkatkanlah sejumlah mahasiswa ke seluruh Indonesia sebagai pengajar diluar Jawa. pak Kusnadi sendiri ikut mengajar di SMA di Kupang, NTT. Tidak banyak yang tahu bahwa, Pak Kusnadi adalah anggota PT.TKR (Polisi Tentara Keaman rakyat) pada zaman Revolusi, dengan pangkat letnan. Wilayah penugasannya adalah Sukabumi-Cianjur. Pada suatu hari, beliau ditugaskan Let.Kol Alex Kawilarang untuk mengantar 2 karung emas permata hasi rampasan Jepang yang sempat dikuburkan di kebun karet. Maka setelah harta itu disita pihak TKR, kepada Pak Kusnadi dan seorang temannya diperintahkan untuk diantarkan kepada Kementerian Keuangan di Yogyakarta. Namun ketika tiba di Yogya, kembali dua karung barang berharga itu harus dibawa ke Purworejo, tempat kementerian itu berada. Selama Revolusi, Pak kusnadi bergabung dengan TP (Tentara Pelajar) Yogya. Diantara teman-temannya adalah Radius Prawiro dan Nugroho Notosutanto. Setelah tahun 1948, beliau ditugaskan di Wherkreise didaerah Pekalongan - Tegal - Brebes. Pada suatu hari terjadi serangan Belanda secara mendadak. Pak Kusnadi berlari lewat pintu belakang, tapi sungguh kaget karena disitu sudah muncul sejumlah tentara Belanda. Maka dia berbalik arah untu melarikan diri kearah lain. Sungguh sangat ajaib, hanya berjarak 5 meter, tapi si Belanda tidak menembaknya. Salah satu kemungkian karena melihat tubuhnya yang kecil yang menggunakan celana pendek sehingga dikira anak kecil. Padahal sebagai perwira, Pak Kusnadi pernah diminta untuk menjabat Camat, menggantikan Camat lama yang didaulat rakyat. Pak Kusnadi adalah anggota Veteran yang mendapat "Bintang Gerilya" karena jasanya dalam perjuangan Perang kemerdekaan. Selamat jalan Prof...Jasamu tidak akan kami lupakan.