Tanggal 21 Juli 1947, Belanda mulai melancarkan Agresi militernya. Saat itu Wakil Presiden Hatta sedang berada di Sumatera. Mantan Perdana Menteri Sjahrir berhasil meloloskan diri keluar negeri yang nantinya pada bulan Agustus 1947 berbicara dalam sidang PBB untuk membeberkan keganasan Belanda tersebut. Tapi sebelum itu setelah dari India, dia sempat menyusul H.Agus Salim di Timur Tengah yang telah lebih dahulu tiba di Cairo. Memang salah satu tugas H.Agus Salim bersama sejumlah anggota pemerintahan seperti AR Baswedan adalah sedang membuat perjanjian dengan negara-negara Arab dalam rangka mereka memberikan dukungan terhadap Revolusi Indonesia. Saat itu Perdana Menteri RI sejak awal Juli 1947 adalah Mr Amir Sjarifudin. dr AK Gani mantan menteri Kemakmuran diangkat sebagai wakil Perdana Menteri. Seperti biasa dia berkantor dan tinggal di Rumah Proklamasi jalan Pegangsaan Timur no.56 Jakarta. Pada tanggal 24 Juli 1947, rumah milik Republik Indonesia ini diserbu tentara Belanda dan seluruh penghuninya ditangkap. dr AK Gani adalah pejabat paling tinggi yang berada disana. Bersamanya ditangkap sejumlah pegawai Republik Indonesia termasuk para pengawal. Penggeledahan juga dilakukan tentara Belanda yang menemukan sejumlah besar senjata dan amunisi. Ada tulisan yang menceritakan kalau pimpinan penangkapan adalah Westerling ? Dan terjadilah dialog antara Westerling dengan dr Adnan Kapau Gani (lulus dokter dari GH pada tahun 1937). Westerling : "Saya Westerling pimpinan Pasukan Khusus (KST-DST) Kerajaan Belanda".dr AK Gani tidak mau kalah dan bilang : "Saya AK Gani penyelundup terbesar dari Indonesia musuh Belanda" Apa benar Westerling yang datang kesitu dan dialog ini benar ?
Sunday, 30 August 2009
Jenderal Sudirman bisa menerima supremasi sipil ?
Dalam bukunya "Laporan dari Banaran" Pak Sim (panggilan akrab May.Jen TB SImatupang) pada halaman 194-195 bercerita. Ketika pemerintah RI kembali ke Yogya (6 Juli 1949) sebetulnya Pak Dirman sedikit keberatan untuk kembali. Tapi karena ada surat Sri Sultan HB ke IX dan surat Kolonel Gatot Soebroto serta pemimpin lainnya yang meminta supaya lekas pulang, akhirnya Pak Dirman bersedia kembali ke Yogyakarta. Setelah berangkat dari Markas Besar Gerilya didesa Sobo daerah Pakis Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan menuju Yogya, Pak dirman sebentar menunggu sambil menanti kedatangan Pak Sim. Pak Sim menjemput bersama May.Jen Soehardjo. Setelah istirahat sebentar ketiganya memasuki mobil yang akan membawa ke Yogya. Dari pembicaraan didalam mobil, tampak Pak Dirman belum bisa menerima perkembamngan terakhir (maksudnya berunding dengan Belanda). Hal ini dapat dipahami sebab mereka yang pernah mengalami perang rakyat sejak beberapa bulan terakhir, telah hidup dengan alam pikiran yang berbeda sama sekali dengan para pemimpin (sipil) yang menjalankan perundingan dengan Belanda di Jakarta maupun di Bangka. Namun Pak Dirman membenarkan juga bahwa sekarang ini tidak ada jalan lain melainkan mendukung persetujuan yang dicapai sambil menyusun kekuatan. Cuma Pak Dirman bermaksud mengemukakan usul dan saran untuk mencegah timbulnya hal-hal yang dapat menimbulkan kekecewaan kelak. Dalam amanat Panglima Besar tanggal 1 Mei 1949, memang telah dikatakan : "Saya telah bersiap lengkap dengan syarat-syarat dan usul-usul mana saya sesuaikan dengan jiwa dan semangat dan jiwa perjuangan tentara dan rakyat pada dewasa ini, pula mengingat serta memperhatikan suara-suara dari para komandan terutama yang langsung memimpin pertempuran ". Beberapa tahun yang lalu ada isue kuat bahwa konflik internal antara pimpinan sipil dan militer sudah mulai berkembang saat itu. Kini setelah 64 tahun berakhirnya perjuangan gerilya khususnya setelah Pak Dirman kembali ke Yogya, apakah tidak perlu ditelusuri ulang detik-detik peristiwa sehingga kebijakan akhir adalah Supremasi sipil tetap diatas kekuasaan militer ?
