Sunday, 30 July 2006

Lapangan VIOS

Sebelum perang, orang Belanda di Jakarta membentuk berbagai perkumpulan olah raga sepak bola. Salah satu perkumpulan yang terkenal adalah Voetbalbond Indische Omstreken Sport (VIOS). Mereka memiliki lapangan berlatih sendiri di Viosveld (lapangan Vios), yang kini dikenal dengan nama Stadion Menteng. Bagi yang belum tahu, lapangan ini terletak dijalan HOS Cokroaminoto no.87 sekarang. Setelah kemerdekaan lapangan Vios dipakai oleh PERSIJA (Persatuan sepak bola Jakarta). Persija didirikan pada tahun 1928, dengan cikal bakal bernama Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ). Lapangan berlatih saat itu dilapangan VIJ Petojo. VIJ merupakan salah satu klub yang ikut mendirikan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan keikutsertaan wakil VIJ, Mr.Soekardi dalam pembentukan PSSI di Societeit Hadiprojo Yogyakarta, Sabtu 19 April 1930. Kembali kepada lapangan orang Belanda Vios, disebelahnya ada biskop Menteng, sejumlah pertokoan dan tentu saja restoran. Restoran yang tekenal adalah sate kambing yang ada disisi sebelah kanan. Belakangan restoran sate kambing ini, digusur dan disitu berdiri Kentucky Fried Chicken (yang pertama di Jakarta). Kemudian semua gedung dibongkar dan berdiri pertokoan seperti sekarang. Tapi sampai tahun 80-an para penikmat Sop Kambing masih bisa menikmati restoran tenda itu diparkiran lapangan Vios. Lapangan Vios (3,5 Ha) yang kini memunculkan sengketa antara DKI jaya dan Persija, khabarnya akan dirubah menjadi Taman Menteng yang indah. Biayanya akan akan berjumlah 45 milyar. Mengenang Vios Veld dan biskop Menteng pada tahun 50-an sungguh menimba kenangan indah. Wilayah elit ini, sore hari penuh dengan kaum Indonesia baru yang lebih gengsi. Saat itu tidak terlalu aneh melihat masih banyak orang Belanda membaur dengan orang Indonesia yang berjalan. Kadang nampak suami istri sedang mendorong kereta bayi. Mereka berjalan ditrotoir, sambil mengumbar senyum dan kasi tabe. Tidak kurang orang Indonesia elit seperti Sjahrir ada diantara mereka. Sdikit lebih sore, lalu nonton film pada jam 19.00. Filmnya tentu saja film barat. Pada foto diatas yang dibuat pada tahun 1947, terlihat tentara Belanda naik Jeep. Pada latar belakang Bioskop Menteng yang sedang mempertunjukkan film "Mr Lucky" diperankan oleh Cary Grant. Rupanya untuk parkir, bioskop juga mempergunakan parkiran lapangan Vios. Coba lihat plakat : "Parkeer Plaats Autos, Vios Veld" Demikian tulisan ini dibuat sekedar kenangan, sebagai ucapan selamat tinggal pada Vios Veld yang sebentar lagi sudah tiada

Sunday, 23 July 2006

Sekitar Proklamasi 2


Dipenghujung berahirnya kekuasaan Kolonial Belanda di Indonesia (d/h Hindia Belanda) dan akan tibanya penguasa Jepang, Hatta dan Sjahrir sedang diasingkan di pulau Banda. Tiba-tiba saja mereka dipindahkan ke Jawa. Soekarno, Hatta dan Sjahrir adalah tokoh perintis kemerdekaan Republik Indonesia sebelum perang. Sjahrir lebih dahulu mengenal Soekarno di Bandung sebelum berangkat sekolah ke Belanda. Dengan Hatta Sjahrir justru bersahabat terutama berkaitan dengan kepengurusan Perhimpunan Indonesia. Banyak yang bilang kalau Hatta adalah mentor Sjahrir. Itulah sebabnya rupanya Sjahrir bersedia disuruh pulang ke Indonesia lebih dahulu untuk memimpin PNI Baru. Selama zaman Jepang keduanya menetap di Sukabumi. Tidak jelas adanya pernyataan resmi pemerintah balatentara Jepang kalau mereka sudah tidak berstatus tahanan lagai. Tapi kenyataanya mereka adalah orang-orang bebas, meskipun tetap diawasi. Hatta dalam waktu dekat segera bersedia bekerja sama dengan pemerintah. demikian pula Soekarno yang telah kembali dari Sumatera. Tapi Sjahrir menolak bekerja sama dengan pemerintah. Selama tahun 1943-1945 kerjanya dibawah tanah. Yang dimaksud dibawah tanah bukan berarti melakukan perlawanan bersenjata, tapi melakukan kegiatan ilegal terselubung, seperti mendengar radio gelap (radio resmi disegel gelombangnya) kemudian juga berhubungan dengan sejumlah orang-orang beraliran kiri termasuk kaum Indo serta beberapa ex KNIL. Tapi dengan orang-orang anti fasis ini hubungan tidak lama karena tidak lama kemudian mereka semua masuk bui. Sjahir juga melakukan pembinaan generasi muda. Generasi muda ini banyak merupakan ex binaan Amir Sjarifudin yang tidak beberapa lama Jepang masuk, dia ditangkap dan dipenjara. Sebabnya karena ketahuan memiliki kegiatan untuk melawan fasis. Prinsip Sjahrir rupanya tidak berubah. Dia Sosialis, anti fasis, namun bercita-cita untuk kemerdekaan. Ketika Soekarno-Hatta akan berangkat ke Dalat, Sjahrir menemui Hatta dan menjelaskan, Seyoganya Republik Indonesia yang akan merdeka itu tidak memiliki hubungan dengan pemerintahan balatentara Jepang. Menurut Sjahrir, Hatta sependapat. Oleh karena itu karena menurut berita radio, Jepang sudah minta damai, konsep Sjahrir adalah segera Proklamasi dibacakan oleh Soekarno-Hatta tanpa perlu melibatkan PPKI (dianggap Sjahrir alat Jepang semata). Tapi ketika Hatta kembali dari perjalanan tanggal 14 Agustus 1945, Hatta memutuskan untuk membicarakannya lebih dahulu dengan Soekarno. Soekarno menolak Proklamasi karena belum pasti kalau Jepang sudah minta damai. Soekarno-Hatta memutuskan, akan mencari informasi pada tanggal 15 Agustus 1945 kekantor Gunsekanbu. Rupanya tanggal 15 Agustus 1945, merupakan hari berahirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, karena Tenno Haika sudah menyatakan menerima deklarasi Postdam. Soekarno-Hatta tidak berhasi mengorek berita dari seorang Jepangpun. Karena bersama keduanya juga ikut Soebardjo, mereka pergi menemui Maeda. Ada sedikit informasi kalau di Jepang ada kebijaksanaan baru. Ketika Soekarno-Hatta kembali dan Sjahrir menemuinya, sekali lagi Soekarno menolak membacakan Proklamasi atas nama bangsa Indonesia. Kali ini pertimbangannya menurut Hatta, semua itu harus lebih dahulu dibicarakan dalam sidang PPKI yang semua anggotanya kini sudah ada di Jakarta. Bukankah PPKI merupakan representasi daerah ?Sjahrir kecewa dan khawatir kalau telinga Kem Pei Thai sudah mendengar apa yang dipersiapkannya kalau saja Soekarno-Hatta bersedia membacakan Proklamasi yang telah dipersiapkannya. Apa rencana Sjahrir ?. Pertama mengadakan pengumpulan massa dan massa akan bedemonstrasi, kalau perlu bentrok dengan militer Jepang. Maka akan terjadi perebutan kekuasaan secara Revolusioner. Yang kedua, keadaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga pemerintahan diambil alih secara mulus. Artinya administrasi tidak boleh terganggu. Tidak boleh ada chaos. Para pegawai Jepanng yang orang Indonesia harus diajak berpihak pada Republik Indonesia dan harus mampu menjalankan sistim pemerintahan dengan baik. Hanya para pemimpinnya yang Jepang yang ditangkap. Tentu saja tentara Jepang akan dilucuti lebih dahulu yang nantinya akan diserahkan pada pihak sekutu. Tapi semua itu menjadi sirna karena Soekarno-Hatta bersikukuh untuk selekasnya mengadakan sidang PPKI. Direncanakan tanggal 16 Agustis 1945 pagi hari. Sementara para para pemuda yang terdiri dari beberapa aliran, bersatu dan menganggap bahwa kemerdekaan sudah tidak mungkin ditunda lagi. Mereka setelah berapat malam tanggal 15 Agustus 1945 disebuah tempat dibelakang laboratorium bakteriologi jalan Pegangsaan Jakarta, memutuskan untuk mendatangi Soekarno. Ketika utusan mereka malam itu bersitegang dengan Soekarno-hatta, semuanya berahir dengan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dasar darah muda, menjelang subuh, dengan dukungan sejumlah anggota militer dari Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok. Sjahrir mendengar semua itu dari kadernya, Soebadio Sastrosatomo. Dia kecewa karena menganggap bukan begitu seharusnya Revolusi diwujudkan. Sjahrir berkata : "Bagaimana memproklamasikan kemerdekaan atas dasar paksaan" (Soebadio Sastrosatomo, Perjuangan revolusi). Sjahrir menolak untuk terlibat lagi dan menganggap kelompok ketiga sudah ikut bermain. Menjelang pagi rombongan tiba di Rengasdengklok dan Soekarno-Hatta Fatmawati dan Guntur diantar Shodanco Singgih dan Soekarni untuk dipertemukan dengan pimpinan kompi PETA Rengasdengklok Chudancho Soebeno.

