Sejarah Bioskop di Bulan Film
Hitung punya hitung, usia bioskop di Indonesia sudah lebih dari satu abad. Hampir 110 tahun, jika dirunut dari pemutaran film pertama di sebuah rumah di kawasan Kebondjae, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 5 Desember 1900. Harga tiket pada saat itu adalah setengah gulden hingga 2 gulden. Dan yang diputar adalah film bisu, hitam-putih, berisi kedatangan "Sribaginda Maharatoe Olanda bersama-sama Jang Moelja Hertog Hendrik" ke kota Den Haag.Sebelum itu, konsep pertunjukan film atau yang lebih dikenal dengan istilah gambar idoep lebih seperti bioskop keliling. Yakni dengan mendirikan bangunan sederhana berdinding gedek dan beratap seng di lapangan terbuka, seperti di Pasar Gambir, di muka Stasiun Kota, dan Lokasari di Mangga Besar. Dengan begitu, lokasi "bioskop sementara" itu selalu berubah-ubah.Berdasarkan catatan sejarah itu, awal mula kehadiran bioskop di Tanah Air terhitung hanya berselang empat tahun setelah kelahiran bioskop pertama di dunia. Banyak literatur menyebut tanggal 1 Januari 1896 sebagai hari kelahiran bioskop di dunia. Ketika itu, Auguste dan Louis Lumiere pertama kali mempertontonkan gambar hidup dengan tiket di Grand Cafe, Boulevad des Capucines, Paris, Prancis.Arsip sejarah yang menghubungkan keterangan waktu kelahiran bioskop pertama di dunia dan di Indonesia itu adalah petikan awal materi "Pameran Sejarah Bioskop Indonesia". Pameran ini digelar di selasar Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, sepanjang Maret tahun ini. Bulan Maret disepakati sebagai Bulan Film Nasional. Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, momen itu diperingati dengan rangkaian acara yang mengambil tema "Sejarah Adalah Sekarang".Selain "Pameran Sejarah Film Indonesia", perhelatan yang diprakarsai Kineforum dan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta itu juga menyelenggarakan pemutaran film-film Indonesia dari berbagai periode dengan berbagai tema.Selain itu, perhelatan "Sejarah Adalah Sekarang" yang memasuki tahun keempat penyelenggaraannya ini juga menghadirkan sejarah industri musik Indonesia yang berkaitan dengan produksi film. Penelusurannya dilakukan dalam format diskusi, konser musik, pesta kostum, dan --tentu saja-- pemutaran film yang diwakili Duo Kribo (1977) dan Ambisi (1973).Bulan Film Indonesia ini juga mengenang dan mengapresiasi almarhum Soekarno M. Noer. Ia seorang aktor watak yang kuat, dan kemampuan aktingnya dinilai membawa dinamika dalam khazanah seni peran di film-film Indonesia selama tiga dekade. Dalam sesi "Body of Works: Soekarno M. Noer", diputar tujuh film yang dibintangi ayah aktor Rano Karno ini. Antara lain Pagar Kawat Berduri (1961) dan Opera Jakarta (1985).Ardi Yunanto, kurator dan anggota tim riset pameran sejarah bioskop di Indonesia, menyebutkan bahwa pameran ini rutin digelar sebagai bagian program peringatan Bulan Film Indonesia sejak 2008. Dari tahun ke tahun, materi informasi dalam pameran ini diperbarui dan ditambahkan.Tidak ada strategi khusus yang dikembangkan untuk menunjang riset pameran sejarah bioskop ini. Maklum, biaya yang tersedia sangat terbatas. Tahun 2010 ini, misalnya, pameran ini hanya mendapat jatah Rp 10 juta. Uang sebesar itu sebagian besar dialokasikan untuk ongkos mendisplai pameran.Pameran sejarah bioskop di Indonesia dikemas secara sederhana. Panel-panel disusun memanjang dan di dalamnya termuat informasi sejarah yang disusun secara kronologis dari tahun 1891 hingga 2009. Informasi sejarah bioskop ditempatkan di atas garis waktu. Sedangkan di bawah garis waktu, terpapar petikan informasi sejarah sosial-politik di Indonesia dan dunia. Di antara itu, disisipkan foto dan teks tentang gedung-gedung bioskop dari zaman baheula yang didapat dari Sinematek Indonesia.Hal yang membedakan pameran pada tahun ini dari tahun-tahun