Monday, 24 August 2009
dr Leimena
Friday, 21 August 2009
Lupa-lupa Ingat "Indonesia Raya"
Kompas Cetak Sabtu, 22 Agustus 2009 04:51 WIB
Oleh Saifur Rohman
Lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” karya WR Soepratman terlewat dinyanyikan dalam pidato kenegaraan di Jakarta, Jumat (14/8).Setelah diinterupsi, pada akhir acara Ketua DPRD Agung Laksono mengajak peserta menyanyikan ”Indonesia Raya”. Ini menandakan, acara simbolik, rutin, dan ritual telah melupakan simbol penting sejarah kehidupan berbangsa.Seperti sarapan yang siap di atas meja, tetapi lupa menanak nasi. Disebutkan, kesalahan itu tidak disengaja. Saat geladi bersih, lagu itu ada, tetapi saat pelaksanaan, tiba-tiba ”menghilang”. Hukuman berupa peringatan, sanksi, atau apa pun akibat kelalaian tidak bisa menghapus pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi dalam kesadaran pelaku ritus kenegaraan? Jawabannya menjadi penting jika kita menganggap membangun bangsa didasarkan kesadaran untuk mengingat, bukan melupakannya.
Tidak sadar
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis, lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Edmuns Husserl melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan, kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar. Dalam kajian antropologis terungkap, ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu adalah gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Tradisi memang monoton, tetapi itulah satu-satunya cara agar bisa mengingat. Karena itu, produk- produk kebudayaan intangible memerlukan mekanisme mengingat untuk menegakkan harkat kemanusiaan itu sendiri. Wajar manakala Ben Anderson merumuskan entitas kebangsaan sebagai ”komunitas yang dibayangkan” karena entitas itu harus terus dipupuk agar bayangan itu tetap ada. Betapa berat beban negara-bangsa yang lahir setelah Perang Dunia (PD) II. Pelaku negara-negara baru harus kerja keras melawan lupa. Sebab, sebelum PD II, alam kesadaran masyarakat dalam bingkai kolonial. Ritus negara-bangsa yang lahir setelah PD II, termasuk Indonesia, adalah eksplisitasi dari tiap upaya anak bangsa melawan lupa bahwa sebagai ”Indonesia Raya” telah ”merdeka”. Dalam proses melawan lupa itu setidaknya ada dalam syair lagu WR Soepratman. Berdasar analisis semantik, ada tesis bahwa lagu itu memberi wasiat tentang mekanisme melawan lupa. Syair-syairnya berisi identifikasi tentang Indonesia. Jawabannya, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Soepratman lalu menjelaskan asal-usul kita sebagai bangsa. Kejelasan asal-usul itu dimanfaatkan untuk mengingatkan visi ke depan. Dia menegaskan, Marilah kita berseru Indonesia bersatu. Asal-usul dan tujuan itu memberi kerangka pikir bagi tiap individu tentang kehadiran kesadaran baru yang tidak boleh dilupakan. Kerangka pikir itu lalu dibangkitkan dengan Hiduplah bangsaku, hiduplah negeriku untuk Indonesia Raya. Kesadaran sebagai negara-bangsa harus dihidupkan, dihayati, dimaknai. Paralelisme syair itu ada dalam Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Indonesia dihidupkan dalam kesadaran agar kita tidak melupakan. Pengulangan terus-menerus dan aneka simbol yang diciptakan untuk entitas Indonesia adalah upaya optimal untuk melawan lupa.