Thursday, 20 July 2006

Pelajar Indonesia di Mesir dan revolusi kemerdekaan RI

Berkat usaha-usaha diplomasi para pelajar Indonesia di Al Azhar, Liga Arab dalam persidangan Sesi Ketiga di Kairo, Maret 1946, menelurkan Resolusi No. 45 yang mendukung kemerdekaan Republik
Indonesia. Selanjutnya pada bulan Desember 1946, Liga Arab dalam persidangan Sesi Kelima di Kairo mengeluarkan Resolusi No. 83 yang merekomendasikan pengakuan terhadap Republik Indonesia. Pada bulan Juni 1947 Pemerintah RI di Jogjakarta mengirimkan misi resmi yang di pimpin oleh "Diplomat Republiken" Haji Agus Salim ke Mesir dan negara-negara Arab mencari dukungan dan pengakuan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Setelah Agresi Militer I atas ibukota RI, Yogyakarta, Liga Arab dalam persidangan kesembilan di Kairo, Oktober 1948, mengirim kawat kepada Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan segera agresi militer Belanda terhadap RI. Kemudian Liga Arab mengirim Konsul Jenderal Mesir di Bombay (Mumbay), India, Mohammad Abdul Moneim, dengan menembus blokade udara Belanda dari Singapura menuju ibukota kaum republiken Yogyakarta. Misi ini diterima secara kenegaraan oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wujud pengakuan kemerdekaan RI oleh pihak asing pada 15 Maret 1947. Secara kenegaraan, Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, melalui Perdana Menterinya Mahmoud Fahmi Nokrasyi Pasha.

Oleh : Farhan Kurniawan

Wednesday, 19 July 2006

Sekitar Proklamasi 1

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Proklamasi. Artinya pada bulan Agustus akan banyak peringatan yang berkaitan dengan lahirnya Bangsa Indonesia. Tapi berbeda dengan bangsa yang sudah mapan, yang sudah tidak mempersoalkan lagi peristiwa kelahirannya. Karena masyarakatnya sudah menyakini sejarah bangsanya 100%, bangsa Indonesia masih mempersoalkan yang itu-itu juga sehingga kelihatan belum yakin pada apa yang terjadi pada bulan Agustus 1945 itu. Sebenarnya para sejarawan handal sudah memiliki kesepakatan yang sama, namun kan banyak yang belum mau mendengar pendapat mereka. Rupanya terlalu banyak orang yang memahami dan berkeyakinan sendiri pada soal itu. Padahal lorong sejarah yang kita lalui sudah ckup panjang. Yang memperihatinkan, para pelaku atau saksi hidup sudah banyak yang tiada disamping dokumen atau bukti tertulis kian langka didapat. Kalau kita mulai dengan peristiwa berangkatnya Bung Karno, Bung Hatta, Dr Radjiman dan Dr Soeharto ke Dalat. Nampak kalau Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sudah dipersiapkan dengan baik. Hatta menulis dalam Biografi Politiknya (Deliar Noer. hal 240), tiga orang pemimoin Indonesia pada tanggal 9 Agustus 1945 dikirim ke dalat (300 km utara Saigon) tempat markas brsar Marsekal Terauchi Hisaichi, panglima angkatan perang Jepang di Asia Tenggara. Mereka itu Soekarno, Hatta, masing-masing Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI) dan Radjiman Wediodiningrat, bekas Ketua Badan Penyelidik (BPUPKI). Ketiganya diminta datang ke Dalat agar mendengar sendiri secara langsung tentang maksud Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Ketiganya didampingi oleh wakil pemerintah balatentara Jawa : Letnan Kolonel Nomura, Miyosi (penterjemah) dan Kapten Masaki serta wakil-wakil dari pemerintah balatentara Singapura, Mayor Jenderal Shimura yang disertai seorang ajudan. Perjalanan dimulai dari Jakarta dan mampir di Singapura. Dari Singapura menuju Saigon, tapi pesawat tidak bisa mendarat karena lapangan sedang banjir. Maka pesawat kembali dan rencananya akan mendarat di Kota Baru (di Malaysia sekarang). Tapi itupun tidak mungkin karena bahan bakar tidak cukup. Secara kebetulan ada sebuah lapangan darurat dikota kecil bernama Rontan (diwilayah Indochina). Setelah menginap dan mengisi bahan bakar, baru keesokannya dengan mobil menuju Saigon kembali. Dari Saigon mereka menuju Dalat. Ada penjelasan Myosi (Memoir Myosi) bahwa di Saigon, rombongan mendengar bahwa Jepang telah menerima syarat-syarat deklarasi Postdam asalkan Tenno Haika dan keluarganya aman. Deklarasi Postdam bersangkutan dengan syarat-syarat yang ditentukan Sekutu tentang penyerahan Jepang (lihat deklarasai Postdam). Anehnya Terauchi tetap menerima rombongan sesuai rencana. ). Hatta yang berulang tahun tanggal 12 Agustus (jadi tepat hari itu - Moh.Hatta memoir) berceita bahwa jam 10 pagi mereka diterima Terauchi. .Beliau menerima dengan khidmat, meskipun sedang menderita lumpuh (mungkin stroke). Tampak dalam foto pertama Hatta, Terauchi dan Radjiman (minum suguhan). Pada foto kedua, terjadi saling pidato yang ditengahi Myosi (disebelah Bung Karno). Yang berdiri paling kanan Terauci. Disebelah kanannya berdiri para perwira staf dan tamu dari Jawa serta Singapura. Dalam kesempatan ini Terauchi menyatakan : "Pemerintah Tokyo memutuskan memberikan Kemerdekaan kepada Indonesia". Pada kesempatan itu juga Soekarno bertanya :, "kapan putusan Tokyo tentang Indonesia Merdeka dapat kami umumkan kepada rakyat Indonesia ?". Terauchi menjawab : "Itu terserah tuan-tuan Panitia Persiapan. Kapan saja dapat. Itu sudah menjadi urusan tuan-tuan". Kemudian Terauchi memberikan selamat diikuti stanya. Rombongan kembali ke Saigon. Di Saigon itulah Let.Kol Nomura menyampaikan berita bahwa Rusia telah menyatakan perang dengan Jepang. Esok harinya 13 Agustus 1945, jam 8.00 pagi dengan pesawat mereka meninggalkan Saigon menuju Singapura, dengan mampir sebentar di Taiping (sekarang Malaysia). Di Singapura terjadi pertemuan dengan anggota rombongan PPKI dari Sumatera yaitu Mr Mohamad Hasan, Mr Abas dan Dr Amir. Pada tanggal 14 Agustus mereka berangkat ke Jakarta. Ketika turun dari pesawat, Soekarno disambut Gunsekan Jenderal Yamamoto (foto 3). Rupanya di Kemayoran ada rombongan penyambutan. dan Soekarno mengucapkan pidato jagungnya (foto 4). Soekarno berkata : " Apabila dahulu aku katakan bahwa Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka, sebelum jagung berbunga". Ucapan ini disambut oleh rakyat banyak dengan tepuk tangan dan bersorak " Indonesia Merdeka". Beberapa topik berita koran Tjahaja hari itu menyebutkan : "Soekarno berjanji akan berdjoeang oentoek melaksanakan kewadjibannja terhadap Nanpo Gun Saikoo Sikikan" dll....

Friday, 14 July 2006

Konperensi Malino Juli 1946

Selama bulan Juli 1946 (60 tahun yang lalu) berbagai peristiwa telah terjadi di Indonesia. Misalnya sehabis penculikan Sjahrir Juni 1946, gerakan kaum radikal yang lain terjadi lagi, yaitu apa yang disebut sebagai Peristiwa 3 Juli 1946. Sebuah usaha kudeta yang dipimpin Jederal Mayor Soedarsono (komandannya Soeharto di Divisi III Jawa tengah). Usaha yang dimotori kelompok Tan Malaka ini maksudnya mendesak Presiden agar mau mengganti kabinet. Karena Kabinet Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Apalagi setelah pidato Bung Hatta yang membocorkan bahwa akan diadakan perundingan baru dengan Belanda dimana antara lain akan dicapai kesepakatan wilayah Republik Indonesia akan meliputi sebatas Jawa dan Sumatera saja. Bagi kelompok Tan Malaka yang menginginkan kemerdekaan 100 % atau tidak ada kompromi dengan pihak Imperialis dan Kolonialis itu, kebijaksanaan pemerintah yang dianggap mau menerima tekanan luar itu, harus dibereskan. Maka kaum militer bekerja sama dengan kaum politik untuk melakukan apa yang dinamakan "Peristiwa 3 Juli". Mereka menyerbu istana Yogya dan rumah Amir Syarifudin. Menteri pertahanan ini yang nyaris terbunuh ternyata selamat, tapi dua orang penjaga rumahnya ditembak mati. Buntutnya pemerintah bertindak tegas, semua jaringan peristiwa 3 Juli 1946 terbongkar, sejumlah orang sipil dan militer ditangkap. Untuk itu dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa. Orang sipil, selan Tan Malaka, ditangkap juga Mohmad Yamin, Adam Malik, Chaerul Saleh, Akhmad Soebardjo dan masih banyak lagi. Selain peristiwa diatas, Sjahrir yang melakukan "Politik beras" yaitu membantu India yang sedang dilanda kelaparan dengan 500.000 ton gabah kering, ahirnya berhasil sebagian menembus blokade Belanda. Meskipin sejumlah besar gabah di Banyuwangi dibom dan dibakar Belanda. Proyek ini sekaligus membuat simpati dunia pada Revolusi Indonesia. Peristiwa ketiga yang terjadi adalah koperensi Malino. Rupanya pihak Belanda bereaksi cepat setelah penyerahan wilayah diluar Jawa dan Sumatera mulai dialihkan dari tangan pasukan sekutu kepada tentara Belanda pada tanggal 10 Juli 1946 jam 0.00 tengah malam. Konperensi Malino (sebuah kota peristarahatan di Sulawesi Selatan) berlangsung dari tanggal 16 - 22 Juli 1946. Adapun maksud dan tujuan Konperensi Malino ini adalah untuk membahas gagasan berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT). Disamping itu juga membuka wilayah lainnya diluar Jawa yang anti Republik, seperti antara lain di Kaimantan, Maluku, Flores, Bali, Lombok, Sumbawa, Bangka, Belitung dan sebagainya. Pada foto pertama tampak karikatur sebuah surat kabar Republik yang memperlihatkan van Mook sedang berpidato berapi-api dimuka para wakil rakyat Indonesia yang pro Belanda, sementara dibelakangnya ada patung Ratu Wilhelmina. Foto kedua dan ketiga, para pejabat Belanda dalam suasana sidang Konperensi Malino. Perlu diketahui Konperensi ini dihadiri 39 orang yang berasal dari 15 daerah. Beberapa tokoh pro Belanda antara lain yang hadir adalah, Tjokorde GR Sukawati, Nadjamudin daeng Malewa, Sultan Hamid ke II dan AR Afloes. (diambil dari berbagai sumber)

