Kompas Cetak 21 Agustus 2009
Mengenang Diplomat Critchley
Jumat, 21 Agustus 2009 04:41 WIB
Oleh : Rosihan Anwar
Akhir Juli lalu, TV One mewawancarai saya, siapa orang asing yang mendukung perjuangan Indonesia pada masa perang kemerdekaan? Saya sebut beberapa nama, antara lain Kolonel Laurens van der Post (Inggris), saudagar Jack Abbott (Amerika Serikat), diplomat Thomas Critchley (Australia), Kapten Sen Gupta (India), pengusaha Biju Patnaik (India), dan wartawan Frans Goedhart (Belanda). Tak lama kemudian, saya menerima berita sedih dari Susan di Sydney. Ia mengabarkan, suaminya, Thomas Kingston Critchley, meninggal dunia pada 14 Juli 2009 dalam usia 93 tahun. Sebelum menikah, Susan adalah warga negara AS. Dia bekerja sebagai sekretaris di Perwakilan Indonesia di New York yang dipimpin oleh LN Palar dengan staf Dr Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Charles Tambu. Tanggal 24 Agustus mendatang, Susan mengadakan pertemuan di Pilu Restaurant, Freshwater, untuk mengenang Thomas Critchley. Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 31 tahun datang ke Indonesia setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Kendati ada Persetujuan Linggajati yang ditandatangani 25 Maret 1947 dalam Istana di Jakarta, hal itu tidak menghalangi militer Belanda untuk menyapu bersih Indonesia dengan peperangan.
Menunjuk Australia
Belanda menunjuk Belgia untuk mewakilinya pada Komite ini dan Indonesia menunjuk Australia. Kedua negara itu kemudian bersama-sama menunjuk Amerika Serikat. Delegasi Australia diwakili Justice Richard C Kirby dengan Thomas Critchley sebagai deputinya. Indonesia memilih Australia karena negeri ini mendukung kuat perjuangan Indonesia. Serikat buruh Australia terkenal sebagai pemboikot pemuatan ke dalam kapal-kapal Belanda barang-barang untuk digunakan mengembalikan penjajahannya. Ternyata Komite Jasa Baik tidak berdaya karena disabot Belanda yang memang tidak mempunyai maksud baik. Belanda terus menuduh Indonesia melanggar ketentuan gencatan senjata dan memajukan tafsirannya sendiri mengenai pasal-pasal Persetujuan Renville. Dalam keadaan buntu itu, wakil Amerika Serikat dalam Komite, Court DuBois, yang sebelum perang pernah menjadi Konjen AS di Hindia Belanda, bersama Critchley menyusun sebuah rencana usul kompromi guna mengatasi kebuntuan. Prinsip-prinsip itu dikenal sebagai DuBois-Critchley Plan yang disampaikan secara privat kepada delegasi Belanda dan Indonesia tanggal 19 Juni 1948. Dasar Belanda tidak mau menerima, lalu diputuskan perundingan dengan Indonesia dengan memakai alasan ”DuBois telah membocorkan isinya kepada Daniel Schorr, koresponden majalah Amerika, Time, di Jakarta”.
DuBois menyangkal keras sudah menjadi pembocor rencana itu. Yang sebenarnya terjadi ialah Belanda telah memata-matai berita/tulisan koresponden luar negeri yang dikirim melalui kantor pos. Belanda-lah yang membocorkan kepada Daniel Schorr. Notabene berita itu tidak sampai dimuat oleh Time. Belanda terus memojokkan Indonesia. Blokade angkatan lautnya diperketat sehingga praktis tidak ada barang yang keluar atau masuk melalui pelabuhan yang masih dikuasai Indonesia. DuBois kembali ke AS karena kesehatannya terganggu. Kedudukannya digantikan Dr Graham yang terkenal karena ucapannya kepada Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan di atas kapal Renville, ”You are what you are”. Justice Kirby kembali ke Australia digantikan Tom Critchley.
Belanda melancarkan aksi militer kedua tanggal 19 Desember 1948. Pimpinan pemerintah agung Indonesia ditangkap militer Belanda dan diasingkan ke Prapat dan Bangka. Kembali Dewan Keamanan PBB turun tangan dalam konflik Indonesia-Belanda. Pasal 17 Persetujuan Linggajati mengenai soal arbitrase telah membuat soal Indonesia menjadi masalah internasional Komite Jasa Baik diubah namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1948-1950. Ketua delegasi Amerika Serikat adalah Merle Cochran dan ketua delegasi Australia Tom Critchley. Kedua diplomat itu memegang peran membawa Belanda dan Indonesia berunding kembali.