Ingat yang lain
Indonesia sudah diproklamasikan sejak 1945. Maka ironis saat lagu kebangsaan terlupa justru dalam ritus melawan lupa. Maka, kita patut mempertanyakan kesadaran kita sebagai bangsa.
Kesadaran untuk ingat sebagai bangsa ternyata tertumpuk kesadaran untuk ingat yang lain. Dan nasionalisme tidak lebih besar ketimbang kesadaran untuk rutinitas baru yang mengatasnamakan demokrasi. Tiap hari elite sibuk kampanye untuk meningkatkan citra. Pebisnis sibuk menggagas pencitraan yang menarik dalam pemasaran calon kepala negara dan kepala daerah. Para selebritas akademisi rutin membangun retorika baru sebagai produk yang dipertontonkan. Lembaga swadaya masyarakat bermodal pengetahuan statistik sibuk mengiklankan diri sebagai akurat dan ahli mengantar orang menjadi pemimpin. Tiap warga sibuk mencari posisi dalam kursi publik. Kita telah berlarut-larut dengan atribut-atribut itu dan melupakan esensi keindonesiaan. Setelah sekian lama kita berlalu, kita patut mempertanyakan kembali pembangunan semangat kebangsaan selama ini.
Saifur Rohman Alumnus Filsafat UGM; Bekerja dan Menetap di Semarang
Gambar atas : Peristiwa yang seharusnya tidak boleh dilupakan. Diiringi lagu Indonesia Raya, pada tanggal 27 Desember 1949, untuk pertama kali Sang Saka Merah Putih dinaikkan dan berkibar diatas puncak Istana Merdeka. Hal ini disambut rakyat dengan gegap gempita. Foto, capture dari film Belanda : souvereiniteit overdracht
Oleh Saifur Rohman
Lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” karya WR Soepratman terlewat dinyanyikan dalam pidato kenegaraan di Jakarta, Jumat (14/8).Setelah diinterupsi, pada akhir acara Ketua DPRD Agung Laksono mengajak peserta menyanyikan ”Indonesia Raya”. Ini menandakan, acara simbolik, rutin, dan ritual telah melupakan simbol penting sejarah kehidupan berbangsa.Seperti sarapan yang siap di atas meja, tetapi lupa menanak nasi. Disebutkan, kesalahan itu tidak disengaja. Saat geladi bersih, lagu itu ada, tetapi saat pelaksanaan, tiba-tiba ”menghilang”. Hukuman berupa peringatan, sanksi, atau apa pun akibat kelalaian tidak bisa menghapus pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi dalam kesadaran pelaku ritus kenegaraan? Jawabannya menjadi penting jika kita menganggap membangun bangsa didasarkan kesadaran untuk mengingat, bukan melupakannya.
Tidak sadar
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis, lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Edmuns Husserl melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan, kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar. Dalam kajian antropologis terungkap, ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu adalah gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Tradisi memang monoton, tetapi itulah satu-satunya cara agar bisa mengingat. Karena itu, produk- produk kebudayaan intangible memerlukan mekanisme mengingat untuk menegakkan harkat kemanusiaan itu sendiri. Wajar manakala Ben Anderson merumuskan entitas kebangsaan sebagai ”komunitas yang dibayangkan” karena entitas itu harus terus dipupuk agar bayangan itu tetap ada. Betapa berat beban negara-bangsa yang lahir setelah Perang Dunia (PD) II. Pelaku negara-negara baru harus kerja keras melawan lupa. Sebab, sebelum PD II, alam kesadaran masyarakat dalam bingkai kolonial. Ritus negara-bangsa yang lahir setelah PD II, termasuk Indonesia, adalah eksplisitasi dari tiap upaya anak bangsa melawan lupa bahwa sebagai ”Indonesia Raya” telah ”merdeka”. Dalam proses melawan lupa itu setidaknya ada dalam syair lagu WR Soepratman. Berdasar analisis semantik, ada tesis bahwa lagu itu memberi wasiat tentang mekanisme melawan lupa. Syair-syairnya berisi identifikasi tentang Indonesia. Jawabannya, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Soepratman lalu menjelaskan asal-usul kita sebagai bangsa. Kejelasan asal-usul itu dimanfaatkan untuk mengingatkan visi ke depan. Dia menegaskan, Marilah kita berseru Indonesia bersatu. Asal-usul dan tujuan itu memberi kerangka pikir bagi tiap individu tentang kehadiran kesadaran baru yang tidak boleh dilupakan. Kerangka pikir itu lalu dibangkitkan dengan Hiduplah bangsaku, hiduplah negeriku untuk Indonesia Raya. Kesadaran sebagai negara-bangsa harus dihidupkan, dihayati, dimaknai. Paralelisme syair itu ada dalam Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Indonesia dihidupkan dalam kesadaran agar kita tidak melupakan. Pengulangan terus-menerus dan aneka simbol yang diciptakan untuk entitas Indonesia adalah upaya optimal untuk melawan lupa.