Saturday, 8 July 2006

Amandemen UUD 45 ditahun 1945

Apa sih sebenarnya amandemen UUD 45 itu ?. Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum. The law has been amended (undang-undang itu telah di amandemen). Jadi yang dimaksud dengan Amandemen UUD 45, artinya misalnya pasal-pasalnya dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau maknanya, barangkali. Kapan UUD 45 itu dimandemen ?. Perlu diketahui ada perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi anggaplah dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) no.1. No.2 kan memilih Soekarno Htta menjadi Presiden dan Wakil Presiden. No.3 berbunyi : Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tampa batas karena beliau berfungsi ya sebagai eksekutif, ya sebagai pimpinan legislatif. Ini kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Kalau tidak, maka Belanda bakal berkaok-kaok membenarkan bahwa Pemerintahan Soekarno, fasistik ala Jepang. Makanya konstitusi kita dicermati harus diamandemen. Bagaimana caranya ?. Sejarah menggambarkan bahwa muncullah petisi (kurang lebih 50 orang) untuk merubah KNIP (yang tadinya sekadar badan pembantu Presiden) menjadi sebuah badan legislatif. Karena apa ?. Karena untuk memunculkan apa yang tertulis dalam undang-undang yaitu terbentuknya MPR dan DPR, sulit direalisir saat itu. Jadi mengapa tidak KNIP saja yang dirubah jadi MPR sementara. Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI yang berubah menjadi PK (Panitia Kemerdekaan) menetapkan pembentukan Komite nasional, Partai Nasional Indonesia (Staat partij, bukan PNI partai politik) dan Badan Keamanan Rakyat. dan pada tanggal 29 Agustus 1945, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terbentuk dengan ketuanya Mr Kasman Singodimedjo. Wakilnya ada 3 orang yaitu masing-masing, Sutardjo Kartohadikoesoemo (I), Mr Johanes Latuharhary (II) dan Adam Malik (III). Dalam sidangnya yang pertama dibalai Muslimin Jakarta, pada tanggal 16 Oktober 1945, KNIP keadaannya kacau. Semua ingin bicara dan merasa perlu ikut bicara. Meskipun demikian hasilnya ada juga yaitu meminta hak legislatif kepada Presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR. Seperti telah disebutkan diatas, sejumlah 50 orang dipimpin Soekarni membuat petisi untuk merubah fungsi dan status KNIP. Sejumlah anggota kabinet seperti Amir Sjarifudin dan Hatta bisa menyetujui (Soekarno tidak hadir dalam sidang KNIP pertama ini). Maka Wakil presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat wakil Presiden no.X tapi dengan kop : Presiden Republik Indonesia. Isinya : Memutuskan : Bahwa KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNIP. Siapakah yang diangkat menjadi ketua BP KNIP itu ?. Dialah Sutan Sjahrir. Dan Wakilnya diangkat Amir Sjarifudin. Sekretaris Mr Soewandi. Jumlah anggota BP KNIP adalah 15 orang. Maka mulailah bekerja BP KNIP ini dan kantornya di Jalan Cilacap Jakarta (sekarang dipakai UBK). Salah satu produk hukum yang dibuat oleh BP KNIP adalah maklumat no.5 tentang pertanggung jawaban menteri-menteri dan susunan dewan kementerian baru. Dokumen ini amat penting karena tampa disadari merupakan rancangan perubahan konstitusi yang amat mendasar. Konsekwensinya kalau disetujui, maka terjadilah perubanah sistim kabinet presidentiel, menjadi kabinet ministriel . Lucunya Soekarno-Hatta menyetujui. Bahkan Soekarno meminta Sjahrir bertindak sebagai Perdana menteri. Kabinet Sjahrir terbentuk dan serah terima terjadi pada tanggal 14 November 1945. Anehnya ketika berlangsungnya sidang KNIP kedua (foto diatas, bertempat di Sekolah Tinggi Obat-obatan dimuka CBZ) Sjahrir masih sebagai ketua BP KNIP dan sudah serah terima dengan kabinet lama. Padahal saat itu dia sudah Perdana menteri. Demikianlah kisah sejarah dalam negeri yang namanya Republik Indonesia ini. Rupanya amandemen bukan barang baru. Tidak aneh kalau Amin Rais Cs melakukannya tahun 2002. (Disarikan dari berbagai sumber). Tanpa bermaksud menyetujui tulisan dalam detik kom diatas. Mungkin untuk menyiasati tantangan yang muncul yang menggoyahkan sendi negara, para politikus, tidak segan-segan mengamandemen peraturan-perundangan yang sedang berlaku. Bukankah dalam politik, siapa kuat dialah yang menang ?.

Thursday, 6 July 2006

Soekarno Code ?

Pada tanggal 5 September 1945, resmilah terbentuk Kabinet Pertama Republik Indonesia. Presiden Soekarno menyelenggarakan konperensi pers dirumahnya dijalan Pegangsaan Timur no.56 (rumah ini sudah dibongkar pemiliknya, sekarang). Para undangan, terutama adalah para wartawan dalam dan luar negeri. Diantaranya terdapat beberapa orang wartawan film (waktu itu belum ada media elektronik). Kalau kita memperhatikan tayangan film dokumenter yang dimiliki Des Alwi, maka semuanya serasa baru kemarin saja terjadinya. Nampak Presiden menerima tamunya satu persatu ditaman dimuka rumah disebelah kanan jalan masuk. Nampak hampir semua menteri kabinet hadir. Sebuah foto menggambarkan Abikusno Tjokrosujoso menyalami Presiden. Disebelah Presiden Soekarno berdiri Amir Sjarifudin bercelana pendek, dibelakang nampak AG Pringgodigdo. Agak jauh terliaht BM Diah. Sedangkan berjejer dikiri Akhmad Soebardjo dan Bung Hatta. Setelah itu adegan film menggambarkan rombongan menuju rumah. Tampak disebelahkanan berjejer beberapa orang polisi. Salah seorang memberi hormat dengan mengangkat senjatanya. Bung Karno membalas dengan salam militer. Pada foto yang lain mereka bergambar bersama. Para anggota kabinet berfoto, persis dimuka rumah dibawah tenda bergaris-garis. Ada yang bilang saya menghapus gambar anjing kecil yang terfoto bersama. Padahal itu tidak benar karena untuk adegan ini banyak foto yang dibuat. Saya menggunakan foto asli tanpa anjing. Mengenai soal anjing ini memang ada ceritanya sendiri. Rupanya dia selalu menggangu dan mondar mandir disana saat itu. Saya punya foto, ketika pembantu Bung Karno dengan sapu mencoba menghalaunya, karena dia berada diantara kamera film diatas statif yang siap mengambil gambar dan anggota kabinet yang sudah duduk teratur diberanda rumah mepet tembok dinding. Nah pada dinding tembok beranda itulah, menghadap kemuka jalan, terdapat lukisan magis yang dibuat oleh Henk Ngantung. Kenapa Magis ?. Banyak orang percaya kalau lukisan "pemenah" ini adalah benda yang melindungi rumah tersebut. Faktanya lukisan yang dibuat pada zaman Jepang ini menjadi saksi semua peristiwa yang berlangsung dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950 dan nanti setelah tahun 50-an baru dipindah pemiliknya ke istana. Percaya atau tidak selama 1945-1949, rumah tidak pernah dirampas Belanda ?. Lukisan ini pernah menjadi sasaran tembak. Ada dua lubang peluru Belanda dibagian salah satu pojoknya. Di zaman Jepang, lukisan ini bersama dengan lukisan lainnya pernah dibawa keliling Indonesia olah Jusuf Ronodipura, guna pameran keliling. Lukisan pemanah sampai saat ini penuh misteri yang belum pernah disampaikan oleh pelukisnya sendiri. Ada Code-code yang disampaikan yang maknanya masih kabur. Kalau kita melihat sepintas, nampak seorang pemuda sedang menarik busur lengkap dengan anak panahnya. Dibelakang nampak pemuda lain membawa obor. Disamping belakang, sebagai latar karena lukisannya sudah agak dikaburkan, tampak orang sedang melihat kejauhan dan berusaha mengindari sinar cahaya yang memancar dari atas dengan menggunakan telapak tangan kanannya. Disampingnya seorang pemuda lain sedang menggunakan kedua telapak kanannya sebagai alat bantu untuk menambah penangkapan suara bagi pendengarannya. Yang seorang lagi yang kurang jelas adalah pemuda yang justru membawa tempat anak panah itu. Saya merasa yakin kalau lukisan ini memiliki pesan-pesan yang ingin disampaikan. Mungkin oleh Bung Karno sendiri, sebagai penggagas lukisan yang memerintahkan melukiskannya (kepada Henk Ngantung) untuk menciptanya seperti itu ?. Nampak dalam foto Bung Karno memilih duduk ditengah. Dikirinya duduk Bung Hatta yang sudah diangkat sebagai wakil presiden, dan dikanannya duduk Akhmad Soebardjo yang sudah diangkat sebagai Menteri Luar Negari. Ketiganya pada siang hari tanggal 16 Agustus 1945 berada di Rengasdengklok, kemudian menuju Jakarta dan pada malam harinya menjelang subuh, dirumah Laksamanan Maeda bersama-sama dengan tokoh-tokoh bangsa lainnya mewujudkan naskah Proklamasi itu. Adakah yang bisa membantu memecahkan pesan-pesan yang ada dalam lukisan ini ?. Mungkin kesemerawurtan kondisi Bangsa Indonesia saat ini, dapat diterangkan oleh Code tersebut ?. Sebuah pemikiran untuk menulis "Soekarno Code" ?.Ha ha ha.......