Bintang jasa utama
Sebagai wartawan yang meliput KMB, saya lihat Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 33 tahun dengan percaya diri penuh ikut mengemudikan konferensi sampai berhasil. Thomas Critchley hilang dari radar pemantauan saya. Dia menjabat sebagai Duta Besar di Kuala Lumpur sewaktu Indonesia mengganyang proyek kolonialisme Malaysia. Thomas Critchley kembali ke Indonesia sebagai Duta Besar (1978-1981) dan menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk merapatkan hubungan Australia-Indonesia. Pada tahun 1992 Thomas Critchley dianugerahi Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia. Upacara penyerahan penghargaan dilaksanakan di Sydney oleh Dubes Indonesia Sabam Siagian yang mengatur, agar mobil yang menjemput Critchley mengibarkan bendera Sang Merah Putih sebagai pernyataan kehormatan bagi Critchley yang menjadi amat terharu oleh beau geste itu. Tom dan Susan bersahabat baik dengan keluarga kami. Pernah dengan menyetir mobil sendiri, Dubes Australia itu membawa istri dan putra-putrinya bersilaturahim ke rumah kami. Terakhir kami bertemu dengan Tom dan Susan saat Zuraida dan saya diundang menghadiri dinner, ketika kami menghadiri Festival Film Asia Pasifik ke-39 di Sydney, Agustus 1994. Dalam Sydney Morning Herald saat itu ada kritik ke alamat Indonesia bertalian dengan soal Timor Timur. Namun, Tom tidak bicara soal politik untuk menjaga suasana batin akrab pada santap malam yang juga dihadiri Ratih Harjono dan ibunya, saat itu koresponden Kompas di Australia. Begitulah sikap Tom Critchley. Selalu diplomatis dan bijaksana (tactful). Kami dari generasi zaman Revolusi mengenang jasa-jasamu bagi perjuangan Republik Indonesia.
Semoga Tuhan memberkatimu, Tom.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
Mengenang Diplomat Critchley
Jumat, 21 Agustus 2009 04:41 WIB
Oleh : Rosihan Anwar
Akhir Juli lalu, TV One mewawancarai saya, siapa orang asing yang mendukung perjuangan Indonesia pada masa perang kemerdekaan? Saya sebut beberapa nama, antara lain Kolonel Laurens van der Post (Inggris), saudagar Jack Abbott (Amerika Serikat), diplomat Thomas Critchley (Australia), Kapten Sen Gupta (India), pengusaha Biju Patnaik (India), dan wartawan Frans Goedhart (Belanda). Tak lama kemudian, saya menerima berita sedih dari Susan di Sydney. Ia mengabarkan, suaminya, Thomas Kingston Critchley, meninggal dunia pada 14 Juli 2009 dalam usia 93 tahun. Sebelum menikah, Susan adalah warga negara AS. Dia bekerja sebagai sekretaris di Perwakilan Indonesia di New York yang dipimpin oleh LN Palar dengan staf Dr Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Charles Tambu. Tanggal 24 Agustus mendatang, Susan mengadakan pertemuan di Pilu Restaurant, Freshwater, untuk mengenang Thomas Critchley. Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 31 tahun datang ke Indonesia setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Kendati ada Persetujuan Linggajati yang ditandatangani 25 Maret 1947 dalam Istana di Jakarta, hal itu tidak menghalangi militer Belanda untuk menyapu bersih Indonesia dengan peperangan.