Ingat yang lain
Indonesia sudah diproklamasikan sejak 1945. Maka ironis saat lagu kebangsaan terlupa justru dalam ritus melawan lupa. Maka, kita patut mempertanyakan kesadaran kita sebagai bangsa.
Kesadaran untuk ingat sebagai bangsa ternyata tertumpuk kesadaran untuk ingat yang lain. Dan nasionalisme tidak lebih besar ketimbang kesadaran untuk rutinitas baru yang mengatasnamakan demokrasi. Tiap hari elite sibuk kampanye untuk meningkatkan citra. Pebisnis sibuk menggagas pencitraan yang menarik dalam pemasaran calon kepala negara dan kepala daerah. Para selebritas akademisi rutin membangun retorika baru sebagai produk yang dipertontonkan. Lembaga swadaya masyarakat bermodal pengetahuan statistik sibuk mengiklankan diri sebagai akurat dan ahli mengantar orang menjadi pemimpin. Tiap warga sibuk mencari posisi dalam kursi publik. Kita telah berlarut-larut dengan atribut-atribut itu dan melupakan esensi keindonesiaan. Setelah sekian lama kita berlalu, kita patut mempertanyakan kembali pembangunan semangat kebangsaan selama ini.
Saifur Rohman Alumnus Filsafat UGM; Bekerja dan Menetap di Semarang
Gambar atas : Peristiwa yang seharusnya tidak boleh dilupakan. Diiringi lagu Indonesia Raya, pada tanggal 27 Desember 1949, untuk pertama kali Sang Saka Merah Putih dinaikkan dan berkibar diatas puncak Istana Merdeka. Hal ini disambut rakyat dengan gegap gempita. Foto, capture dari film Belanda : souvereiniteit overdracht
Mengenang Diplomat Critchley
Kompas Cetak 21 Agustus 2009
Mengenang Diplomat Critchley
Jumat, 21 Agustus 2009 04:41 WIB
Oleh : Rosihan Anwar
Akhir Juli lalu, TV One mewawancarai saya, siapa orang asing yang mendukung perjuangan Indonesia pada masa perang kemerdekaan? Saya sebut beberapa nama, antara lain Kolonel Laurens van der Post (Inggris), saudagar Jack Abbott (Amerika Serikat), diplomat Thomas Critchley (Australia), Kapten Sen Gupta (India), pengusaha Biju Patnaik (India), dan wartawan Frans Goedhart (Belanda). Tak lama kemudian, saya menerima berita sedih dari Susan di Sydney. Ia mengabarkan, suaminya, Thomas Kingston Critchley, meninggal dunia pada 14 Juli 2009 dalam usia 93 tahun. Sebelum menikah, Susan adalah warga negara AS. Dia bekerja sebagai sekretaris di Perwakilan Indonesia di New York yang dipimpin oleh LN Palar dengan staf Dr Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Charles Tambu. Tanggal 24 Agustus mendatang, Susan mengadakan pertemuan di Pilu Restaurant, Freshwater, untuk mengenang Thomas Critchley. Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 31 tahun datang ke Indonesia setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Kendati ada Persetujuan Linggajati yang ditandatangani 25 Maret 1947 dalam Istana di Jakarta, hal itu tidak menghalangi militer Belanda untuk menyapu bersih Indonesia dengan peperangan.