Tuesday, 4 July 2006

Kunjungan Pak Dirman ke Jawa timur

Pada bulan Juni 1946, Pak Dirman mengadakan kunjungan kerja ke Jawa Timur, bersama Kepala Staf Pak Urip Sumohardjo dan sejumlah perwira lainnya. Beliau mengadakan inspeksi kerja diberapa tempat. Pada gambar pertama tampak rombongan mengunjungi sebuah sekolah menengah dimana diadakan penyambutan meriah oleh para guru dan muridnya. Sedangkan pada gambar kedua, Pak Dirman bersama rombongan berkenan melakukan ziarah sekaligus meletakkan karangan bunga pada makam tentara PETA di Blitar yang gugur karena dibunuh tentara Jepang berkaitan dengan usaha pemberontakan yang dilakukan pada tanggal 14 Februari 1945. Kunjungan kerja ini dilaksanakan, berkaitan dengan situasi yang makin memburuk akibat ulah tentara musuh. Sebagaimana diketahui karena Belanda mengadakan serangan dimana-mana dan udara politik menjadi genting, maka Presiden mengumumkan pada tanggal 7 Juni 1946, bahwa diseluruh Jawa dan Madura dalam keadaan bahaya.

Dr Ratulangie ditangkap Belanda


Pada tanggal 5 April 1946 terbetik berita disurat kabar Nasional "Dr GSSJ Ratulangie Gubernur Sulawesi bersama 6 orang republik lainnya ditahan Belanda dikota Makassar". Untuk ini pihak Republik Indonesia mengajukan protes terhadap tentara sekutu. Hal ini menjadi jelas setelah lebih dua bulan kemudian (tanggal 18 Juni 1946) muncul berita susulan bahwa Ratulangie bersama 7 pemimpin RI di Sulawesi telah diasingkan ke Serui Irian Barat. Berhubung dengan penangkapan tersebut para pemuda Pemberontak Sulawesi di Jawa memberikan ancaman peringatan atau ultimatum kepada pihak Belanda. Ancaman itu adalah : "Kami para pemimpin pemberontakan Sulawesi mempermaklumkan kepada Belanda bahwa dalam tempo 15 hari ini paduka tuan Dr Ratulangie, Gubernur Sulawesi dan lainnya harus dimerdekakan kembali. Jika tidak, kami akan mengambil tindakan-tindakan keras terhadap Belanda. Merdeka, tetap Merdeka !" Dalam foto nampak, pada sekitar bulan Mei 1946, para pemuda-pemudi Sulawesi mengadakan demonstrasi di Yogya. Mereka membawa spanduk yang antara lain bertuliskan "Kami tidak menghendaki penghinaan terhadap pemerintah Republik Indonesia berkenaan Dr Ratulangi, Gubernur Sulawesi dan lain-lain pemimpin". Demikian berita-berita saat itu.

Sunday, 2 July 2006

SURYA WIRAWAN

Setelah tahun 1934 gerakan radikal anti kolonialis dapat dikatakan selesai sudah. Atau gerakan nonkoperatif sudah padam. Sedangkan gerakan koperatif masih mungkin dikembangkan bahkan mengalami peningkatan dan pengembangan. Pada Desember 1935, partai-partai moderat dengan asas Jawa seperti Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Budi Utomo membentuk PARINDRA (Partai Indonesia Raya) yang bertujuan Kemerdekaan namun dengan bekerja sama dengan Belanda. Ketua PARINDRA adalah Dr Soetomo. Sedangkan tokoh-tokoh moderat lainnya seperti Thamrin, turut bergabung. Partai ini pada dasarnya merupakan organisasi kaum konservatif yang bersifat nasionalis (non Islam). Ada tendensi para pemimpinnya melihat Jepang sebagai model sebuah negara Asia yang pantas dicontoh. Pada tahun 1937 partai mengaku memiliki anggota 4.600 orang. Pada ahir tahun 1938, 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar di Jawa, dimana Jawa Timurlah konsentrasi pengikutnya yang terbesar. Pada bulai Mei 1941 (menjelang perang Pasifik), partai menyatakan punya anggota sebanyak 19.500 orang. Salah satu kegiatan partai, adalah gerakan pemuda yang disebut SURYA WIRAWAN.
Mengenai nama SURYA WIRAWAN (Matahari Gagah Berani), agak aneh pemunculannya. Kecurigaan pada PARINDRA yang bersimpati pada Jepang yang sedang naik daun, membuat Belanda bercuriga. Rupanya tidak hanya berkaitan pada Jepang, tapi pada gerakan Fasis di Asia maupun di Eropah. Sebagai contoh ketika Thamrin meninggal dunia, para anggota PARINDRA dan SURYA WIRAWAN memberikan penghormatan dengan mengangkat tangan kanannya. Kecurigaan ini terungkap sedikit dengan ditangkapnya Dowes Dekker dan Thamrin yang katanya ada kaitan dengan kelompok pengusaha Jepang.

DR. MOHAMMAD AMIR: TRAGEDI SEORANG TOKOH PEJUANG GERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA DI SUMATERA TIMUR