sebelumnya, menurut Ardi, adalah penambahan informasi sejarah bioskop dalam rentang 1900-1970-an. Dan satu lagi modus yang bahkan tidak ada dalam pameran sebelumnya, yakni pemaparan informasi sejarah sosial-politik yang seolah menyertai perkembangan sejarah bioskop di Indonesia.Disebut "seolah", karena meski berada dalam satu garis waktu, kenyataannya hampir seluruh petilan informasi sejarah sosial-politik yang dipilih tidak memiliki relasi dengan teks sejarah bioskop. Misalnya, tahun 1920, teks sejarah bioskop memuat kelahiran Bioskop Concordia yang kini menjadi Gedung Merdeka di Bandung dan kelahiran Bioskop Elite di kawasan Pintu Air, Jakarta. Teks sosial-politik untuk tahun yang sama memuat informasi tentang William L. Potts, seorang polisi Amerika Serikat yang menciptakan lampu lalu lintas otomatis pertama untuk mobil.Atau informasi tentang kelahiran Masyarakat Film Indonesia pada 3 Januari 2007 yang diawali dengan protes sekelompok sineas atas terpilihnya film Eskul yang dianggap "plagiat" sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2006. Informasi sosial-politik yang "mengiringi" data itu adalah tentang sekitar 1.000 anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota dari seluruh Indonesia yang melakukan protes dan demonstrasi untuk merevisi PP Nomor 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, yang mereka nilai "menyunat" uang tunjangan komunikasi.Dengan begitu, informasi sosial-politik yang terpapar dalam pameran ini lebih berperan sebagai informasi pembanding atas sejarah bioskop. Seperti air dan minyak dengan berat jenis berbeda. Selain itu, metode pemutakhiran dan pengelolaan data dalam pameran ini terasa lebih berorientasi pada catatan masa lalu. Para peneliti sempat memutakhirkan temuan informasi seputar bioskop pada kurun 1900-1970-an, tapi luput mencatat kejadian aktual.Pada Januari-Februari 2010, Pemerintah Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, tercatat "menggusur" dan membongkar tiga bangunan bersejarah bekas bioskop: Benteng Hebe, Garuda, dan Surya, yang berusia rata-rata satu abad. Di lokasi dua bioskop yang terakhir disebutkan akan didirikan gedung pertemuan, sedangkan bangunan eks Bioskop Benteng Hebe malah tercatat dalam daftar cagar budaya. Informasi itu luput dalam entry pameran sejarah bioskop tahun 2010 ini.Sebagai catatan, informasi paling buncit tentang sejarah bioskop dalam pameran ini adalah mengenai upaya peninjauan kembali Undang-Undang Perfilman yang mengemuka dalam pertemuan 32 pemangku kepentingan film di kantor Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, Jakarta, pada 8 Oktober 2009.Namun, di luar itu, materi sejarah bioskop terasa asyik dan menggelitik untuk disimak. Seperti informasi pada akhir Desember 1929 yang menandai diputarnya film bitjara pertama di Indonesia. Ketika itu, Bioskop Oost Java dan Stadstuin, Surabaya, memutar film The Rainbow Man yang dibintangi Marion Nixon dan Franky Draro. Lahirnya bioskop-bioskop film bitjara ini membuat dialog-dialog dalam film asing tidak dimengerti oleh penonton pribumi.Ada juga informasi tentang gejala munculnya aktivitas seksual di dalam gedung bioskop mulai tahun 1920-an. Lahirnya undang-undang pertama tentang film dan bioskop pada 1916 yang berisi tentang pembentukan komisi pemeriksaan (sensor) film di Indonesia yang anggotanya ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal. Hingga larangan Pemerintah Indonesia atas keikutsertaan film Lewat Djam Malam dalam Festival Film Asia (FFA) pada 1955 yang memicu lahirnya Festival Film Indonesia pertama.Petilan-petilan informasi dalam "Pameran Sejarah Film Indonesia" adalah model perangkuman pencatatan sejarah yang sangat terbuka pada upaya-upaya pemutakhiran data. Sebuah prakarsa sederhana yang sangat berharga.
Oleh: Bambang Sulistiyo
No comments:
Post a Comment