Menunjuk Australia
Belanda menunjuk Belgia untuk mewakilinya pada Komite ini dan Indonesia menunjuk Australia. Kedua negara itu kemudian bersama-sama menunjuk Amerika Serikat. Delegasi Australia diwakili Justice Richard C Kirby dengan Thomas Critchley sebagai deputinya. Indonesia memilih Australia karena negeri ini mendukung kuat perjuangan Indonesia. Serikat buruh Australia terkenal sebagai pemboikot pemuatan ke dalam kapal-kapal Belanda barang-barang untuk digunakan mengembalikan penjajahannya. Ternyata Komite Jasa Baik tidak berdaya karena disabot Belanda yang memang tidak mempunyai maksud baik. Belanda terus menuduh Indonesia melanggar ketentuan gencatan senjata dan memajukan tafsirannya sendiri mengenai pasal-pasal Persetujuan Renville. Dalam keadaan buntu itu, wakil Amerika Serikat dalam Komite, Court DuBois, yang sebelum perang pernah menjadi Konjen AS di Hindia Belanda, bersama Critchley menyusun sebuah rencana usul kompromi guna mengatasi kebuntuan. Prinsip-prinsip itu dikenal sebagai DuBois-Critchley Plan yang disampaikan secara privat kepada delegasi Belanda dan Indonesia tanggal 19 Juni 1948. Dasar Belanda tidak mau menerima, lalu diputuskan perundingan dengan Indonesia dengan memakai alasan ”DuBois telah membocorkan isinya kepada Daniel Schorr, koresponden majalah Amerika, Time, di Jakarta”.
DuBois menyangkal keras sudah menjadi pembocor rencana itu. Yang sebenarnya terjadi ialah Belanda telah memata-matai berita/tulisan koresponden luar negeri yang dikirim melalui kantor pos. Belanda-lah yang membocorkan kepada Daniel Schorr. Notabene berita itu tidak sampai dimuat oleh Time. Belanda terus memojokkan Indonesia. Blokade angkatan lautnya diperketat sehingga praktis tidak ada barang yang keluar atau masuk melalui pelabuhan yang masih dikuasai Indonesia. DuBois kembali ke AS karena kesehatannya terganggu. Kedudukannya digantikan Dr Graham yang terkenal karena ucapannya kepada Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan di atas kapal Renville, ”You are what you are”. Justice Kirby kembali ke Australia digantikan Tom Critchley.
Belanda melancarkan aksi militer kedua tanggal 19 Desember 1948. Pimpinan pemerintah agung Indonesia ditangkap militer Belanda dan diasingkan ke Prapat dan Bangka. Kembali Dewan Keamanan PBB turun tangan dalam konflik Indonesia-Belanda. Pasal 17 Persetujuan Linggajati mengenai soal arbitrase telah membuat soal Indonesia menjadi masalah internasional Komite Jasa Baik diubah namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1948-1950. Ketua delegasi Amerika Serikat adalah Merle Cochran dan ketua delegasi Australia Tom Critchley. Kedua diplomat itu memegang peran membawa Belanda dan Indonesia berunding kembali.