Oleh : Harsja W. Bachtiar (Universitas Indonesia)
Riwayat yang disampaikan di bawah ini adalah riwayat seorang pemuda Minangkabau yang bejiwa kebangsaan Indonesia dan dalam masa gerakan kebangsaan menjadi seorang cendekiawan dan tokoh politik di daerah Sumatera Timur bahkan ikut mewakili Sumatra dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan meletakkan dasar-dasar negara Republik Indonesia di Jakarta. Akan tetapi akhirnya, antara lain, karena istrinya orang Belanda dan dia sendiri kemudian tidak dapat mengendalikan semangat perjuangan menggelora dari penduduk yang ikut dibangkitkannya dalam usaha mengadakan perombakan tatanan masyarakat di daerah Sumatera Timur, tokoh ini terpaksa meminta perlindungan, pada pihak lawan, penguasa Inggris dan Belanda di Medan, yang dapat ditafsirkan sebagai pengkhianatan terhadap bangsanya.
Mohamad Amir lahir tanggal 27 Januari 1900 sebagai anak tunggal sepasang suami-istri yang berdiam di Nagari Talawi, suatu perkampungan di pinggir sungai Ombilin dekat kota pertambangan batubara Sawahlunto di Sumatera Barat. Ayahnya ialah M Joenoes Soetan Malako, yang meninggal di Talawi tahun 1940, sedangkan, ibunya yang bagi orang Minangkabau, sesuai dengan adat yang menentukan keanggotaan dalam keluarga atas dasar garis keturunan ibu, adalah lebih penting daripada ayahnya, ialah Siti Alamah yang meninggal di Jakarta, 1958. Siti Alamah, ibunya, adalah anggota dari Suku Mandaliko di Nagari Talawi, sehingga Moh. Amir pun adalah juga anggota Suku Mandaliko.
Pada waktu masih berusia anak sekolah, M. Amir dibawa oleh abang ibunya, Mohammad Jaman gelar Radjo Endah, seorang guru yang dipindahkan ke Palembang, ke kota di tepi sungai Musi. Selain membawa istri, anak-anaknya, dan M. Amir, guru Jaman juga membawa dua kerabat muda lain yang kurang lebih seusia dengan M. Amir, yaitu Mohamad Jamin dan Djamaloedin yaitu adik sebapak dari guru Jaman tapi berlainan ibu. Ayah guru Jaman bernama Osman gelar Baginda Chatib dan mempunyai beberapa istri. Guru Jaman, yang lahir tahun 1878, adalah anak dari istri yang bemama Hadaniah; Moh. Jamin, yang lahir tahun 1903, adalah anak ketiga dari istri bernama Saadah; sedangkan Djamaloedin, yang lahir tahun 1904, adalah anak tunggal dari istri yang bemama Sadariah.
Di Palembang M. Amir belajar sebagai siswa Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar yang diselenggarakan terutama bagi anak-anak pribumi, tetapi sebelum tamat HIS di Palembang, M. Amir pindah ke Batavia (kini: Jakarta) di sana ia meneruskan pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS), jenis sekolah dasar yang diselenggarakan terutama bagi anak-anak Belanda, sampai tamat sekolah dasar tahun 1914.
M. Amir meneruskan studinya di jenjang pendidikan menengah tingkat pertama pada Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di sana ia tamat belajar tahun 1918 untuk kemudian melanjutkan pendidikannya pada School tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia), sekolah pendidikan calon dokterr bagi pemuda-pemuda pribumi, juga di Batavia. Tanggal 8 Desember 1917 di Batavia seorang siswa di STOVIA yang berasal dari Sumatra Timur, Tengkoe Mansoer, bersama M. Amir dan sejumlah siswa lain yang berasal dari pulau Sumatra mendirikan suatu perhimpunan pemuda yang berasal dan pulau Sumatra, perhimpunan yang dinamakan Jong Sumatranen-Bond (JSB), mengikuti contoh Jong Java, perhimpunan pemuda yang berasal dari Jawa yang telah didirikan dua tahun lebih dahulu. Para pemuda Sumatra inipun bergabung untuk bersama-sama berusaha mempersiapkan diri sebagai penggerak upaya memperbaiki taraf kehidupan penduduk di daerah asal mereka.
Dalam waktu satu tahun, menurut majalah Pemoeda Soematra yang mulai diterbikan oleh Pengurus JSB sejak 1918 dengan pemuda M. Amir sebagai redaktur, jumlah anggota perhimpunan ini telah menjadi sekitar 500 orang yang tergabung dalam afdeeling (cabang) perhimpunan di Jakarta, Bogor, Serang, Sukabumi, Bandung, Purworejo, Padang dan Bukittinggi dengan cabang di Jakarta serta Padang yang paling banyak anggotanya.
M. Amir, tergerak oleh surat-surat kabar dan majalah-majalah dalam bahasa Belanda maupun bahasa Melayu yang tersedia di STOVIA sebagai bahan bacaan bagi para siswanya, juga menulis karangan-karangan yang diterbitkan dalam Warta Hindia. Pemuda im memperoleh bimbingan dalam mengembangkan bakat sebagai pengarang dari seorang penerbit yang juga berasal dari Sumatra Barat bernama Landjanoen gelar Datoek Temenggung, penerbit majalah bulanan Soeloeh Paladjar, majalah Tjahaja Hindia, dan kemudian harian Neratja.
Pada rapat tahunan pertama dari JSB, yang diselenggarakan di Batavia tanggal 26 Januari 1919, pemuda T. Mansoer terpilih sebagai Praeses (Ketua) dan pemuda M. Amir sebagai Wakil Praeses. A. Moenier Nasution teipilih sebagai Sekretaris 1; Bahder Djohan sebagai Sekretaris 2; Marzoeki sebagai Bendaharawan; sedangkan Abdullah Zakir, Achmad Djonap, Jasin dan Nazief terpilih sebagai Anggota Pengurus.
Kongres pertama JSB diadakan di Padang, untuk menarik perhatian umum pada kehadiran perhimpunan pemuda itu di pulau asal para anggotanya, pada tanggal 4, 5 dan 6 Juli 1919. Amir sebagai Wakil Praeses JSB, bersaina Anas, Sekretaris 1; Marzoeki, Bendahara; dan Bahder Djohan diutus ke Padang untuk memimpin kongres, sedangkan Praeses (Ketua) JSB sendiri, Tengkoe Mansoer, tidak dapat pergi menghadiri kongres tersebut karena sedang menghadapi ujian semi-arts di STOVIA, sekolahnya. Dalain kongres M. Amir tainpil sebagal pemimpin utama.
Tidak semua golongan penduduk menerima baik kehadiran perhimpunan pemuda yang baru ini. Dalam suatu editorial surat kabar Oetoesan Malajoe tanggal 18 Agustus 1919, misalnya, penulis editorial tersebut menyatakan harapannya agar Residen Belanda yang baru diangkat menghentikan ulah ("gedoe") Kaoem Moeda dan anak-anak sekolah Jong Sumatranenbond yang berani-beraninya menyelenggarakan suatu kongres; membicarakan masalah-masalah politik yang mereka belum fahami; dan menghasut orang agar benci pada orang-orang Belanda dan orang-orang lain yang mempertahankan orang Belanda.
Dalam editorial suratkabar yang sama tanggal 25 Agustus 1919 pemuda- pemuda STOVIA yang tergabung dalain JSB dikecam sebagai kaum muda yang menginginkan perubahan dalam adat agar mereka dapat bebas bergaul dan berjalan-jalan dengan para gadis. Supaya bagi pembaca lebih jelas lagi apa yang dimaksud oleh penulis, ia menampilkan contoh yang dianggap tidak dapat dibenarkan, yaitu adanya seorang gadis pribumi ("inlandsche nona") bernama Saadah yang melanggar adat dengan berjalan malam bersama pemuda Moh. Tahir. Saadah adalah seorang guru dan redaktur majalah wanita Soeara Perempoean.
Penulis editorial di atas juga mengeluh bahwa, meskipun pemuda-pemuda JSB ini masih siswa sekolah, mereka ingin disebut engku ("angku") yang menurut penulis adalah sama dengan tuan ("meneer"); bahwa mereka menghendaki suatu revolusi agar mereka menjadi "meneer" presiden republik. Sekarangpun, kata penulis dengan geram, sudah ada siswa-siswa yang menjadi "angkoe" seperti angkoe Amir dan angkoe Hasan.
Sebagai tanda peringatan diadakannya Kongres Pertama JSB di Padang, Kaoem Moeda di kota ini, yang tergabung dalain Sarikat Oesaha, mendirikan suatu tugu peringatan.
Dalam rapat umum para anggota (Algemeene Ledenvergadering) Jong Sumatranen-Bond, atau perhimpunan Pemoeda Soematra, yang diadakan di gedung Loge di Weltevreden, Jakarta, pada tanggal 8 Februari 1920, M. Amir terpilih menjadi Ketua menggantikan dr. Tengkoe Mansoer, yang telah lulus ujian STOVIA. Anggota lain dari pengurus JSB yang diketuai oleh Amir terdri dari Abdoel Moenier Nasution, Wakil Ketua; Bahder Djohan, Sekretaris 1; Ferdinand Lumban Tobing, Sekretaris 2; Mohammad Hatta, Bendahara I; Boerhanoeddin, Bendahara II; serta Jassien, Nazief, A. Zakir, Achmad Djonap dan M. Anas Sr., Anggota.
Pada waktu itu jumlah anggota JSB adalah sekitar 195-an, yaitu sekitar 150 pemuda di Jakarta, 13 di Sukabumi, 32 di Bogor, 22 di Serang dan 80 di Padang. Mereka adalah siswa di Koning Willem III School (KWS), Rechtsschool (Sekolah Hukum), STOVIA, Hoogere Burgerschool (HBS), Handelsschool (Sekolah Dagang) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Pemuda M. Amir sendiri menulis berbagai karangan dalam bahasa Belanda, antara lain tentang karya sastra Belanda rangkaian Mathilde ciptaan Jacques Perk dan tentang Multatuli, yang Akhir ditampilkan sebagai penyiar pemikiran etika dan pejuang politik dengan pena, serta berbagai landasan untuk menggugat penguasaan kolonial.
Sebagai mahasiswa yang berasal dari Sumatra Barat tapi tinggal di suatu masyarakat perkotaan yang merupakan tempat pertemuan kebudayaan Asia, atau kebudayaan Timur, dan kebudayaan Eropah, atau kebudayaan Barat, M. Amir tertarik pada pemikiran-pemikiran kaum Theosofi. Orang-orang yang tergabung Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi), yang dicipta oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang wanita bangsawan Rusia, dan Henry Steel Olcott, seorang ahli hukum dan penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan Tuhan melalui ajaran-ajaran kebatinan, seperti karma dan reinkarnasi; menyatukan sekalian agama; dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan. Bersama pemuda Mohammad Hatta, Djamaloedin Adinegoro, Mohamad Jamin dan Bahder Djohan, M. Amir menjadi anggota perkumpulan Dienaren van Indie (hamba-hamba Hindia), suatu perkumpulan Theosophie yang diselenggarakan oleh sejumlah penganut Belanda di Batavia. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada waktu itu mereka mencantumkan huruf "ID" di belakang narna mereka masing- masing.
Dalam tahun berikutnya, 1921, Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk meneruskan studinya di Nederlandsche Economische Hoogenschool (Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda) di Rotterdam, sehingga sejak 2 Juli ia digantikan sebagai Bendahara I JSB oleh Bahder Djohan. Dalam pengurus baru JSB, yang tetap diketuai oleh M. Amir, terdapat juga F. Tobing, Wakil Ketua; Boerhanoedin, Sekretaris I; M. Hoesin, Sekretaris II; Djalel, Bendahara 2; serta Emma Jahja, Azir, Anas, Nazief, Dahlan Alamsjah, dan Adam Bachtiar sebagai angoota.
Tahun 1922 M. Amir diganti sebagai Ketua JSB oleh Bahder Djohan, yang juga mengambil alih tanggung jawab sebagai ketua Komisi Redaksi majalah Jong Sumatra.
Tahun 1923 diadakan Lustrum Pertama, peringatan hari lahir kelima, JSB di Jakarta, di sana pemuda Mohammad Jamin menyampaikan prasaran berjudul "De Maleische Taal in het verleden, heden en in de toekomst" (Bahasa Melayu di masa lampau, kini dan di masa depan), yang meletakkan dasar dijadikannya bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia, bahasa Indonesia. Setelah tamat belajar di STOVIA, Jakarta, tahun 1924, M. Amir mendapat kesempatan untuk meneruskan belajar di negeri Belanda dengan beasiswa dari perkumpulan Theosophie.
Antara tahun 1924 dan 1928 M. Amir belajar sebagai mahasiswa yang memusatkan perhatian pada pengkajian dalam bidang psikiatri (ilmu penyakit jiwa) di Fakultas Kedokteran, Universitas Utrecht, di Utrecht, Belanda.
Tahun 1925 M. Amir terpilih menjadi Komisaris Pengurus Indonesische Vereeniging di Belanda, yang sejak 11 Januari 1925 dinamakan Perhimpunan Indonesia, di bawah Soekiman Wirjosandjojo sebagai Ketua. Anggota Pengurus yang lain terdiri dari A.Z. Mononutu, Wakil Ketua; Soerono, Sekretaris I; Soenarjo, Sekretaris II; Mohammad Hatta, Bendahara I; Mohammad Nazief, Bendahara II; Boediarto, Komisaris; dan Mohammad Joesoef, Komisaris.
Tahun 1928 M. Amir tamat belajar di Fakultas Kodokteran, Universitas Utrecht, dan oleh sebab itu berhak menyandang gelar Arts dan huruf Dr. di depan nama. Ia kembali ke Jakarta dan menikah dengan C.M. (Lien) Fournier, kemenakan yang cantik dari Ir. F.L.P.G. Fournier, pensiunan Insinyur Kepala (Hoofdingenieur) Pos, Telegraf dan Telepon dan Ketua Gerakan Theosophie di Hindia Belanda.