Menunjuk Australia
Belanda menunjuk Belgia untuk mewakilinya pada Komite ini dan Indonesia menunjuk Australia. Kedua negara itu kemudian bersama-sama menunjuk Amerika Serikat. Delegasi Australia diwakili Justice Richard C Kirby dengan Thomas Critchley sebagai deputinya. Indonesia memilih Australia karena negeri ini mendukung kuat perjuangan Indonesia. Serikat buruh Australia terkenal sebagai pemboikot pemuatan ke dalam kapal-kapal Belanda barang-barang untuk digunakan mengembalikan penjajahannya. Ternyata Komite Jasa Baik tidak berdaya karena disabot Belanda yang memang tidak mempunyai maksud baik. Belanda terus menuduh Indonesia melanggar ketentuan gencatan senjata dan memajukan tafsirannya sendiri mengenai pasal-pasal Persetujuan Renville. Dalam keadaan buntu itu, wakil Amerika Serikat dalam Komite, Court DuBois, yang sebelum perang pernah menjadi Konjen AS di Hindia Belanda, bersama Critchley menyusun sebuah rencana usul kompromi guna mengatasi kebuntuan. Prinsip-prinsip itu dikenal sebagai DuBois-Critchley Plan yang disampaikan secara privat kepada delegasi Belanda dan Indonesia tanggal 19 Juni 1948. Dasar Belanda tidak mau menerima, lalu diputuskan perundingan dengan Indonesia dengan memakai alasan ”DuBois telah membocorkan isinya kepada Daniel Schorr, koresponden majalah Amerika, Time, di Jakarta”.
DuBois menyangkal keras sudah menjadi pembocor rencana itu. Yang sebenarnya terjadi ialah Belanda telah memata-matai berita/tulisan koresponden luar negeri yang dikirim melalui kantor pos. Belanda-lah yang membocorkan kepada Daniel Schorr. Notabene berita itu tidak sampai dimuat oleh Time. Belanda terus memojokkan Indonesia. Blokade angkatan lautnya diperketat sehingga praktis tidak ada barang yang keluar atau masuk melalui pelabuhan yang masih dikuasai Indonesia. DuBois kembali ke AS karena kesehatannya terganggu. Kedudukannya digantikan Dr Graham yang terkenal karena ucapannya kepada Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan di atas kapal Renville, ”You are what you are”. Justice Kirby kembali ke Australia digantikan Tom Critchley.
Belanda melancarkan aksi militer kedua tanggal 19 Desember 1948. Pimpinan pemerintah agung Indonesia ditangkap militer Belanda dan diasingkan ke Prapat dan Bangka. Kembali Dewan Keamanan PBB turun tangan dalam konflik Indonesia-Belanda. Pasal 17 Persetujuan Linggajati mengenai soal arbitrase telah membuat soal Indonesia menjadi masalah internasional Komite Jasa Baik diubah namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1948-1950. Ketua delegasi Amerika Serikat adalah Merle Cochran dan ketua delegasi Australia Tom Critchley. Kedua diplomat itu memegang peran membawa Belanda dan Indonesia berunding kembali.
Bintang jasa utama
Sebagai wartawan yang meliput KMB, saya lihat Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 33 tahun dengan percaya diri penuh ikut mengemudikan konferensi sampai berhasil. Thomas Critchley hilang dari radar pemantauan saya. Dia menjabat sebagai Duta Besar di Kuala Lumpur sewaktu Indonesia mengganyang proyek kolonialisme Malaysia. Thomas Critchley kembali ke Indonesia sebagai Duta Besar (1978-1981) dan menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk merapatkan hubungan Australia-Indonesia. Pada tahun 1992 Thomas Critchley dianugerahi Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia. Upacara penyerahan penghargaan dilaksanakan di Sydney oleh Dubes Indonesia Sabam Siagian yang mengatur, agar mobil yang menjemput Critchley mengibarkan bendera Sang Merah Putih sebagai pernyataan kehormatan bagi Critchley yang menjadi amat terharu oleh beau geste itu. Tom dan Susan bersahabat baik dengan keluarga kami. Pernah dengan menyetir mobil sendiri, Dubes Australia itu membawa istri dan putra-putrinya bersilaturahim ke rumah kami. Terakhir kami bertemu dengan Tom dan Susan saat Zuraida dan saya diundang menghadiri dinner, ketika kami menghadiri Festival Film Asia Pasifik ke-39 di Sydney, Agustus 1994. Dalam Sydney Morning Herald saat itu ada kritik ke alamat Indonesia bertalian dengan soal Timor Timur. Namun, Tom tidak bicara soal politik untuk menjaga suasana batin akrab pada santap malam yang juga dihadiri Ratih Harjono dan ibunya, saat itu koresponden Kompas di Australia. Begitulah sikap Tom Critchley. Selalu diplomatis dan bijaksana (tactful). Kami dari generasi zaman Revolusi mengenang jasa-jasamu bagi perjuangan Republik Indonesia.
Semoga Tuhan memberkatimu, Tom.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
No comments:
Post a Comment