Bintang jasa utama
Sebagai wartawan yang meliput KMB, saya lihat Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 33 tahun dengan percaya diri penuh ikut mengemudikan konferensi sampai berhasil. Thomas Critchley hilang dari radar pemantauan saya. Dia menjabat sebagai Duta Besar di Kuala Lumpur sewaktu Indonesia mengganyang proyek kolonialisme Malaysia. Thomas Critchley kembali ke Indonesia sebagai Duta Besar (1978-1981) dan menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk merapatkan hubungan Australia-Indonesia. Pada tahun 1992 Thomas Critchley dianugerahi Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia. Upacara penyerahan penghargaan dilaksanakan di Sydney oleh Dubes Indonesia Sabam Siagian yang mengatur, agar mobil yang menjemput Critchley mengibarkan bendera Sang Merah Putih sebagai pernyataan kehormatan bagi Critchley yang menjadi amat terharu oleh beau geste itu. Tom dan Susan bersahabat baik dengan keluarga kami. Pernah dengan menyetir mobil sendiri, Dubes Australia itu membawa istri dan putra-putrinya bersilaturahim ke rumah kami. Terakhir kami bertemu dengan Tom dan Susan saat Zuraida dan saya diundang menghadiri dinner, ketika kami menghadiri Festival Film Asia Pasifik ke-39 di Sydney, Agustus 1994. Dalam Sydney Morning Herald saat itu ada kritik ke alamat Indonesia bertalian dengan soal Timor Timur. Namun, Tom tidak bicara soal politik untuk menjaga suasana batin akrab pada santap malam yang juga dihadiri Ratih Harjono dan ibunya, saat itu koresponden Kompas di Australia. Begitulah sikap Tom Critchley. Selalu diplomatis dan bijaksana (tactful). Kami dari generasi zaman Revolusi mengenang jasa-jasamu bagi perjuangan Republik Indonesia.
Semoga Tuhan memberkatimu, Tom.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
Mengenang Diplomat Critchley
Jumat, 21 Agustus 2009 04:41 WIB
Oleh : Rosihan Anwar
Akhir Juli lalu, TV One mewawancarai saya, siapa orang asing yang mendukung perjuangan Indonesia pada masa perang kemerdekaan? Saya sebut beberapa nama, antara lain Kolonel Laurens van der Post (Inggris), saudagar Jack Abbott (Amerika Serikat), diplomat Thomas Critchley (Australia), Kapten Sen Gupta (India), pengusaha Biju Patnaik (India), dan wartawan Frans Goedhart (Belanda). Tak lama kemudian, saya menerima berita sedih dari Susan di Sydney. Ia mengabarkan, suaminya, Thomas Kingston Critchley, meninggal dunia pada 14 Juli 2009 dalam usia 93 tahun. Sebelum menikah, Susan adalah warga negara AS. Dia bekerja sebagai sekretaris di Perwakilan Indonesia di New York yang dipimpin oleh LN Palar dengan staf Dr Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Charles Tambu. Tanggal 24 Agustus mendatang, Susan mengadakan pertemuan di Pilu Restaurant, Freshwater, untuk mengenang Thomas Critchley. Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 31 tahun datang ke Indonesia setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Kendati ada Persetujuan Linggajati yang ditandatangani 25 Maret 1947 dalam Istana di Jakarta, hal itu tidak menghalangi militer Belanda untuk menyapu bersih Indonesia dengan peperangan.
Menunjuk Australia
Belanda menunjuk Belgia untuk mewakilinya pada Komite ini dan Indonesia menunjuk Australia. Kedua negara itu kemudian bersama-sama menunjuk Amerika Serikat. Delegasi Australia diwakili Justice Richard C Kirby dengan Thomas Critchley sebagai deputinya. Indonesia memilih Australia karena negeri ini mendukung kuat perjuangan Indonesia. Serikat buruh Australia terkenal sebagai pemboikot pemuatan ke dalam kapal-kapal Belanda barang-barang untuk digunakan mengembalikan penjajahannya. Ternyata Komite Jasa Baik tidak berdaya karena disabot Belanda yang memang tidak mempunyai maksud baik. Belanda terus menuduh Indonesia melanggar ketentuan gencatan senjata dan memajukan tafsirannya sendiri mengenai pasal-pasal Persetujuan Renville. Dalam keadaan buntu itu, wakil Amerika Serikat dalam Komite, Court DuBois, yang sebelum perang pernah menjadi Konjen AS di Hindia Belanda, bersama Critchley menyusun sebuah rencana usul kompromi guna mengatasi kebuntuan. Prinsip-prinsip itu dikenal sebagai DuBois-Critchley Plan yang disampaikan secara privat kepada delegasi Belanda dan Indonesia tanggal 19 Juni 1948. Dasar Belanda tidak mau menerima, lalu diputuskan perundingan dengan Indonesia dengan memakai alasan ”DuBois telah membocorkan isinya kepada Daniel Schorr, koresponden majalah Amerika, Time, di Jakarta”.