Pada tahun yang sama, Moh. Jamin, kerabat M. Amir yang masih belajar sebagai mahasiswa di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta, terpilih menjadi Ketua Pengurus Pusat Jong Sumatranenbond.
Selain bekerja sebagai psikiater, Dr. M. Amir juga menjadi pengarang dan budayawan yang terkemuka. Ia banyak menulis karangan yang, antara lain, dimuat dalam majalah budaya Poedjangga Baroe, di sini ia menentang gagasan Soetan Takdir Alisjahbana yang mempropagandakan Westernisasi, meskipun gaya hidupnya sendiri sangat merupakan gaya hidup orang Eropah.
Tahun 1934 Dr. M. Amir pindah ke Medan sebagai dokter pemerintah. Djamaloedin Adinegoro, kerabat dari Talawi yang lebih muda empat tahun dan atas saran penerbit Landjoemin gelar Datoek Toemengoeng juga menggunakan nama Adinegoro supaya tulisan-tulisannya dibaca oleh lebih banyak pembaca, sudah berada di Medan sebagai redaktur Pewarta Deli sejak 1931.
Dr. M. Amir dan Ny. C.M. Amir-Fournier memperoleh seorang putra, Anton (Tony) Amir, dan seorang putri, Anneke Amir. Keduanya kemudian, pada akhir tahun 1950-an, menjadi dokter di Utrecht dan tetap berdiam di Utrecht.
Tahun 1937 Dr. M. Amir diangkat menjadi dokter pribadi dari Toeankoe Machmoed Abdoel Djalil Rachmat Sjah (1893-1948), Sultan Langkat, ketika Sultan ini curiga bahwa ada yang hendak meracuninya. Tahun 1945 Dr. M. Amir sekeluarga pindah berdiam di Tanjung Pura, ibukota Kesultanan Langkat.
Dalam bulan Agustus 1938 Djamaloedin Adinegoro terpilih menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Medan dan menjadi satu-satunya orang pribumi yang menempati jabatan wethouder.
Tahun 1940 kumpulan karangan Dr. M. Amir diterbitkan di Medan dengan judul Boenga Rampai.
Pada akhir tahun 1942 Dr. M. Amir diberitakan mengalami serangan pendarahan otak (Apoplexie).
Ketika dalam Perang Durna II tentara Jepang mengalahkan Belanda di kepulauan Indonesia dan juga menduduki Sumatera. Pulau ini, bersama dengan semenanjung Malaya, ditempatkan di bawah kekuasaan Tentara Ke-25. Kawasan ini dianggap oleh Jepang sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis karena letaknya dan sebagai sumber bahan mentah, terutama minyak, karet dan timah. Bulan April 1943 daerah Sumatra dipisahkan dari semenanjung Malaya dan sejak itu Tentara Ke-25 hanya menguasai Sumatra.
Salah satu badan yang didirikan tanggal 28 November 1943 oleh pemerintah militer Jepang untuk mendukung usaha-usahanya di daerah Sumatra Timur adalah Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia (BOMBA). Dr. M. Amir menjadi anggota dan kemudian pembicara utama dari BOMBA di Langkat, yang beranggotakan baik tokoh-tokoh kerajaan maupun tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia.
Dalam masa pendudukan Jepang itu Dr. M. Amir, yang beristri orang Belanda, juga mengadakan hubungan erat dengan tokko-ka (polisi politik Jepang).
Tanggal 14 Agustus 1945 Mr. Teuku Moh. Hassan dan Dr. M. Amir, yang diundang untuk menghadiri sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai wakil dari penduduk di Sumatra atas usul Drs. Moh. Hatta, pergi ke Jakarta melalui Singapura, di sana mereka bertemu dengan rombongan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Dr. Radjiman Wediodiningrat yang baru kembali dari kunjungan menghadap Marsekal H. Terauchi, Panglima Angkatan Bersenjata Jepang di Wilayah Selatan, di Dalat, Indo China. Mereka terbang bersama dengan menggunakan pesawat pembom Jepang ke Jakarta. di sana Mr. Abdoel Abbas, Ketua Shu Sangi Kai Lampung, bergabung dengan Mr. Teukoe M. Hassan dan Dr. M. Amir mewakili Sumatra dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Bersama Mr. T.M. Hasan, Dr. M. Amir atas nama Sumatra menghadiri sidang persiapan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kemudian pukul 10:00 tanggal 17 Agustus 1945 ikut menyaksikan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama rakyat Indonesia.
Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus Dr. M. Amir menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang meletakkan dasar-dasar dari negara baru yang sehari sebelumnya dinyatakan merdeka, antara lain, dengan mensyahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang kini dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945; memilih Ir. Soekamo sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Negara Republik Indonesia; serta memutuskan bahwa pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia (KNI).
Tanggal 19 Agustus Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan pembagian wilayah negara Republik Indonesia dalam 8 propinsi. Sumatra dijadikan suatu propinsi. Mr. Teuku Mohammad Hassan, yang sebelum Jepang menduduki Sumatra bekerja di Kantor Gubemur Sumatra diangkat menjadi Gubernur Propinsi Sumatra dengan Medan sebagai ibukota propinsi.
Dalam sidang PPKI yang ketiga dan terakhir, yang diadakan tanggal 22 Agustus, Panitia tersebut mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara; Komite Nasional Indonesia (KNI) sebagai dewan perwakilan rakyat di pusat dan pada jenjang-jenjang kewilayahan yang lebih rendah; dan Badan Keamanan Rakjat sebagai angkatan bersenjata negara.
Tanggal 23 Agustus Mr. T. Moh. Hassan dan Dr. M. Amir terbang kembali ke Medan dengan salah satu pesawat Jepang terakhir yang diizinkan terbang oleh Sekutu yang telah berhasil mengalahkan Jepang. Di Medan kedua tokoh ini tidak menyebarluaskan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jakarta berkenaan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia.
Tanggal 5 September ditetapkan pembentukan suatu Kabinet Presidentiil di bawah pimpinan Ir. Soekarno yang antara lain beranggotakan Dr. Moh. Amir sebagai Menteri Negara bersama dengan Wachid Hasjim, Mr.R.M. Sartono dan R. Oto Iskandar Dinata yang masing-rnasing juga menjadi Menteri Negara.
Tanggal 17 September sekelompok aktivis politik mengunjungi Dr. M. Amir di rumahnya di Tanjung Pura untuk mendesak Dr. Amir, mengingat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan untuk menghindari upaya Belanda untuk kembali berkuasa di Sumatra, agar mengumumkan kemerdekaan Indonesia juga di Sumatra.
Hampir dua minggu sesudah Proklarnasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta dan seminggu setelah Mr. T. Moh. Hassan dan Dr. M. Amir kembali di Medan dari kunjungan ke Jakarta, dalam suatu pertemuan dengan sejumlah pemuda di Jl. Ampelas, di sana terjadi pembicaraan yang berapi-api. Mr. T. Moh. Hassan mengungkapkan bahwa sebenarnya Indonesia sudah dinyatakan merupakan bangsa dan negara yang merdeka.
Pada tanggal 3 Oktober Pemerintah Negara Republik Indonesia di Sumatra, di bawah pimpinan Gubemur Mr. Teukoe Moh. Hassan, dengan resmi mulai menyelenggarakan pekerjaan pemerintahan. Dan tanggal 6 Oktober Gubemur Hassan mengumumkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Tanggal 17 Oktober Gubemur Sumatra, Mr. T. Moh. Hassan menyatakan kesediaan bekerjasama dengan tentara Sekutu dalam pelaksanaan tugas Sekutu, yaitu melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan tahanan mereka, tapi tidak membenarkan Belanda kembali ke Sumatra dan mengganggu keamanan dan ketentraman umum.
Dalam pada itu Belanda berusaha kembali berkuasa di Medan dan mengikuti tentara Inggris mendarat di Sumatra Timur. Tanggal 19 Oktober tentara Inggris di bawah piinpinan Brig.Jen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan dan dengan diikuti oleh pejabat-pejabat Netherlands Indies Civil Administration (NICA), pejabat-pejabat Belanda yang hendak kembali berkuasa di bekas tanah jajahannya bergerak ke Medan. Komandan tentara Inggris, Kelly, segera memerintahkan sekalian penduduk yang bersenjata menyerahkan senjata mereka masing-masing kepada tentara Sekutu, tindakan sangat tidak bijaksana yang mengakibatkan kemarahan para pemuda pejuang kemerdekaan yang tentu saja tidak menyerahkan senjata mereka.
Tanggal 26 November Dr. Amir Mendampingi Gubemur Mr. T. Moh. Hassan bersama Mr. Mohammad Joesoef dan Mr. Luat Siregar, sebagai wakil Pemerintah R.I. di Sumatra, mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Medan, dengan pihak Sekutu yang terdiri atas Let. Jen. Sir Philips Christison, Panglima Tentara Sekutu di Indonesia; May. Jen. Chambers, Panglima Tentara Sekutu di Sumatra dan Brig. Jen. Kelly, Panglima Tentara Sekutu di daerah Medan. Gubemur Teuku Hassan menjelaskan bahwa rakyat di Sumatrapun menghendaki kemerdekaan 100% dan bahwa Sumatra, Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam bulan Desember Dr. Amir diangkat menjadi Wakil Gubemur Sumatra yang mewakili Gubemur bilamana Mr. T. Moh. Hassan tidak berada di Medan.
Tanggal 13 Desember Dr. Amir, yang menerima tawaran Inggris untuk berkunjung ke Jawa dengan pesawat terbang militer Inggiis, bersama-sama dengan Mr. Luat Siregar, Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Medan; Djamaludin Adinegoro, wakil Pemerintah di Bukittinggi; dan Dr. Djamil, Ketua KNI Padang, tiba di Jakarta untuk mengadakan pembicaraan dengan tokoh- tokoh Republik seperti Ir. Soekarno, Sutan Sjahrir dan Mr. Amir Sjarifoedin. Mereka menyatakan bahwa Sumatra sepenuhnya berada di belakang Republik Indonesia yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
Rombongan Dr. Amir juga mengadakan perjalanan keliling di Jawa untuk melihat keadaan umum di bawah Pemerintah Republik Indonesia di pulau ini.
Sehari sesudah rombongan Dr. M. Amir berangkat ke Jakarta, tanggal 14 Desember, di Medan sendiri terjadi berbagai pertempuran lokal antara unsur-unsur Tentara Inggris dan Belanda di satu pihak dan para pembela kemerdekaan Indonesia di lain pihak sebagai akibat provokasi tentara Inggris dan Belanda.
Sebelum rombongan kembali ke Medan, pada tanggal 29 Desember, Presiden Ir. Soekarno mengadakan jamuan perpisahan dengan para utusan Pemerintah di Sumatra, yaitu: Dr. Amir, Mr. Luat Siregar, Dr. Djamil dan Adinegoro. Jamuan makan dihadiri juga oleh wakil Presiden Drs. Moh. Hatta; Menteri Kesehatan Dr. Dr. Daarmasetiawan; Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo; Sekretaris Negara Mr. A.G. Pringgodigdo; Mr. Sartono.
Dalam pidatonya, Dr. Amir menyatakan terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk meninjau Jawa Tengah dan Jawa Tiinur. Kunjungan rombongan menyakinkan para anggota rombongan bahwa revolusi didukung oleh seluruh rakyat di Jawa, hal mana merupakan kekuatan yang amat besar. Kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana dilihat oleh para anggoota rombongan nyata sekali terwujud di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga menghilangkan kebimbangan rakyat di Sumatra bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak dapat mengendalikan rakyat di seluruh wilayah Indonesia.
Tanggal 3 Januari 1946 Dr. Amir kembali ke Medan dari Jakarta dan mengumumkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menganggap Sumatra secara politik dan ekonomi terlepas dari Jawa dan bebas dan mengadakan tindakan apa saja asal tidak bertentangan dengan kepentingan Republik, pernyataan yang kemudian harus diralat oleh Gubemur Sumatra, Mr. T. Hasan, yang menyatakan dengan tegas bahwa Pemerintah Sumatra tidak melakukan kebijaksanaan yang berbeda daripada yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat di Jawa.
Setelah kembali dari perjalanan ke Jawa, atas usul Dr. Amir, Sultan Langkat mengundang para Sultan di daerah Sumatra Timur pada suatu konferensi di Tanjung Pura untuk membicarakan masalah kerajaan. Pada konferensi ini Dr. Amir menjelaskan bagaimana baiknya hubungan kerjasama antara Sultan Yogyakarta dan Pemerintah Republik Indonesia dengan himbauan agar hubungan ini dijadikan contoh oleh para Sultan di daerah Sumatra Tirnur. Konferensi sepakat untuk mengadakan Komite Nasional Indonesia (KNI) setempat, sebagai wujud kedaulatan rakvat, dan bahwa para Sultan akan menyelengarakan pemerintahan dengan sebanyak mungkin bekerja sama dengan KNI setempat.
Tanggal 3 Februari Dr. Moh. Amir, sebagai Wakil Gubemur Sumatra, menghadiri pertemuan Gubernur Sumatra Mr. Teuku Moh. Hassan; Residen Sumatra Timur Tengku Hafaz, Walikota Medan Mr. Muhammad Jusuf dan pejabat-pejabat lain dari Pemerintah Republik Indonesia di Sumatra dengan para Sultan, Raja dan Sibayak di Gedung KNI Sumatra Timur di Sukamulia. Di antara para Sultan hadir Sultan Langkat, Sultan Siak, Sultan Deli. Sultan Asahan, Putera Mahkota Serdang, Raja Indrapura. Raja Bilah, Raja Siantar, Raja Suka, Raja Panei, Raja Purba, Yang Dipertuan Kualuh dan Leidong, dan sebagainya. Sesudah Gubernur menyampaikan pidatonya, berbicara Sultan Langkat atas nama Sultan dan para Raja. Kemudian berbicara Dr. Amir yang menjelaskan bahwa masalah Indonesia sekarang bukan lagi hanya masalah kita dan Belanda saja, melainkan telah menjadi masalah internasional, Dunia bersimpati pada perjuangan Indonesia dan Indonesia tidak segan-segan mengajukan masalah kemerdekaannya kepersidangan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dr. Amir juga menjelaskan bahwa di Jawa Susuhunan Surakarta, Sultan Yogyakarta, Pangeran Pakualam dan Pangeran Mangkunegoro telah menyesuaikan susunan pemerintahan di daerah masing-masing dengan tuntutan kedaulatan rakyat. Pada akhir pidatonya, ia mengatakan bahwa "baik ditilik dari sudut politik, diplomasi maupun militer, kedudukan Republik Indonesia adalah sungguh kuat dan tangguh". Untuk memberi penjelasan tentang perubahan besar yang sedang terjadi berkenaan dengan hubungan antara pemerintah dan rakyat di Indonesia di daerah-daerah lain di pulau Sumatra, pada tanggal 6 Februari Gubemur Mr. T. Moh. Hassan, beserta rombongan yang diangkut dengan 7 mobil, berangkat dari Medan lewat Brastagi dan Sumatra Tengah menuju Sumatra Selatan. Dr. Moh. Amir tetap tinggal di Medan sebagai pejabat Gubemur.
Tanggal 27 Februari sampai 2 Maret Dr. Amir, yang didampingi oleh Joenoes Nasution, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Sumatra Tiinur, mengadakan perjalanan keliling naik kereta api istimewa untuk memberi penjelasan mengenai keadaan umum kepada khalayak ramai dan membangkitkan semangat perjuangan di Pematang Siantar, pusat Persatuan Perjuangan, dan Tebing Tinggi, Kisaran dan Tanjung Balai, ibu kota Kesultanan Asahan.
Maka, tanggal 3 Maret "Revolusi Sosial", yang, dipimpin oleh unsur-unsur radikal dari Persatuan Perjuangan, yang terdiri dari aktivis-aktivis Pesindo, PNI, dan PKI. pecah di Sumatra Timur, terutama di Sunggal (Deli), Kabanjahe (Karo), Tanjung Balai (Asahan) dan Pematang Siantar.
Banyak anggota kaum bangsawan, termasuk Raja Pane sekeluarga, Raja Raya, Tengku Musa, Sultan Kualah dan Tengku Amir Hamzah, sastrawan terkemuka, dibunuh oleh kaum pemberontak.
Tanggal 5 Maret Wakil Gubemur Sumatra, Dr. Moh. Amir, mengangkat M. Joenoes Nasution menjadi Residen Sumatra Timur.
Dalam rangka "Revolusi Sosial" tanggal 6 Maret Distrik Serbanyaman (Kesultanan Deli) dan Kesultanan Serdang dihapuskan sebagai daerah istimewa oleh rakyat.
Tanggal 7 Maret Sultan Asahan melarikan diri ke laut tapi akhimya menyerah di pulau Buaya.
Dalam suatu rapat raksasa di dekat Mesjid Raya di Medan, yang dihadiri juga oleh Residen Sumatra Timur M. Joenoes Nasution, rakyat mendesak Komite Nasional Wilayah Deli untuk menghapuskan daerah istimewa. "Hapuskan daerah isdmewa! Hapuskan pemerintah kerajaan Deli! Dirikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat! " Akhimya diproklamasikan penghapusan daerah istimewa Deli.
Tanggal 8 Maret daerah istimewa Tanah Karo atas kehendak rakyat dinyatakan hapus sebagai daerah istimewa. Juga daerah istimewa Bilah dan Panai dihapus sebagai daerah istimewa.
Mengenai peristiwa-peristiwa tersebut di atas. Moh. Amir memberikan penjelasan sebagai berikut: "Untuk mengerti kejadian yang hebat sekarang (revolusi sosial) di Sumatra Timur, haruslah diketahui, bahwa di seluruh pulau Sumatra semenjak beribu tahun ada susunan demokrasi di kampung dan hutan dan negari, kecuali di Sumatra Timur, yang sampai sekarang masih menjadi sarang dan benteng feodalisme (pemerintahan keningratan). Di luar Sumatra Timur, rakyat jelata selama NRI ini adalah rakyat yang merdeka, yang dibela oleh grondwet, pemerintah, laskar Republik. Rakyat Sumatra Timur hidup dalam "daerah-daerah istimewa" (kerajaan, landscape di bawah pemerintahan raja-raja, datuk-datuk, dan lain-lain kaum feodal yang umumnva tidak suka pada pergerakan rakyat (nasional) dan tidak suka pada Republik. Antara mereka banyak pula yang dengan berterang-terang atau bersembunyi mengatur perlawanan untuk menentang NRI dan berhubungan dengan NICA. Setelah rakyat dengan barisan-barisannya melihat hal-hal pengkhianatan itu, maka mereka dengan segera bertindak dengan tak sabar lagi, membantu pemerintah, menyapu bersih musuh-musuh negara itu, dan rakyat menuntut supaya daerah-daerah istimewa, benteng feodal yang telah menyawa dengan musuh-musuh negara dan kapitalisme asing itu, dengan segera supaya NRI di seluruh Sumatra ini ditegakkan atas sendi-sendi yang betul, menurut grondwet NRI: kedaulatan rakyat dan kesejahteraan sosial." Yang disebut grondwet, istilah bahasa Belanda, adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Tanggal 22 Maret Gubernur Mr. Teuku Moh. Hassan kembali berada di Medan sesudah menyelesaikan perjalanan yang berhasil baik ke Sumatera Tengah dan Sumatra Selatan.
Keesokan harinya, tanggal 23 Maret, Komandan Divisi ke-4 TRI Kol. Achmad Tahir, mengumumkan melalui surat-sumt kabar bahwa Pemerintah sipil di seluruh keresidenan Sumatra Timur, jadi termasuk Medan, untuk sementara diganti dengan pemerintah militer di bawah Mahroezar.
Tanggi 20 April 20 intelijen Belanda memperoleh surat putera Dr. Amir, Tony, yang ditujukan kepada seorang teman, orang Belanda, di Medan yang antara lain, dinyatakan bahwa "bilamana keadaan tetap memburuk, dalam 2 hari kami akan berada di kapal yang menuju ke Eropah."
Atas permintaan Dr. Amir yang semakin khawatir mengenai keselamatan keluarganya, pada tanggal 23 April rumah tempat kediamannya dijaga tentara India Inggris yang ditugaskan oleh Pimpinan Tentara Sekutu untuk melindungi Wakil Gubemur.
Akhimya, tanggal 25 April Dr. Amir sekeluarga melarikan diri ke kamp Rapwi di Medan dan meminta perlindungan pada A.J. Spits, Gubernur NICA untuk Sumatra, di Medan, kecewa dengan keadaan yang tidak dapat diatasinya, dan kekhawatiran akan ancaman terhadap hidupnya. Gubemur Spits oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia diperintahkan mengusahakan penyingkiran Dr. Amir sekeluarga dari Medan dan mengangkut mereka ke Sabang.
Pembelotan Dr. M. Amir, Wakil Gubemur Sumatra dan satu dari tiga pemimpin yang mewakili Sumatra pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta, ke pihak musuh tentu sangat memprihatinkan para pemirnpin Negara Republik Indonesia yang justru sedang berusaha memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Republik Indonesia di dukung oleh seluruh rakyat Indonesia dan bahwa Pemerintah ini berkemampuan memelihara ketertiban dan keamanan di wilayah negara yang baru dinyatakan merdeka ini.
Tanggal 30 April Dr. Amir menulis surat piibadi dalam bahasa Belanda kepada dr. E.O. Baron van Boetzelaer, wd. le Gouvernements secretaris (pejabat Sekretaris Pertama Pemerintah Hindia NICA), di Batavia yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: "Dari siaran radio anda pasti telah mengetahui tentang pelarian kami ke kamp Rapwi di Medan. Kami menumpang untuk sementara waktu pada orang dekat pasar pusat di Medan sini. Di daerah tersebut sering terjadi perampokan, penembakan, penculikan, dan sebagainya. Ketika seminggu yang lalu kami diserang untuk ketiga kalinya, serangan dapat ditangkis oleh prajurit India-Inggris, yang saya peroleh dari pihak Inggris sebagai perlindungan. Saya memutuskan bahwa telah tiba waktunya untuk segera bertindak mengakhiri keadaan kami yang semakin tidak dapat dipertahankan. Sejak beberapa bulan saya menjadi Gubemur Propinsi Sumatra dan saya berusaha menggerakkan para pemuda untuk melakukan pekerjaan yang bersifat membangun, tetapi percuma saja. Mereka di sini hendak berkelahi juga bila perundingan di Batavia sampai pada suatu kesepakatan. Berjuang di sini sekarang ini tidak ada manfaatnya. Kelompok-kelompok ekstrim di sini lebih kuat dari pada polisi, T.R.I. Wewenang kami didasarkan atas kertas, keadaan ekonomi, keuangan, semua kacau balau, karena kadaan yang ditimbulkan oleh tidak adanya tenaga ahli. Ditambah lagi kedudukan miring dari kami sendiri. Sebagai orang Indonesia saya harus ikut berjuang di pihak Republik, saya tahu bahwa hanyalah dengan bekerja sama dapat terwujud sesuatu yang baik, terorisme menutup mulut kami. Lien, karena semua pengalaman yang buruk ini menjadi sakit jiwa (nerveus), harus selekas mungkin ke Holland. Kami berfikir bahwa segera sesudah masalah Indonesia pada dasarnya dapat terselesaikan, kami akan pergi ke Eropah, tapi perkembangan peristiwa-peristiwa (keadaan syaraf Lien, pelarian kami ke kamp, pemutusan hubungan saya dari NRI dan penggabungan saya pada pihak Pemerintah Hindia Belanda) mengakibatkan pelarian keluar negeri ini menjadi keharusan. Disini kami tidak aman lagi .."
Tanggal 10 Mei Dr. Moh. Amir, istri Belanda dan kedua anaknya diangkat dengan pesawat terbang ke Sabang.
Tanggal 17 Mei Dr. Moh. Amir menulis surat pribadi lagi ke dr. E.O. Baron van Boetzelaer, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: "Jumat Minggu lalu kami telah tiba di sini dengan pesawat terbang dari Medan, dan haruslah saya katakan bahwa di sini sangat, sangat tenang, sesudah perampokan dan penembakan di Medan.... Bagaimanakah jalannya penindingan? Front Rakyat di Sumatra ingin, adalah suatu lelucon bila tercapai kesepakatan, meneruskan perlawanan, hal ini, mengingat adanya perpecahan dan kurangnya senjata. Justru di Sumatra, yang terdapat kekurangan pemimpin dan tenaga ahli, kerjasama dengan Belanda akan menguntungkan - asal saja kaum teroris yang sedikit jumlahnya itu dapat ditundukkan. Pemerintah Indonesia tidak mampu melakukannya, karena T.R.1. boleh dikatakan belum terorganisasi secara baik dan bersenjata lengkap. "
Kemudian Dr. M. Amir sekeluarga diangkut ke Belanda, di sana mereka berdiam di kota Utrecht, tempat pemuda Amir belajar sebagai mahasiswa dalam tahun-tahun 1920-an.
Rupanya ia tetap ingin membuktikan dirinya untuk kepentingan bangsanya, bangsa Indonesia, tapi malu kembali ke Surnatra Timur yang ia telah melakukan tindakan yang dapat ditafsirkan sebagai pengkhianatan pada bangsanya. Oleh sebab itu, tahun 1947 Dr. M. Amir kembali ke Indonesia dan, dengan bantuan dr. D.J. Warouw, seorang sahabat lama selagi mereka masih siswa di Stovia yang tahun 1947 itu menjabat jabatan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT). Ia bekerja di rumah sakit di Gorontalo, lalu pindah ke Palu dan akhirnya ke Makassar, ibukota NIT, bekerja sebagai dokter, atas permintaannya sendiri, di tempat-tempat yang ia tidak dikenal. Pengalaman pahit di Sumatra Timur mengakibatkan Dr.M.Amir kehilangan semangat untuk bergerak dalam lapangan politik, ilmu pengetahuam ataupun kebudayaan.
Tahun 1949 Dr. Amir jatuh sakit parah dan harus menjalani pembedahan di otaknya sehingga ia diterbangkan ke Belanda tempat ia menjadi pasien di suatu rumah sakit di Amsterdam. Dalam keadaan sakit itu, pada akhir hayatnya, ia masih menyampaikan nasehat kepada kemenakan dan kawan-kawan sesama orang pribumi di Indonesia yang masih bujangan agar tidak mengawini orang asing sebagaimana telah dia lakukan sendiri sehingga terpaksa menderita akibatnya. Ia kemudian meninggal di rumah sakit tersebut tanpa diketahui orang banyak, jauh dari bangsa yang dicintainya. Sesuai dengan permintaannya, jenazahnya dibakar di tempat pembakaran mayat (crematorium).