DuBois menyangkal keras sudah menjadi pembocor rencana itu. Yang sebenarnya terjadi ialah Belanda telah memata-matai berita/tulisan koresponden luar negeri yang dikirim melalui kantor pos. Belanda-lah yang membocorkan kepada Daniel Schorr. Notabene berita itu tidak sampai dimuat oleh Time. Belanda terus memojokkan Indonesia. Blokade angkatan lautnya diperketat sehingga praktis tidak ada barang yang keluar atau masuk melalui pelabuhan yang masih dikuasai Indonesia. DuBois kembali ke AS karena kesehatannya terganggu. Kedudukannya digantikan Dr Graham yang terkenal karena ucapannya kepada Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan di atas kapal Renville, ”You are what you are”. Justice Kirby kembali ke Australia digantikan Tom Critchley.
Belanda melancarkan aksi militer kedua tanggal 19 Desember 1948. Pimpinan pemerintah agung Indonesia ditangkap militer Belanda dan diasingkan ke Prapat dan Bangka. Kembali Dewan Keamanan PBB turun tangan dalam konflik Indonesia-Belanda. Pasal 17 Persetujuan Linggajati mengenai soal arbitrase telah membuat soal Indonesia menjadi masalah internasional Komite Jasa Baik diubah namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1948-1950. Ketua delegasi Amerika Serikat adalah Merle Cochran dan ketua delegasi Australia Tom Critchley. Kedua diplomat itu memegang peran membawa Belanda dan Indonesia berunding kembali.
Bintang jasa utama
Sebagai wartawan yang meliput KMB, saya lihat Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 33 tahun dengan percaya diri penuh ikut mengemudikan konferensi sampai berhasil. Thomas Critchley hilang dari radar pemantauan saya. Dia menjabat sebagai Duta Besar di Kuala Lumpur sewaktu Indonesia mengganyang proyek kolonialisme Malaysia. Thomas Critchley kembali ke Indonesia sebagai Duta Besar (1978-1981) dan menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk merapatkan hubungan Australia-Indonesia. Pada tahun 1992 Thomas Critchley dianugerahi Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia. Upacara penyerahan penghargaan dilaksanakan di Sydney oleh Dubes Indonesia Sabam Siagian yang mengatur, agar mobil yang menjemput Critchley mengibarkan bendera Sang Merah Putih sebagai pernyataan kehormatan bagi Critchley yang menjadi amat terharu oleh beau geste itu. Tom dan Susan bersahabat baik dengan keluarga kami. Pernah dengan menyetir mobil sendiri, Dubes Australia itu membawa istri dan putra-putrinya bersilaturahim ke rumah kami. Terakhir kami bertemu dengan Tom dan Susan saat Zuraida dan saya diundang menghadiri dinner, ketika kami menghadiri Festival Film Asia Pasifik ke-39 di Sydney, Agustus 1994. Dalam Sydney Morning Herald saat itu ada kritik ke alamat Indonesia bertalian dengan soal Timor Timur. Namun, Tom tidak bicara soal politik untuk menjaga suasana batin akrab pada santap malam yang juga dihadiri Ratih Harjono dan ibunya, saat itu koresponden Kompas di Australia. Begitulah sikap Tom Critchley. Selalu diplomatis dan bijaksana (tactful). Kami dari generasi zaman Revolusi mengenang jasa-jasamu bagi perjuangan Republik Indonesia.