Daftar Pustaka
Amir, Moh., Boenga Rampai ______________, Melawat ke Djawa
Anonim. (1980). Bahder Djohan: Pengabdi kemanusiaan. Jakarta: P.T. Gunung Agung,
Bachtiar, Harsja W., "Me development of common national consciousness among students from the Indonesian archipelago in the Netherlands."Majalah ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jld. VI, No. 2, Mei 1976, hlm. 3 1 - 44. ______________, (1981). "Muhammad Yamin: dari desa ke Indonesia Raya." Dalam: Imej dan Cita-cita: Kertas kerja Hari Sastera 1980 Kuala Lumpur: Balai Bahasa dan Pustaka, hlm. 191-211. ______________, (1984).
"Kaum cendekiawan di Indonesia: suatu sketsa sosiologi." Dalam; Aswab Mahasis dan Ismed Natsir, cd., Cendekiawan dan Politik. Cetakan ke-2. Jakarta: LP3ES, 1984. hlm. 73-91.
Brugmans, I.J.; H.J. de Graaf., A.H. Joustra; dan A.G. Vromans, ed. (1980). Nederlandsch-Indie onder Japanse Bezetting: Gegevens en documenten over de jaren 1942-1945. Francker: Wever.
Hamka, Merantau Ke Deli ______________, Kenang-kenangan Hidup
Hatta, Mohammad, (1982). Memoir, Jakarta, Tintamas.
"Mededeelingen van het Hoofdbestuur," Jong Sumatra, Thn. III, No. 2-3, Februari-Maret 1920. "Notulen van de Algemeene Ledenvergadering op 8 Februari 1920, in het Logegebouw te Weltevreden te 9 u.v.m.," Jong Sumatra, Tahun III, No. 1, Januari 1920, hlm. 3.
Oetoesan Melajoe, No. 152, 18 Agustus 1919; No. 157, 25 Agustus 1919.
PRIMA, (1976). Biro Sejarah, Medan Area Mengisi Proklamasi, Perjuangan Kemerdekaan dalam Wilayah Sumatera Utara. Jilid I. Medan: Badan Musyawarah PRIMA.
Reid, A (1971). "The Birth of the Republic in Sumatra." Indonesia, No. 12, hlm. 21-46.
______________, (1975).
"The Japanese occupation and rival Indonesian elites: Northern Sumatra in 1942. " Journal of Asian Studies, Jld. XXXV, No. 1, November 1975, hlm. 49-61. ______________, (1979).
The Blood of the People: Revolution and the end of traditional rule. Kuala Lumpur, Oxford, New York dan Melbourne: Oxford University Press.
Raliby, O. (1953). Documeta Historica: Sedjarah dokumenter dari pertumbuhan dan perdjuangan negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Said, Mohammad, (1946). Empat Belas Boelan Pendoedoekan Inggris di Indonesia. Medan: Antara. ______________, (1973).
"What was the social Revolution of 1946 in East Sumatra?" Indonesia. No. 15, hlm. 45-86.
Soebagijo I.N. (1987). Adinegoro: Pelopor jurnalistik Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung.
"Verslag Eerste Jaarvergadering," Jong Sumatra, Thn. II. No.2, Februari 1919, hlm. 40-41.
Wal, S.L. van der. ed., Officiele Bescheiden Bertreffende de Nederiands-Indonesische Betrekkingen 1945-1950. Empat jidil pertama. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1971-74.