Semoga Tuhan memberkatimu, Tom.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
Tuesday, 11 August 2009
Yang muda yang bergerilya
Para pemuda zaman sekarang sering bertanya, bagaimana pemuda dizaman perjuangan dahulu ? Maka saya memperlihatkan foto-foto koleksi yang saya miliki seperti diatas. Foto ini saya dapat tentu saja dari para pelaku yang kebanyakan sudah tiada. Pada gambar ini adalah pasukan SWK (Sub Wehr Kreise) 106 didaerah Solo. Tampak pakaian dinas militer, peci model prahu (muts) berwarna hitam, senjata ringan sampai berat yang dimiliki dan tentu saja sepatu yang cukup lumayan. Tidak sedikit yang pasang gaya dengan topi baja atau baret. Tapi yang pasti mereka adalah yang muda yang bergerilya dan gembira. Banyak dari mereka yang setelah pengakuan kedaulatan 1949, kemudian kembali ke sekolah atau melanjutkan ke Universitas. Tidak sedikit yang kemudian berhasil meraih titel sarjana.
Monday, 10 August 2009
Film Merah Putih
Sebentar lagi kita bisa menonton sebuah film Epos Perang Kemerdekaan berjudul "Merah Putih". Film yang dibuat PT Media Desa boleh diacungkan jempol karena berani membuat film perjuangan dengan beaya besar. Kritikan pasti akan berdatangan karena film dibuat dengan seting sebuan kesatuan tentara yang sudah amat sempurna dalam pencitraan visualnya. Bagus sekali dilihat dari tenik pengambilan gambar maupun jalan ceritanya. Tapi bagi yang tahu bagaimana situasi kondisi tentara kita pada periode 1945-1949 film ini bagaikan bercerita dinegara lain. Untuk lengkapnya lihat http://www.youtube.com/watch?v=vAB_RPzA0Og. Foto atas adalah poster film Merah Putih yang bagus itu dan disebelah kanan foto Ipphos kira-kira pada bulan September tahun 1946. Peristiwanya "Parade pada upacara pembentukan Badan Kelaskaran Pusat di Yogyakarta". Foto macam ini cuma bisa dilihat di Museum barangkali.
Untuk Sang Merah Putih
Pada tahun 50-an ada film yang dibuat kalau tidak salah oleh PERFINI. Judulnya "Untuk Sang Merah Putih" pemeran utamanya Chatir Charo. Dalam film, Sutradara Usmar Ismail juga mementaskan konflik-konflik sosial dalam kancah Revolusi Kemerdekaan. Tahun 2009 dalam rangka menyambut Kemerdekaan Indonesia ke 64, diputar film "Merah Putih" yang kemungkinan juga memunculkan konflik sosial pada zaman perang kemerdekaan. Mampukah film Merah Putih 2009 ini mewakili semangat zaman saat itu ? Kita lihat saja bagaimana reaksi masyarakat menanggapi atau mengkritisi film ini. Mungkin yang penting, janganlah kita memadamkan semangat baru para produser ini untuk mengangkat film-film perjuangan kontemporer itu. Keterangan gambar : atas, foto yang dibuat tahun 1949 ketika pasukan Tentara Pelajar dibawah Brigade 17 memasuki kota Purwokerto dari Medan Gerilya. Tampak wajah mereka begitu muda tapi penuh semangat. Foto bawah, salah satu adegan dari film Merah Putih. Pakaian dinasnya bagus ya. Pake dasi lagi. Saya yakin semangat untuk mensukseskan film inipun juga besar
Pasukan Pengawal Presiden RI tahun 1945
Menurut Soediro (mantan Walikota Jakarta tahun 50-an), Setelah Proklamasi, dr Muwardi memilih sejumlah juru pencak silat dibawah pimpinan Sumartojo. Dengan hanya bersenjata golok dan bambu runcing, dimulailah kegiatan Pengawalan Presiden RI, Soekarno. Foto ini ada dikoleksi Museum Bronbeek Belanda. Penjelasannya, menggambarkan para Pas.Wal.Pres tahun 1945 dimuka Rumah Proklamasi, jalan Pegangsaan Timur (kini jalan Proklamasi) no.56 Jakarta. Mungkinkah mereka itu yang disebut dalam bukunya Soediro "Sekitar Proklamasi". Kalau benar, seyogyanya mereka ini mendapat bintang jasa pemerintah.
Subscribe to:
Posts (Atom)